Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Sebuah Pengakuan

4 Oktober 2010   11:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:44 144 0

Minggu, 3 Oktober2010

Kamar kos yang sempit, 13.40 WIB

Oh Tuhan, aku bukanlah ahli surga

Juga tak mampu menahan siksa neraka

Kabulkan taubat ampuni dosa-dosaku

Hanyalah Engkau, pengampun dosa hambaMu

Dosa-dosaku tak terhitung bagai debu

Ya Ilahi, terimalah taubat hambamu

Sisa umurku berkurang setiap hari

Dosa-dosaku makin bertambah Ya Ilahi

Hamba yang berdosa, bersimpuh menyembahMu

Mengaku , menyeru, dan memohon ampunanMu…

Mungkin, hanya sebuah pengakuan inilah yang dapat aku utarakan. Sungguh aku bersyukur masih diberi kesehatan, mata, hidung, telinga, dan anggota tubuh yang lengkap dan masih berfungsi dengan baik, sehingga aku masih ada disini, menulis untukmu, atau mungkin aku hanya menulis untuk diriku sendiri? Barangkali tak perlu memikirkan hal itu, aku hanya ingin berbagi. Siapa tahu diluar sana ada beberapa orang yang memiliki nasib serupa denganku, sehingga tulisanku dapat dijadikan sebagi referensi untuk direnungi.

Bersyukur, ya, satu kata yang seringkali dilupakan maknanya oleh sebagian besar orang, termasuk aku. Jauh sebelum sampai pada usia 20 sekarang ini, aku adalah makhluk Tuhan yang kecil, dekil sana-sini, polos, masih labil, mudah terpancing emosi, ingin menjadi orang lain, dan tak pernah bersyukur.

***

Seorang gadis kecil menangis dengan suara tertahan seperti tercekik lehernya. Matanya sembab, merah menyala. Seluruh tubuhnya menggigil. Ia tampak sakit. Namun, sakit yang menyerang fisiknya tak dapat mengalahkan rasa sakit yang ia pendam, sendiri, dalam batinnya.

Ayah, yang duduk dikursi ruang makan, wajahnya seketika berubah menjadi kelam.Sampai-sampai si gadis kecil yang menangis dengan suara tertahan, seperti tak mengenalinya lagi. Sedangkan Ibu, yang terisak didalam kamar, terdiam seribu bahasa.

Gadis kecil ini berada diantara keduanya, ia dihadapkan pada dua pilihan antara ayah, atau ibunya. Ia tak mampu melakukan apa-apa, hanyatak henti memandangi wajah ayah dan ibunya secara bergantian. Sekali lagi gadis kecil ini harus mengambil keputusan.Di belahan dunia yang lain. Segala sesuatu sedang menunggu untuk diputuskan pula. Mungkin apa yang terjadi hari ini adalah hasil dari keputusan yang diambil di hari yang lalu, dan apa yang terjadi esok, adalah keputusan yang diambil hari ini, begitu seterusnya.

Kemarin, sore sehabis adzan asar berkumandang, gadis kecil ini menyaksikan pertengkaran yang tidak biasa antara kedua orang tuanya. Dan malam ini, yang terlalu emosional, akhirnya berujung pada kenyataan pahit yang harus dijalani oleh si gadis kecil, yang sekali lagi, merupakanakibat dari adanya keputusan dari orangtuanya : bercerai.Terlalu berat untuk dihadapi oleh anak berusia 8 tahun.

Peristiwa itu membawa dampak yang besar bagi gadis keci itu, terlebih secara psikis dan mental. Hingga ia tumbuh menjadi seorang gadis yang mulai dewasa, dan berusaha kembali menata puing-puing kehidupannya yang sempat hancur. Ia berusaha untukmenemukan kembali lembaran kisahnya yang selama ini berceceran. Beruntung, dalam perjalanan ini, si gadis yang mulai dewasa ini tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang biasa dilakukan oleh korban broken home.

***

Akulah dia, si gadis kecil yang menangis dengan suara tertahan.Seringkali aku berpikir , betapa bahagianya orang lain, yang hidupnya terlihat lebih sempurna dan lengkap. Andai aku jadi orang lain, mungkin aku tak harus susah seperti ini. Kadang rasa iri muncul dalam berbagi situasi. Contoh, ketika aku dan teman-temanku berkumpul dan saling bercerita , bagaimana liburan kali ini, atau saat aku menginjak usia 17, mereka bertanya, dapat hadiah apa dari ayah ibu? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang aku sendiri bingung bagaimana harus menjawabnya.

Hal ini berlangsung lama, membuatku banyak bertanya. Mengapa orang tuaku harus berpisah? Mengapa harus aku yang mengalami hal ini? Mengapa aku tak bisa menemukan solusi dari permasalahan yang kualami? Aku sangat kesal pada diriku sendiri. Segala sesuatu sudah kulakukan.Namun tak ada perubahan apapun.Aku mulai jenuh. Aku tak bisa merasakan nikmat Tuhan. Hatiku mulai gersang, dan hampir mati. Aku tak lagi percaya kuasaNya. Parahnya, aku berlari, menjauh dariNya.

Ini juga berlangsung cukup lama. Tak ada sesuatu yang dapat membuatku menemukan arti hidup. Aku lupa apa itu dosa. Entahlah, berbagai nasehat dan ceramah tentang nilai-nilai moral dan agama, sam sekali tak membuatku bergeming. Bahkan di depan ibuku, aku pernah berpura-pura shalat agar tak kena marah. Aku membasahi wajah, tangan dan kakiku (tapi tidak berwudhu), aku masuk kamar, menutup pintu, dan memeakai mukena, tapi tidak shalat (kurasa ini adalah yang paling parah) tiap waktu aku berusaha, berdoa, namun apa? Aku tak pernah dipedulikan. Semua percuma, kurasa.

Hingga pada suatu siang, “ sebuah pengakuan” yang dibawakan oleh Haddad Alwi, samar-samar terdengar sampai ditelingaku. Aku tersentak, dan sadar. Seketika itu, aku menangis sejadi-jadinya. Aku jadi berpikir, apa yang sudah kulakukan, dan kudapatkan selama 20 tahun ini?

Sudahkah aku melakukan kewajibanku sebagai menusia? Apakah aku sudah melakuakan sesuatu yang benar, dimata orang lain, dan Tuhan? Adakah cara untuk menebus dosa-dosaku selama ini? Dan apakah Tuhan akan mengampuni dosa-dosaku? aku slalu berharap, Tuhan bersedia memberikan petunjuk dan jalan yang telah diridhoi kepadaku, semoga..

Dan sekarang, meski aku tahu aku tak sempurna, tapi tak mengapa. Aku sudah sangat bahagia , dapat kembali “bersyukur”, mengapa? Karena kini aku sadar, bahwa hidup adalah anugerah terbesar dan kasih sayang Tuhan kepadaku. Maka aku harus memelihara anugerah itu, dan berusaha melakukan yang terbaik semampuku. Dan sebagai rasa syukurku atas itu semua, aku tak ingin melewatkan semuanya dengan sia-sia…

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun