Gengsi Pejabat Pusat dan Daerah?
Sudah menjadi harapan, bahwasanya tidak ada seorang pejabat baik di pusat maupun di daerah yang senang jika tingkat pendidikan di daerahnya dikatakan jelek. Tentu saja menjadi sebuah prestise jika seorang pejabat (selama dia menjabat), daerahnya menempati rangking yang tinggi dibanding daerah lainnya. Terlebih masalah pendidikan, yang menjadi salah satu indikator dalam penentuan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Sehingga terkadang, semua cara dilakukan agar bisa dikatakan tingkat pendidikan di daerhnya meningkat. Jika cara yang dilakukan bisa dipertangungjawabkan -baik dunia maupun akhirat- tentu tidak menjadi masalah. Tetapi jika pejabat tersebut memberikan "sinyal" atau "lampu hijau" agar hasil ujian nasional bagus, tentulah ini menjadi sesuatu yang tercela.
Hilangnya Nilai Kejujuran di Sekolah
Tersentak kita mendengar berita di TV atau membaca di koran, bahwa nilai rata-rata sekolah (US) yang dikirim oleh sekolah di seluruh Indonesia adalah nilai 8 dan 9. Kita sudah bisa menduga, bahwa sekolah akan berbuat "lebih" untuk "menyelamatkan" siswanya. Apalagi dengan adanya hak 40% nilai akhir kelulusan ditentukan oleh Nilai Sekolah. Sehingga tidaklah heran, jika ada sekolah yang mengirim nilainya berkisar 8 dan 9, kalau angka 10 mungkin tidak berani.
Belum lagi, banyak isu bahwa soal dan kunci jawaban sudah banyak beredar di kalangan siswa. Bahkan ada sekolah yang "membantu" muridnya dengan memberikan kunci jawaban secara langsung. Informasi ini pun bisa diperoleh dari mulut ke mulut, karena tidak ada satu pun oknum siswa atau guru yang secara jujur mau mengakuinya.
Akar Masalah
Sebenarnya, akar dari masalah ini terjadi tidak lain adalah karena kelulusan ditentukan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional. Dengan alasan itulah sehingga hampir semua sekolah di Indonesia merasa "perlu" untuk membantu muridnya. Ada yang berani, ada yang takut, bahkan ada yang super berani melakukan tindakan tidak jujur (yang notabene bertentangan dengan nilai kejujuran yang diajarkan sehari-hari di sekolah). Sekolah memandang, kelulusan model ini menjadi beban. Beban kepada pemerintah, beban kepada siswa, dan beban kepada masyarakat di sekitarnya.
Memang tidaklah pantas jika seratus persen kesalahan ditimpakan kepada pihak guru dan sekolah. Pemerintah pun masih menyisakan banyak Pekerjaan Rumah (PR) terkait dengan pemenuhan 8 Standar Nasional Pendidikan. Jadi sebenarnya, sekolah-sekolah di Indonesia belum layak diukur secara merata, mulai dari Jawa hingga Papua, dari perkotaan hingga pedesaan, dari sekolah SBI hingga sekolah terpencil.
Sebuah Solusi
Jika pemerintah tidak ingin dihujat apalagi didemo, atau sekolah tidak terjebak kepada melakukan tindakan tidak terpuji, maka sebaiknya pemerintah atau Kemdiknas, mengembalikan sistem penilaian dan kelulusan seperti yang pernah dilakukan dulu (pada kurikulum 1984 s.d 1994), saat itu ada istilah EBTANAS dan NEM.
Nilai Ebtanas Murni (NEM) saat itu bukanlah penentu kelulusan siswa. Cukuplah nilai itu dijadikan sebagai Pemetaan Nilai di suatu daerah. Bukan penentu kelulusan. Berapa banyak siswa yang dulu NEM-nya anjlok, toh sekarang mereka bisa sukses di dunia kerja dan bisnis. Saat itu, guru dan sekolah tidak memiliki beban sama sekali untuk "membantu meluluskan" siswanya. Berbeda 100% dengan sistem sekarang. Dimana guru atau panitia ujian di sekolah banyak melakukan tindakan tidak jujur.
Semoga tulisan ini dibaca oleh Pak Menteri, Bapak Muhammad Nuh sebagai renungan dan pemikiran.