Dari sebaran nilai yang yang diterima sekolah, sangat jelas tampak nilai-nilai bagus hasil UN masing-masing sekolah. Maka pantaslah, Bapak Mendikbud Muhammad Nuh, menyunggingkan senyum manis, karena merasa bangga bahwa kelulusan tahun ini meningkat 27% (angka kelulusan tahun ini 95,50%)
Pihak sekolah pun merasa "hebat", karena nilai yang diraih muridnya tinggi-tinggi. Hebatnya, banyak ditemukan angka 10 pada pelajaran Matematika, sementara pada pelajaran Bahasa Indonesia, ada angka 3.
Mengapa nilai UN yang tinggi tidak membanggakan? Setidaknya ada beberapa alasan:
- Nilai UN belum layak dijadikan Tiket Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Menurut Raihan Iskandar, anggota Komisi X DPR, masih ada keraguan pada kredibilitas UN sendiri. "Selama masih terjadi berbagai kecurangan dalam penyelenggaraan UN, kredibilitas hasil dari UN patut dipertanyakan dan belum layak dijadikan tiket masuk ke PTN (www.kompas.com; 8 Mei 2012)
- Nilai UN masih diragukan oleh sekolah di jenjang yang lebih tinggi. Hampir semua sekolah SMA/MA negeri saat ini masih tidak percaya 100% akan kredibilitas nilai UN dari siswa SMP/MTs. Sehingga semuanya harus melakukan Tes Tulis lagi selain memakai nilai pada SKHUN. Ada yang menggunakan rasio 50% : 50% antara nilai SKHUN dengan nilai Tes Tulis, ada yang memakai rasio 60% SKHUN : 40% Nilai Tes Tulis, ada yang memakai 40% nilai SKHUN : 60% Nilai tes tulis, dsb. Ini artinya, nilai yang tertera pada SKHUN masih diragukan.
- Ada kecenderungan nilai sekolah-sekolah swasta lebih bagus dari sekolah negeri. Ini menyiratkan bahwa ada keraguan pada kredibilitas pelaksanaan UN, baik mengenai kebocoran soal maupun kepengawasan.
- Ada kecenderungan nilai sekolah-sekolah di pinggiran kota lebih bagus dari nilai sekolah di perkotaan. Ini juga menyiratkan bahwa pelaksanaan UN masih belum kredibel dan jujur.
- Dengan adanya ketentuan kelulusan dari Pusat (sebesar 60%) dan ada hak sekolah sebesar 40%, ini masih membuka peluang bagi sekolah-sekolah untuk membuat nilai bagus terutama pada nilai raport dan ujian sekolah. Siapakah yang bisa menjamin ini tidak terjadi?. Sudah bukan rahasia lagi, kalau sekolah-sekolah melakukan katrol nilai pada muridnya. Toh sekolah punya alasan, ini karena kesalahan kebijakan dari Pusat (Kemdikbud).
Sebenarnya jauh lebih bagus sistem penilaian menggunakan kurikulum lama dengan Sistem NEM (Nilai Ebtanas Murni). Saat itu, semua sekolah dengan keyakinan 100% mempercayai kemurnian angka pada NEM. Sehingga jarang sekolah yang menggunakan Tes Tulis pada saat Penerimaan Siswa baru (PSB). Sangat berbeda dengan sekarang, nilai tinggi pada SKHUN tidak membanggakan. Karena banyak ditemukan siswa yang sehari-harinya di sekolah biasa saja (tidak pintar) malah mendapatkan nilai 10.