[caption id="attachment_46035" align="alignright" width="300" caption="illustrasi"][/caption] Pergantian tahun 2009 ke tahun baru 2010 disam-but antusias masyararakat dengan beragam acara. Ada yang menggelar pesta kembang api dan tiup terompet hingga panggung hiburan dengan ber-bagai atraksi seni. Bagi pelaku bisnis, khususnya bisnis hiburan, momentum ini dimanfaatkan se-maksimal mungkin untuk mengeruk keuntungan. Sedangkan bagi sebagian masyarakat, momentum ini menjadi ajang sukacita yang kadang dibarengi dengan menyusutnya pundi-pundi keuangan ru-mah tangga. Bagi anda yang tidak suka dengan acara seremonia yang berbau hura-hura itu, lebih baik pergantian tahun kita jadikan momentum introspeksi. Kali ini, isu sentral introspeksi yang saya tawarkan adalah, menakar cinta di di tahun baru. Dengan introspek-si, kita dapat memperbaiki kualitas hidup di masa depan dengan meningkatkan perbuatan baik sekaligus mengurangi perbuatan buruk yang selama ini telah kita lakukan. Jatuh cinta adalah sebuah proses bathiniah yang mudah dirasakan namun sulit diberi batasan. Cinta bersifat universal. Bisa menerpa siapa saja, tak mengenal ras, suku, bangsa dan agama. Untuk mempermudah pemahaman, saya membagi cinta dalam dua tingkatan, yakni cinta kepada sesama makhluk dan cinta kepada Tuhan. Cinta kepada sesama makhluk yang paling popular adalah cinta manusia dengan lawan jenis. Pada masa remaja, masing-masing kita tentu pernah mengalami proses jatuh cinta. Ketika rasa cinta itu datang, perasaan akan selalu bergelora. Sama dengan penggalan bait sebuat lagu, jatuh cinta berjuta rasanya. Indahnya jatuh cinta, memang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Saya pernah jatuh cinta dengan teman perempuan semasa duduk di bangku SLTA. Meski mungkin tergolong cinta monyet, kehadiran perempuan itu terbukti menambah semangat belajar. Apalagi setiap berada di kelas, gadis berjilbab itu selalu duduk persis di samping saya. Wah, wah, wah…indah rasanya. Saya yakin, dia juga merasakan hal yang sama dengan saya. Buktinya, kalau ada orang lain yang mengambil alih posisi duduk di samping saya, dia pasti marah dan merasa kurang nyaman kalau tidak mendengarkan penjelasan guru sambil duduk di samping saya. (Ups, ini termasuk narsis nggak ya?) Singkat cerita (karena saya sekarang sudah nggak ABG lagi), kehadiran cinta memang bisa membawa dampak spikologis yang dahsyat. Proses belajar yang biasanya dilakukan dengan bermalas-malasan, bisa berubah menjadi rajin, bergairah dan menyenangkan, bila dilakukan bersama orang yang dicintai. Bahkan lebih dari itu, demi orang yang dicintai, seseorang biasanya akan rela mengorbankan apa saja yang dimiliki. Kehadiran cinta mampu membuat pengorbanan menjadi perbuatan suka rela dan bukan lagi menjadi beban. Itu baru dampak kedahsyatan cinta dengan sesama manusia, Padahal, menurut para ustadz atau guru ngaji saya sejak kacil, ada tingkatan cinta yang lebih tinggi di atas cinta kepada sesama. manusia, yakni cinta kepada Tuhan. Sebagai seorang muslim, saya akan mendasari tingkatan cinta itu dengan firman Allah dalam Al-Qur’an yang artinya : “Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (QS. Al Baqarah, 165). “Katakanlah jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khuwatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya, dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya” (QS. At taubah, 24). Dari dalil Al-Qur’an tersebut, sangat jelas bahwa cinta kepada Allah menempati tingkatan teratas yang tidak ada tandingannya dibandingkan dengan cinta sesama makhluk. Menurut para ulama, cinta kepada Allah harus dibuktikan dengan kesungguhan hamba untuk menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Dengan demikian posisi cinta jelas berada di atas kewajiban atau di atas kewajiban ada cinta. Tidak ada cinta tanpa dibuktikan dengan konsistensi melaksanakan kewajiban dan menjauhi semua larangan-Nya. Sayangnya, logika penjelasan ini justru membuat diri saya gamang dalam menilai perbuatan yang saya lakukan selama ini. Saya tentu tidak rela jika ada orang lain yang menilai saya tidak mencintai Tuhan. Tetapi dalam sikap perbuatan sehari-hari, saya masih sering tidak konsisten dalam melaksanakan semua perintah dan menjauhi seluruh larangan-Nya. [caption id="attachment_46039" align="alignleft" width="300" caption="illustrasi"][/caption] Contoh yang paling mudah, ketika mendengar suara adzan panggilan shalat berkumandang, saya seharusnya langsung bergegas ke masjid untuk ikut shalat berjama’ah. Nyatanya, ketika mendengar suara adzan, saya masih sering menunda tidak mensegerakan diri melangkah ke masjid, dengan alasan waktu shalat masih panjang. Padahal, bila shalat dilaksanakan karena cinta kepada Allah, seharusnya begitu mendengar azan berkumandang, saya harus bergegas ke masjid ikut shalat berjama’ah. Sikap bergegas ini menjadi bukti kerinduan dan kecintaan hamba kepada Tuhannya. Tak ada lagi beban sedikitpun, termasuk rasa bermalas-malasan yang bisa menghalangi rasa kerinduan dan cinta sang hamba untuk bertemu Tuhan. Dengan contoh sederhana ini, apakah bisa disimpulkan saya telah berbohong kepada Tuhan? Saya tak rela bila ada orang lain yang menilai saya kurang mencintai Tuhan. Tapi sikap dan perbuatan saya belum mencerminkan sikap seorang hamba yang selalu merindukan dan mencintai Tuhan. Apakah saya membohongi Tuhan atau memang kadar cinta saya kepada Tuhan masih tipis dan masih memungkinkan ditingkatkan kualitasnya menjadi cinta yang sejati. Bergegas untuk melaksanakan perbuatan baik, baik yang wajib maupun yang sunah, dengan tanpa beban, jelas menjadi bukti cinta seorang hamba kepada Tuhan. Cinta kepada Tuhan harus dibuktikan dengan langkah kongkrit seperti membantu kaum dhu’afa (kaum lemah) agar lebih berdaya, mencerdaskan orang yang masih bodoh, dan berbagai perbuatan baik lainnya yang hanya dilandasi niat mencari ridla Allah. Sebaliknya, melaksanakan perbuatan yang dilarang Tuhan, seperti korupsi, menipu, menindas dan merampas hak kaum duafa, apalagi dilakukan sengaja dengan kesadaran penuh, itu tidak hanya menjadi bukti tidak adanya cinta kepada Tuhan tapi secara terang-terangan menantang Tuhan. Nah, setujukah anda dengan alur logika ini? Jika setuju, jangan harap Tuhan mencintai kita kalau kita sendiri tidak terus berusaha untuk mencintai Tuhan. Sebaliknya, kalau Tuhan sudah mencintai kita, apa pun yang kita mau, saya yakin seyakin yakinnya, Tuhan pasti akan mengabulkan. Nah, memasuki tahun baru 2010 ini, sudahkah kita melakukan perubahan kualitas hidup pribadi dan keluarga kita untuk menuingkatkan kadar cinta kita kepada Tuhan?*** Salam hangat dan tetap semangat Imam Subari
KEMBALI KE ARTIKEL