Surabaya, 1978. Deru mesin tik memenuhi ruangan redaksi, mengiringi denting gelas kopi dan desah napas panjang para jurnalis yang berpacu dengan tenggat waktu. Hana, seorang jurnalis muda, baru saja menerima dokumen berisi catatan rapat rahasia yang melibatkan organisasi bayangan. Sebuah kebetulan atau mungkin takdir, dokumen itu mengarahkan langkahnya ke konspirasi besar yang sedang mengancam bangsa. Tidak ada waktu untuk ragu; naluri jurnalistiknya mendorongnya untuk segera mencari kebenaran.
KEMBALI KE ARTIKEL