Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Uneg-uneg dari Teras

27 Desember 2011   20:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:40 95 0


Pagi ini cukup cerah. Aku duduk bersandar di teras rumah. Sajian kopi buatan emak selalu jadi penyemangat awal hari-hariku. Sebatang rokok dan pisang goreng menjadi pelengkap nikmatnya pagi ini. Tinggal dipinggiran kota. Jauh dari lalulalang suara gemuruh angkutan umum jalan raya, membuatku serasa hidup di desa. Ehmmm…. Nikmat sekali pagi ini, batinku.

“Koran-koran”

Terdengar Pak Abidin si penjual koran menawarkan dagangannya.

“Korannya, pak,” Pintaku.

“Iya, mas”

“Kok, tinggal sedikit korannya, sudah muter darimana saja, pak?”

“Alhamdulillah, mas. Tidak tahu kenapa, tadi banyak yang berminat beli koran.”

“Wah…, nyantai no? Memangnya, ada berita hangat apa, hari ini?”

“Nyantai, mas. Ini tinggal nganter ke pelanggan-pelanggan di RT sebelah itu kok. Kalau masalah berita hangat, banyak mas. Tapi, yang paling mendominasi adalah kasus korupsi.”

“Halah…, bosen, pak. Tiap hari kok disuguhi berita korupsi. Dan yang paling menjemukan lagi, kalaupun terungkap, hukumannya juga lebih kejam dari pencuri ayam.”

“Ehmmm….., iya juga sih, mas. Dan info dari koran-koran yang saya baca, antara yang terungkap dan yang tidak, 1000 banding 1, mas. Banyakan yang tak terungkap.”

“Betul itu, pak. Sesaat rame diberitakan penyidikan. Usut punya usut. Ee… tiba-tiba, lenyap dengan sendirinya.” Tegasku.

“Terus, berita menarik yang lain apa, pak?”

“Ada, mas.”

“Salah satu mahasiswa yang ikut demo kemarin meninggal akibat bentrok dengan petugas keamanan dan terkena peluru nyasar…” baca Pak Abidin dari koran yang ia pegang.

“Terus, ini mas, pemerintah belum bertindak apa-apa meski warganya yang bekerja di Arab terbukti dianiaya majikannya hingga tewas. Belum lagi masalah bangunan-bangunan yang menjadi fasilitas umum, yang pada ambruk, banyak makan korban jiwa yang faktanya baru beberapa tahun serah terima. Padahal, setahu saya setiap nominal yang tertera dalam plakat bukti serahterima tertulis anggaran sesuai standart kebutuhan bangunan itu.”

Terbesit pikirankan, teringat beberapa minggu yang lalu ada jembatan putus disaat kendaraan banyak melintas. Mungkin jembatan itu yang dimaksud pak Abidin. Ngeri, memang. Tak ingin aku bicara soal itu. Lebih baik, aku bicara yang di sini saja.

“Aku sendiri juga heran, Pak.” Kataku, “Bapak tahu kan sekolahan di RT sebelah itu. Masak, gedung baru yang ada di depan itu sudah di kosongkan, karena dindingnya sudah retak hingga atas. Dan lantainya juga sudah terbelah. Padalah gedung itu belum ada 3 tahun lho, pak. Sedangkan gedung pertama beridirnya sekolahan itu, yang sekarang dijadikan kantor masih kokoh.”

“E… mbuh, mas. Kalau masalah bangunan itu, entah arsiteknya yang abal-abal sehingga tak tahu jenis tanahnya atau matrialnya dimakan sama pemborongnya, saya juga tidak tahu.”

“Maktrial kok dimakan ki lho, pak?” kataku memotong penjelasannya.

“Lha sekarang kalau jatah semen 3 sak, hanya diberi 1,5 sak, trus yang 1,5 sak lagi kemana kalau tidak dimakan, mas? Hahaha….,” Jelasnya sambil tertawa.

“Sudah, mas. Aku tak nganter koran dulu. Kasihan nanti pelanggan kalau kesiangan. Pelanggan bisa marah, nanti. Hehe…, rokoknya satu ya, mas. Sambil jalan enak ni kayaknya kalau ngerokok. Hehe…” pamitnya sambil senyam-senyum minta rokok.

“Oke, ambil saja, pak. Santai. Tak usah sungkan. Lain waktu, kalau nganggur, main saja kesini pak. Kita ngobrol-ngobrol lagi. haha…”

“Korannya satu, pak. Harga biasa, kan? Hehe…” Sambil ku ulurkan uang receh dari saku celana kiriku.

“Siap, mas.” jawabnya sambil jalan usai menyulut rokok.

“Iya, harga biasa. Ini korannya. Terima kasih untuk rokoknya. Hehe…” imbuhnya sambil menjulurkan koran padaku.

Pak Abidin pun berjalan membelakangiku. Ia lenyap dari pandanganku.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun