Oleh: Suardi
Utang pemerintah (negara) atau sovereign debt adalah utang yang dikeluarkan atau dijamin oleh pihak pemerintah pada suatu negara. Artinya, utang negara adalah surat utang yang dikeluarkan oleh pemerintah nasional.
Mengenai utang pemerintah, di era Presiden Jokowi ini memang menjadi perbincangan. Pasalnya, utang negara di era pemeritahan Jokowi kini terus membengkak. Dikutip dari laman money.kompas.com per 28 Februari 2022 utang tersebut sudah menembus Rp7.014,58 triliun.
Utang tersebut bertambah cukup dignifikan, apabila dibandingkan posisi utang pemerintah pada sebulan sebelumnya atau per 31 Januari 2022 yakni Rp6.919,15 triliun. Artinya dalam rentan waktu sebulan utang negara bertambah sebesar Rp 95,43 trilun.
Jika dilihat memang utang pada era Jokowi cenderung terus alami kenaikan mulai dari periode pertama hingga periode kedua. Dalam kurun waktu periode pertama tahun  2014 hingga 2019, utang pemerintah sudah mencapai sebesar Rp 4.016 triliun.
Wacana untuk mengurangi jumlah utang pemerintah seperti pernah dikatakan oleh Tim Kaampanye Jokowi jelang kontestasi Pilpres kemarin nyatanya tidak terbukti. Utang pemerintah bukannya berkurang, tapi justeru alami kenaikan.
Melihat utang pemerintah yang membengkak, banyak orang kemudian membandingkan antara utang pemerintah era Jokowi dan era Presiden SBY. Dikutip dari laman DJPPR Kementrian Keuangan, jumlah utang pemerintah di era SBY tercatat lebih kecil dibandingkan era Jokowi.
Pada tahun 2007 periode pertama pemerintahan Presiden SBY utang pemerintah sebesar Rp 1.389,41 triliun, kemudian tahun 2009 atau tahun periode akhir Presiden SBY jumlah utang pemerintah pusat tercatat sebesar Rp1.590,66 triliun.
Berikutnya, masuk periode kedua atau tahun 2010 era SBY. Utang pemerintah pusat menurut Kementrian Keuangan yakni sebesar Rp 1.676,85 triliun. Hingga tahun 2014 atau masa berakhirnya periode kedua pemerintahan SBY utang pemerintah yakni sebesar Rp 2.608.78 triliun.
Meskipun demikian, utang pemerintah masih dianggap wajar. Pasalnya, dalam Undang-Undang Negara, rasio utang terhadap PDB yang harus dijaga dan tidak boleh melebihi batas yakni tidak boleh lebih dari 60 persen. Tetapi utang adalah utang yang harus dibayar, utang tersebut akan diwariskan pada pemerintahan berikutnya yang tentu berdampak pada stabilitas perekonomian nasional.
Beban Utang Pemerintah
Masalah utang pemerintah bukan soal perkara masih batas wajar atau tidak, tetapi kita harus melihat dampak dari utang tersebut, karena ketika berbicara masalah utang maka dimasa yang akan datang akan menjadi beban pelunasan berupa cicilan pokok beserta bunganya. Selain itu utang pemerintah juga berdampak segala aspek diantaranya pajak, dan BBM yang sudah dirasakan masyarakat saat ini.
Mengenai beban utang, menurut saya kita perlu belajar dari sejarah pada masa kolonial Belanda di Indonesia. Sebelum Belanda menanamkan kekuasaan secara politik Belanda membuat sebuah kongsi dagang bernama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie). VOC pada waktu itu memiliki utang banyak, sehingga untuk menutupinya VOC membebankannya pada rakyat.
Untuk melunasi utang-utangnya tersebut, Belanda kemudian memberlakukan sistem tanam paksa dengan cara mendorong produktivitas pertanian yang yang disebut sebagai cultur stelsel ( Van De Bos tahun 1830 hingga 1870an). Belanda juga menaikan pajak yang memberatkan untuk menutupi semua utang-utangnya.
Dalam konteksnya sekarang tentu tidak jauh berbeda dengan yang diterapkan pada masa kolonial Belanda dulu, ada kemiripan. Utang negara muncul akibat dari belanja negara yang membengkak sedangkan penerimaan negara tidak bertambah, maka pilihan logis untuk menutupi belanja tersebut yakni dengan berutang.
Kita tahu bahwa sumber pendapatan terbesar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yaitu berasal dari pajak. Dominasi penerimaan merupakan satu hal yang sangat wajar, sumber penerimaan ini mempunyai umur tidak terbatas, terlebih dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk yang mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Pajak memiliki peran yang sangat besar dan semakin diandalkan untuk kepentingan pembangunan dan pemgeluaran pemerintah. Hal ini seperti dikatakan Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Perpajakan Puspita bahwa penerimaan pajak hampir 73 persen dari total penerimaan negara. Sisanya didapatkan dari penerimaan bea dan cukai, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan hibah.
Selain itu, penerimaan negara tersebut tidak hanya disalurkan di pemerintah pusat namun juga ke daerah. Dikutip dari pajakku.com, terhitung sebanyak Rp826,8 triliun dari belanja negara berupa transfer ke daerah dan dana desa. Dana tersebut akan ditujukan untuk pembangunan daerah.
Kepatuhan Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakannya akan meningkatkan penerimaan negara dan akan meningkatkan besarnya rasio pajak. Pasalnya, dengan peningkatan kepatuhan masyarakat untuk membayar pajak, maka pemerintah bisa berupaya menekan utang negara. Tak hanya itu pemerintah juga akan menaikan tarif pajak agar pendapatan negara mencapai target.
Melalui kebijakan menaikan tarif pajak tentu kita bisa melihat bahwa pada akhirnya disadari atau tidak, baik secara langsung maupun tidak secara langsung, utang pemerintah dibebankan kepada rakyat bak zaman VOC. Seperti diketahui pemerintah telah menaikan pajak berupa PPN, PPH dan cukai rokok sejak April 2022 kemarin.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik dari 10 persen menjadi 11 persen. Bahkan, seperti dikutip dari pajakku.com, pada tahun 2025 mendatang PPN juga akan dinaikan menjadi 12 persen. PPH juga naik untuk mereka yang memiliki penghasilan diatas 5 miliar yaitu sebesar 5% yang awalnya 30% menjadi 35%. Â
Â
Selanjutnya adalah cukai rokok. Saat ini harga rokok nyaris terus naik, hal ini tentu dikarenakan naiknya cukai rokok sejak 1 Januari 2022. Taris cukai rokok atau cukai hasil tembakau (CHT) naik sebesar 12%.
Tarif cukai yang naik ini menyebabkan harga jual eceran (HJE) untuk rokok mengalami kenaikan juga. Harga rokok per bungkusnya paling tinggi menjadi Rp 40.100/bungkus yang isinya 20 batang. Sedangkan SKM golongan I, harganya paling tinggi sebesar Rp 38.100/bungkus.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani kenaikan cukai rokok akan berkontribusi terhadap penurunan produksi rokok sebesar 3 persen. Kenaikan cukai rokok juga bertujuan untuk menurunkan prevalensi perokok usia anak/dewasa jadi 8,83 persen dari 8,7 persen RPJMN tahun 2024.
Tak berhenti disitu, selain menaikan tarif pajak, menurut saya untuk menaikan penerimaan negara, pemerintah meneluarkan kebijakan naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk jenis pertamax dan melarang pertalite dijual eceran. Kebijakan ini tentu tidaklah pro terhadap rakyat kecil, yang tentu dampaknya sangat besar terhadap perekonomian masyarakat.
Rakyat kecil seolah dipaksa untuk membeli pertamax yang harganya jauh lebih mahal dari harga pertamax sebelumnya dan dari pertalite. Masyarakat teutama di pedesaan atau pedalaman harus membeli pertamax dengan harga Rp15000//liter, sedangan bahan bakar jenis pertalite hanya bis dibeli langsung dari Pom Pertamina.
Artinya hanya masyarakat kota yang berhak menikmati BBM pertalite yang harganya lebih murah, sedangkan bagi masyarakat kecil ia dipaksa harus membeli pertamax. Hal ini tentu berdampak pada perekonomian di desa, mengingat kendaraan menjadi kebutuhan pokok dalam meunjang aktivitas ekonomi saat ini.
Mungkin semua orang bisa membayangkan, bagaimana jika menimpa pada mereka yang memiliki penghasilan kecil contoh 50 ribu per hari umpamnya, yang awalnya ia untuk mengisi bahan bakar 2 liter menghabiskan uang 15 ribu, kini harus menghabiskan dua kali lipat dari itu. Bukankah ini menindas? dimana kebijakan yang disebut pro rakyat itu? dimana UUD 1945 dan Pancasila itu.
Dalam kaitannya utang pemerintah, menurut saya seharusnya pemerintah bisa mengukur pada pendapatan negara, menurut saya pemerintah harus mengambil kebijakan yang manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat. Bukan berarti kita anti pembangunan, tetapi pembangunan juga harus selaras dengan tujuan kesejahteraan rakyat, untuk apa kita memiliki bangunan tinggi dan megah jika rakyatnya harus tercekik.
Saya rasa masih banyak diluar sana rakyat yang kelaparan, masih banyak diluar sana anak kecil yang tidak sekolah karena terhambat biaya, masih banyak diluar sana yang tidak memiliki tempat tinggal. Ini menjadi tanggungjawab siapa lagi, jika bukan negara. Negara harus hadir menjamin kehidupan warganya seperti yang tertuang dalam Undang-Undang kita, yaitu melindungi segenap warga negara Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Demikian, tulisan ini hanyalah refleksi dari demo-demo yang dilakukan oleh mahasiswa tapi tidak menghasilkan apa-apa.