[caption id="attachment_131529" align="alignleft" width="300" caption="Tak semua alumni STAN bermental seperti Gayus (sumber.inilah.com)"][/caption] Tulisan Kompasianer Joeseph Timothy ( JT) berjudul “Sekolahnya Tukang Akalin Nomor “ di
sini mendapat respon pembaca yang cukup banyak. Tulisan yang menyajikan persepsi penulisnya tentang STAN dan perilaku para alumninya itu, mampu menyedot perhatian ribuan pembaca termasuk para alumni STAN yang kini aktif bekerja di jajaran Departemen Keuangan. Sayangnya, kebanyakan pembaca merespon tulisan itu dengan nada miring. Ada yang menilai tulisan itu provokativ, tidak obyektif alias hanya hasil fantasi penulisnya. Bahkan ada sebagian pembaca yang menilai tulisan itu hanya menebar kebencian dan fitnah yang bisa menjurus ke praktik pelanggaran hukum. Sebagai Kompasianer, banyaknya respon itu membuat saya tertarik untuk menanggapi kasus ini lewat postingan ini. Karena saya tidak memiliki kompetensi di bidang keuangan, khususnya perpajakan, saya hanya ingin menyoroti kasus ini dai sudut pandang etika kepenulisan. Maklum, saya hanya jurnalis biasa. Bukan lulusan sekolah luar negeri seperti penulis yang banyak digugat dalam tanggapan postingan itu. Karena itu, ma’afkan kalau tanggapan ini terasa dangkal dan kurang substanstif. Menurut saya, ada beberapa alasan mengapa tulisan saudara JT menuai banyak protes. Dari substansi pesan , apa yang ditulis sdr. JT sebenarnya bukan merupakan issu baru. Potret buram wajah korupsi di Indonesia sudah sering diangkat, bahkan sudah menjadi rahasia umum. Bedanya, JT langsung mengarahkan sasaran tembak biang korupsi itu ke almamater STAN. Bahkan JT dengan tegas tanpa
tedeng aling-aling, menuding para aktor, sutradara perampok uang rakyat, kebanyakan alumni sekolah kedinasan ini. Logika anak bukan sekolahan sekalipun, saya yakin, akan menilai kesimpulan ini diambil dari proses pengamatan yang serampangan. Para alumni STAN yang membaca tulisan tersebut tentu tahu lebih banyak lagi, substansi tulisan JT yang mendukung kesimpulan saya itu. Kedua, meski issu yang diangkat tergolong masalah serius, gaya penulisan yang dilakukan JT terkesan kurang serius. Hanya terdiri dua alinea dan tidak terstruktur dengan baik. Tidak menawarkan sedikit pun alternative solusi terhadap masalah yang diangkat. Mirip bualan tetangga saya ketika sedang ngobrol santai di warung kopi atau bualan ketika tengah ronda malam. Tentu ini kurang mencerminkan sebuah tulisan karya intelektual anak bangsa, yang sedang berada dan mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri. Ketiga, bahasa yang digunakan JT sangat vulgar, kasar bahkan terkesan jorok sehingga sering membuat jidat saya berkerut saat membacanya. Kata-kata yang dipilih JT untuk mengungkapkan gagasan dalam tulisan itu, kurang mencerminkan pribadi yang santun dan terpelajar. Silakan pilih sendiri di postingan JT, mana saja kata-kata yang saya maksud dan memperkuat kesimpulan saya. Bukan bermaksud menggurui. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, sudah sepantasnya membiasakan diri mengungkapkan pikiran dengan bahasa yang santun agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Mungkin dari ketiga faktor itulah, yang membuat tulisan JT mendapat respon negative para pembaca. Dan bagi pembaca yang merasa terkena sasaran tembak tudingan JT, sebenarnya cukup wajar kalau mereka sakit hati dan marah. Yang justru tidak wajar, menurut saya, banyak pembaca khususnya alumni STAN yang mengungkapkan kemarahan itu lewat tanggapan atau komentar dengan bahasa yang tak kalah jorok dengan tulisan JT. Membalas keburukan dengan keburukan pula, sama artinya dengan menuruti bisikan setan. Sebagai bagian dari komunitas masyarakat terdidik (meski Mas Minami hanya mengkategorikan mereka alumni D3, padahal faktanya banyak juga meneruskan pendidikan tinggi di luar negeri), mereka tentu tidak sepantasnya mengungkapkan amarah dengan emosional dan kasar seperti itu. Bukankah lebih produktif, tulisan itu direspon dengan tulisan (postingan) yang isinya menyanggah dan membantah isi tulisan JT yang dinilai tidak benar. Bukankah para pegawai Depkeu yang lebih paham untuk membedah isi “jantung dan hati” Depkeu. Hasil kongkrit reformasi perpajakan, mungkin bisa menjadi contoh yang relevan untuk penyeimbang tulisan JT. Cara ini menurut saya jauh lebih intelek dan santun dibanding menulis tanggapan dengan emosional dan caci maki. Tanggapan seperti itu langsung mengingatkan saya pada kalimat bijak, “kalau bersih kenapa musti risih”. Sebagai jurnalis yang tidak memiliki kepentingan apapun dengan tulisan itu, saya menulis postingan ini sebagai refleksi keprihatinan saya sebagai sesama Kompasianer. Sebagai sesama penghuni rumah sehat, saya menyimpan secercah harapan agar tulisan ini mampu mengingatkan kita semua untuk tidak memposting tulisan yang bisa memancing emosi dan membuat sesak dada orang lain yang membacanya. Hanya kita, Kompasianer yang menentukan blog berjamaah ini benar-benar menjadi rumah sehat atau rumah sesat. Akhirnya, lewat kasus ini marilah kita bersama saling introspeksi diri. Sebaiknya kita jangan terlalu banyak menuntut orang lain untuk bermoral baik, kalau hanya untuk mengungkapkan pikiran dengan bahasan yang enak dan santun pun kita tak mampu. Apa pun profesi dan kemapuan kita, mari kita bangun Indonesia menuju peradaban akal dan hati nurani. Sekali lagi,mohon ma’af beribu ma’af kalau ada yang tersinggung atau kurang berkenan dengan postingan ini. *** Imam Subari Salam hangat dan tetap semangat
KEMBALI KE ARTIKEL