Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Ayahku

24 November 2013   12:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:45 34 0
Sedari dulu ayahku memberikan kami julukan khusus. Ia lebih sering memanggil kami dengan julukan yang ia berikan ketimbang memanggil kami dengan nama sebenarnya. Ibuku mendapat panggilan Marukat, adikku dipanggil Buyuang, dan aku mendapat panggilan Karucit. Sementara kami semua setuju untuk memanggil lelaki yang senang bercanda itu—akan tetapi kalau ia marah, sesekali, dapat melebihi gunung meletus—dengan sebutan “Rajo Inyiak Garang” yang artinya kurang lebih “Pemarah yang luar biasa.”

Ayahku jarang marah, hanya sesekali, jarang memukul. Tetapi entah mengapa, jika ia marah, langit pun tiba-tiba gelap, dan suasana menjadi tegang. Di langit ada halilintar lalu detak waktu berhenti beberapa saat. Aku dan adikku diam di sudut. Hidup kami seolah-olah tidak akan berlanjut.

Ayahku adalah ahli dalam bidang administrasi. Ia tidak pernah mengisi satu kolom isian pun dengan coretan, tulisannya tegas, dan pasti. Seingatku, semua dokumen saat aku masuk universitas diisi oleh ayahku tanpa coretan dan kesalahan. Selain itu, dokumen yang berbelit-belit berisi data mengenai diriku, tetanggaku, jumlah kekayaanku juga kemiskinanku, dan informasi kurang penting lainnya diisi oleh ayahku tepat persis sesuai intruksi—Bahkan ayahku menggambarkan peta posisi rumahku dan tetanggaku lengkap dengan arah mata angin.

Keahlian itu didapat ayahku setelah bertahun-tahun mengetik laporan keuangan di puskesmas di akhir tahun. Puskesmas yang miskin pasien di sebelah lapangan bola itu tidak pernah membuat laporan sekalipun. Di penghujung tahun, ayahku akan membereskan dan menuliskan laporan per bulan dengan sangat teliti seorang diri. Mesin ketik itu meraung-raung tiga hari lamanya, kertas berserakan di sekitar meja. Tidak ada satu pun orang yang berani untuk memindahkan kertas-kertas itu sebelum laporan keuangan untuk setahun yang dikerjakan tiga hari itu rampung. Dan akhirnya sampai di tangan Herizon, kepala dinas kesehatan.

Ketika pemerintah menurunkan program bantuan kesehatan untuk warga kurang mampu, ayahku akan mendatangi warga kurang mampu satu persatu. Kemudian ia mengisi dokumen-dokumen mereka karena tak satu pun dari mereka mengerti cara membaca data pun cara mengisinya. Sebagian lagi, justru takut untuk berhadapan dengan berbagai berkas.

“Foto yang ada cuma ini, Pak,” Seorang bapak tua ringkih menyerahkan pas foto anaknya berukuran 6 x 4 cm.

Tangganya gemetar saat memberikan foto itu kepada ayahku. Keringat masih mengucur di tubuhnya, sisa bertempur di ladang seharian. Tentu saja foto itu tidak memenuhi persyaratan. Foto yang diminta berukuran 2 x 3 cm. Menyuruh orang setua itu untuk mencetak foto berukuran 6 x 4 cm di toko cetak foto yang jaraknya 5 km dari kampungku—setelah melewati hutan--terlihat sebagai pekerjaan rumit.

Otak ayahku telah menemukan cara mutakhir yang sangat efisien, cukup hanya setengah menit untuk mengatasi masalah semacam itu. Foto itu diperkecil dengan menggunakan gunting yang ia bawa dari rumah sakit. Tidak peduli bagaimana bentuk wajah di dalam kertas yang telah diperkecil itu, yang penting ukurannya 2 x 3 cm. Jika salah satu keluarga tidak memiliki pas foto ukuran 2 x 3 cm, gunting ayahku akan beraksi segigih mungkin untuk membuat pas foto yang bisa saja berasal dari foto keluarga atau foto ketika anggota keluarga sedang bertamasya. Background pas foto hasil tangan ayahku itu memang sedikit terlihat kurang lazim. Kadang-kadang ada potongan kepala orang atau potongan pohon.

Ketika aku membawa gunting yang dilapisi alumunium ke sekolah, teman-temanku menyebutnya Gunting Sunat (khitan) karena gunting itu memang persis sama dengan gunting yang dipakai untuk menyunat Eko, anak tetanggaku. Kadang-kadang tak jarang pula aku membawa gunting-gunting sunat lainnya dengan aneka bentuk, ada yang bengkok di ujung, atau melebar saat pelajaran membuat prakarya. Gunting yang ditujukan untuk memotong kulit manusia itu ternyata piawai pula memotong benang, kain, dan kardus. Teman-temanku sangat senang meminjam guntingku karena selain bentuknya yang aneh, gunting itu lumayan tajam. Biasanya teman-temanku menggunakan gunting itu sambil cekikikan seolah-olah mereka adalah ahli khitan yang sedang mengoperasi kardus bekas mie instan.

Begitulah pekerjaan ayahku bertahun-tahun, ia melengkapi semua dokumen. Jika seorang anak lahir tanpa ayah karena ayah mereka pergi ke daerah lain untuk menikah lagi atau lari dari tanggung jawab, sementara pernikahan mereka dilakukan secara tidak resmi,  ayahku akan menggunakan kartu nikah milik staf di puskesmas, memfoto kopi kartu nikah itu, memastikan pas foto di fotokopian itu sekabur mungkin,  dan mengganti nama yang tertera di kartu itu dengan nama ibu dan ayah yang tidak pernah ada. Kelak, kartu nikah itu akan sampai ke kepala dinas kantor catatan sipil dan si anak pun berhasil mendapatkan akta kelahiran. Jika guru di sekolah meminta akta kelahiran, anak itu tak perlu lagi pulang sambil menangis atau akhirnya memutuskan berhenti sekolah karena akta kelahiran telah berhasil ia genggam.

Berkas-berkas, dokumentasi, dan segala hal yang berkaitan dengan administrasi adalah hantu yang menakutkan bagi penduduk di kampungku. Menyuruh anak berhenti sekolah terlihat lebih melegakan ketimbang mengurusi selembar akta kelahiran. Toh, di kampung ini, sekolah nyaris terlihat tak bermanfaat dan memang terlihat sebagai pekerjaan yang membuang-buang waktu. Di tangan ayahku, anak-anak pun lahir lengkap dengan catatan akta kelahiran.

Tahun berganti dan dunia berubah. Kematian dan kehidupan saling menikam, pun kemenangan dan kekalahan. Di suatu pagi, datanglah berita, bahwa saudara jauh ibuku memiliki seorang anak yang juga membutuhkan akta kelahiran. Ayahnya telah lama menghilang dari rumah sementara sekolah dengan tegas meminta berulang-ulang sebuah berkas bernama akta kelahiran.

Untuk kesekian ribu kalinya, tangan ayahku menguji keahlian persis seperti pengukir yang telah paham makna dan filosofi di balik sebuah motif yang akan ia buat. Seminggu kemudian, sebuah amplop coklat sampai kembali di kantor catatan sipil. Di suatu siang, aku menemukan sebuah berkas dan selembar surat dari kantor catatan sipil. Agaknya, kepala dinas kantor catatan sipil mulai menajamkan mata. Berkas yang dikirim ayahku dikembalikan beserta sebuah pesan singkat “Pas foto di fotokopi surat nikah tidak jelas, tolong diperbaiki.”

Aku terdiam membaca pesan itu. Aku tahu pasti, ayahku tidak akan mampu memperbaiki hal itu karena memang tidak pernah ada surat pernikahan resmi. Hatiku miris juga membayangkan kegagalan justru terjadi kepada saudaraku sendiri. Aku meletakkan kertas itu lagi.

Sampai kini ayahku tak pernah berhenti, mengurus bermacam-macam dokumen menjadi semacam hobi. Mengenai kegagalan ayahku untuk membantu saudaraku sendiri, aku hanya bisa menangkap sebaris kalimat dari cara ayahku bekerja. Isyarat mata ayahku jelas berkata,” meskipun kita mengalami beberapa kegagalan dalam beberapa bagian hidup, bukan berarti kita harus berhenti menolong orang lain.”

Mungkin itu yang ingin disampaikan ayahku walaupun tidak pernah terkatakan secara langsung. Aku, adikku, dan ibuku tidak pernah pula menuntutnya untuk membicarakan berkas yang gagal itu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun