Saat saya masih kecil, saya masih ingat bahwa ketika saya dan teman-teman saya ditanyakan “mau jadi apa nanti ketika sudah besar?” kebanyakan dari kami menjawab bahwa kami mau jadi dokter, entah apa yang ada dalam pikiran kami sehingga kami menjawab sedemikian rupa, mungkin karena bagi kami kata-kata dokter paling gampang diingat. Akan tetapi seiring berkembangnya waktu saya, sedikit demi rasa ingin saya untuk menjadi dokter mulai tergantikan dengan keinginan untuk mengejar profesi lain yang 180 derajat berbeda dari seorang dokter, walaupun masih banyak anggapan dari masyarakat bahwa dokter adalah profesi yang menjanjikan tapi tetap saja saya tidak tertarik.
Melanjutkan mengenai kedokteran, perkembangan kedokteran bagi saya dapat dikatakan sebagai bak ujng pisau yang bermata dua, dalam artian perkembangan kedokteran itu mempunyai dua sisi positif dan negatif, dan tidak data disepelekan. Dokter dapat “menghidupkan kembali” seorang yang sekarat tapi bisa juga “Membunuh” orang yang masih hidup.
Salah satu hal yang menurut saya kontroversial adalah metode suntik mati yang dilakukan seseorang, beberapa bulan yang lalu sempat heboh berita seorang sarjana S2 yang mengajukan gugatan agar ia bisa menjalankan “misi” nya untuk melakukan suntik mati, ia berdalih ia sudah tidak tahan hidup karena semua keluarganya sudah tidak ada dan ia sudah beberapa tahun hidup dalam kemiskinan.
Saya kemarin mendapat materi dari teman saya bahwa penyebab dari bunuh diri adalah gangguan depresi dan mood yang diderita seseorang, seseorang yang mengalami banyak kejadian menyakitkan dalam hidupnya dan ia tidak dapat menyelesaikan masalahnya kadang seseorang itu akan akan mengalami stress dan depresi, ia akan cenderung menyalahkan diri sendiri bahkan kehidupan yang ia jalani. Seperti contoh diatas orang tersebut sudah tidak tahan terhadap hidp yang ia jalani, sehingga ia ingin mengakhiri kehidupannya walau jalan yang ia tempuh untuk meng “Halal” kan “kematiannya” cenderung aneh.
Akan tetapi yang mengganjal di pikiran saya adalah proses suntik mati atau hal-hal lain yang dapat menyebabkan kematian seperti pelepasan infus bagi seseorang yang sedang sekarat, ada beberapa negara yang memperbolehkan metode ini, walau dengan beberapa syarat tertetu seperti harus penyakitnya sudah tidak dapat disembuhkan, obat terlalu mahal atau dibutuhkan usaha ekstra dalam penangannya. Seperti yang dahulu terjadi pada nyonya again yang mengalami mal praktik sehingga mengakibatkan suaminya mengajukan suntik mati bagi istrinya tersebut tapi pada akhirnya si istri sembuh.
Sehingga saya jadi bingung untuk proses suntik mati itu yang depresi itu siapa? Orang yang akan disuntik mati? Dokter yang tidak bisa menangani? atau keluarga yang sudah putus harapan? atau malah ketiga-tiganya yang mengalami depresi?