Menyikapi soal video yang saat ini membuat gempar jagad online khususnya dalam ranah agama. Video yang berdurasi sekitar lima menit itu menamampakkan aktifitas bebrapa pelajar SMAN 2 Tolitoli yang sedang memeragakan aktifitas shalat. Berbeda dengan aktifitas sholat pada lazimnya, mereka tidak menutup aurat dengan benar dan menambahi gerakan dengan berjoget-joget ria sambil di iringi musik barat.
Inilah hasil output pendidikan di negeri kita, negeri dengan faham pancasila yang berlandaskan ketuhanan yang maha esaternyata melahirkan generasi-generasi yang menganggap remeh sebuah agama. Agama yang seharusnya merupakan “daerah” suci dan mensucikan kini tak luput menjadi bahan tertawaan, ironisnya ini dilakukan di tangan pelajar yang merupakan tonggak intelektualitas dan mercusuar kepribadian luhur.
Sistem kurikulum Indonesia, khususnya tingkat SMA/SMK mereka semua rata-rata menyediakan alokasi waktu 2 jam tiap minggunya untuk pelajaran normative (Agama dan Kwarganegaraan), belum lagi ditambah kebijakan sekolah dalam peningkatan kerohanian siswa. Namun ini semua seperti tidak berbekas apa-apa, bahkan dalam diri seorang pelajar yang notabennya masih menjalani itu semua. Pelajar yang seharusnya menjadi duta kebaikan dan intelektualitas bagi sekolahnya kini memilih menjadi duta yang menjatuhkan harga diri pendidikan, khususnya dalam ranah agama.
Memang tidak mudah membangun kepribadian seseorang untuk menjadi baik, apalagi menangani seorang pelajar yang sedang mengalami masa perkembangan, penyesuaian dan pencarian jati diri. Berangkat dari sini maka kita harus memastikan mereka-mereka yang berperan dalam membentuk dan mengarahkan pelajar dalam pencarian jati diri mereka. Ibarat seorang penggembala, mereka yang tidak mahir menggembala akan membuat gembalanya terpencar, masuk ke jurang atau di terkam binatang buas.
Untuk itu maka peran orang tua sebagai sekolah pertama dan utama bagi anak menjadi sangat penting.Orang tua sebagai fondasi spiritual dan intelektual dituntut untuk lebih peka dan lebih mengerti akan kondisi rohani dan jasmani anak-anaknya. Orang tua yang bersikap acuh akan hal itu maka insyaallah hanya akan menelurkan generasi-generasi lemah dan amoral. Terlebih jika orang tuanya lemah dalam rohani dan intelektual, sudah tak tau-tak peduli pula, sudah jatuh-tertiban tangga pula. Kasihan negeri ini.
Peran guru sebagai pemegang amanah dari para orang tua yang mempercayakan pengembangan rohani dan kecerdasan anak-anak mereka menjadi aktor utama setelah orang tua dalammembuat skenario kehidupan yang lebih baik. Dari sini peran guru dituntut untuk lebih massif dalam menanamkan nilai nilai kebaikan kepada peserta didik.
Tugas guru tidak hanya berdiri mengajar, menyampaikan materi dan member tugas namun lebih penting dari itu semua adalah mengayomi dan mendidik peserta didik. Namanya juga pendidik, ya mendidik. Saya kira bapak-ibu guru lebih faham tentang itu.
Inilah yang dibutuhkan negeri ini. Ketika kita semua sadar akan hal ini, dimana nilai nilai agama, kebaikan dan keluhuran menjadi unsur yang sangat essensial bagi karakteristik pendidikan negeri ini. Make lambat laun akan tercapai cita-cita pendidikan, menciptakan generasi-generasi intelektual dan agamis. Generasi-generasi yang taat kepada Tuhannya, juga menghormati sesamanya. Wallahu’alam
Oleh : Riaa, Jakarta