Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Belajar Kepada Nabi Ibrahim

29 Oktober 2012   04:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:16 312 0
Pada momen Hari Raya Idul Adha ini, tentu saja bukan hanya ritual hari raya yang begitu semangat kita lakukan atau kegiatan pemotongan hewan yang rutin kita lakukan. Sesungguhnya banyak sekali nilai spritual dan nilai sosial yang patut kita pelajari dan amalkan.

Sejenak, mari kita tengok sejarah masa lalu. Bukankah sejarah itu ibarat tarikan busur panah? Semakin jauh kita menariknya ke belakang maka semakin jauh jarak jangkauan anak panah melesat. Atau dalam bahasa fisika, semakin besar gaya tarik pegas panah itu ke belakang, maka semakin besar pula energi potensial pegas yang dihasilkan.

Belajar Beriman

Nabi Ibrahim adalah sosok manusia yang tidak puas tentang hakekat Tuhan. Beliau adalah sosok manusia yang menggunakan akal fikirannya (logika/nalar) dalam usahanya mencari Tuhan. Mungkin berbeda dengan kebanyakan kita, yang beragama dan bertuhan hanya karena faktor keturunan.

Ketika Nabi Ibrahim melihat matahari sangat besar dan menerangi alam semesta ini serta begitu besar pengaruhnya pada kehidupan manusia, lantas Nabi Ibrahim berkata "nah ini dia Tuhanku". Tetapi ketika dilihatnya matahari itu ternyata bisa tenggelam, maka berubahlah fikiran Nabi Ibrahim, lantas dia berkata "masak sih Tuhan bisa timbul dan tenggelam, kalau begitu matahari bukan tuhanku".

Malam pun hadir, dan tampaklah cahaya Bulan yang begitu terang. Nabi Ibrahim berkata, "wah, ini mungkin Tuhanku. Dia begitu cantik malam ini". Menjelang pagi hari, ternyata bulan menghilang. Maka Nabi Ibrahim pun berkata, "Ini bukan Tuhanku". Begitulah, nalar dan logika Nabi Ibrahim selalu mengalir dan terus mencari Tuhannya.

Di suatu hari, Nabi Ibrahim pun merusak patung-patung berhala sembahan nenek moyang dan orang-orang tuanya (termasuk patung ayah Nabi Ibrahim sendiri). Ibrahim bertanya kepada patung itu, "Apakah kamu tidak makan?", patung itu tidak bisa menjawab. "Hai patung, kenapa kamu diam saja tidak menjawab". Maka Ibrahim pun memukul patung itu dengan sekuat tenaga dan rusak berantkan. Melihat patung sembahannya rusak berantakan, sang ayah pun sangat marah melihat patung sesembahannya diluluhlantakkan oleh Nabi Ibrahim. Ayahnya berkata, "Hai Ibrahim, siapa yang merusak Tuhan-Tuhan kami? Pastilah kamu yang merusaknya". Nabi Ibrahim dengan cerdas menjawabnya, "Tanyakan saja pada Tuhanmu itu". Ya, patung itu tentu saja tidak bisa menjawab karena dia dibuat dari batu dan tanah oleh manusia.

Tak berapa lama, orang-orang banyak kemudian menangkap Ibrahim dan membakarnya hidup-hidup. Tetapi berkat Mukjizat dari Alloh SWT, Nabi Ibrahim sedikit pun tidak terbakar oleh api itu.

Maksud Nabi Ibrahim adalah kalau benar patung itu Tuhan, maka pastilah dia bisa berbicara dan menjawab. Kisah Nabi Ibrahim ini tentu saja masih cocok dengan kondisi sekarang, dimana masih banyak orang yang menjadikan batu, pohon, patung, manusia, dan sejenisnya sebagai Tuhan mereka. Atau mereka mengatakan bahwa patung itu sebagai simbol Tuhan mereka.

Maka, kita sebagai manusia yang berakal sudah seharusnya menggunakan akal fikiran kita secara sehat dan logis dalam mencari hakikat ketuhanan itu seperti pada kisah Nabi Ibrahim di atas. Bukan mengikuti nenek moyang, orang tua, atau adat kebiasaan yang turun temurun.

Belajar Ikhlas

Keikhlasan Nabi Ibrahim dalam menjalankan perintah Tuhan sungguh menjadi teladan bagi kita semua. Dikisahkan, pada suatu malam, Nabi Ibrahim bermimpi diperintah oleh Alloh SWT untuk menyembelih anak kesayangannya Ismail. Nabi Ibrahim tentu belum percaya seratus persen akan kebenaran mimpi itu. Jangan-jangan juga itu godaan setan. Tetapi ternyata selama 3 malam bertutur-turut mimpi yang sama terulang kembali. Barulah dia percaya bahwa itu perintah Tuhannya.

Maka didatangilah anaknya Ismail, dan berkata dengan lemah lembut. "Wahai anakku Ismail, aku telah bermimpi dalam tidurku, bahwa aku diperintah oleh Tuhan untuk menyembelihmu, bagaimana pendapatmu?". Nabi Ismail yang telah ditempa hidup dalam keimanan oleh ayahnya menjawab, "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar."

Maka, ayah dan anak itu pun begitu patuh menjalankan perintah itu. Sang anak diletakkan di atas altar penyembelihan oleh ayahnya dan sang ayah pun sudah siap dengan pisau penyembelihannya. Antara ayah dan anak keduanya sudah ikhlas menjalankan perintah Tuhan sekalipun itu sangat pahit, menyakitkan dan mengerikan menurut kebanyakan manusia yang tidak beriman.

Tatkala detik-detik terakhir menjelang prosesi penyembelihan, datanglah Malaikat membawa seekor kambing kibas yang sangat gemuk dan bagus warnanya mendekati Nabi Ibrahim. Malaikat itu berkata, "Berhenti Ibrahim, aku diutus oleh Alloh SWT, Tuhan semesta alam. Tuhan menguji keimanan dan keikhlasanmu, dan Dia telah menerimanya, maka kambing inilah sebagai ganti anakmu. Sembelihlah kambing ini, sebagian untuk keluargamu dan sebagiannya untuk para fakir miskin". Setelah itu, maka tiba-tiba pergilah Malaikat itu dan hilang dari pandangan mereka berdua.

Kisah di atas secara tertulis dijelaskan dalam Al Quran, Surat Ash Shoffat ayat 83-110.

Nilai yang bisa kita ambil dalam kisah itu adalah bahwa keikhlasan itu membawa keberkahan. Hingga hari ini pun seluruh umat Muslim di dunia merayakan Idul Adha dan melakukan pengorbanan sebagai syariat yang telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim dan dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW. Seluruh prosesi haji pun sebenarnya merupakan "napak tilas" dari perjalanan keimanan Nabi Ibrahim beserta keluarganya di Makkah dan menjadi bagian dari syariat Islam.

"Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala." (QS Ibrahim, ayat 35)

Semoga kita bisa belajar banyak kepada Nabi Ibrahim tentang keimanan, keikhlasan, dan pengorbanan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun