Arya, anak dari pernikahan kedua ayahku, baru saja pindah dari Jakarta setelah ibunya meninggal. Ia lebih tua lima tahun dariku, seorang pemuda dengan wajah dingin dan mata yang selalu terlihat menilai. Ketika dia tiba, ibu tiri kami, Lestari, menyambutnya dengan penuh haru, tetapi aku merasakan ada sesuatu yang janggal di balik senyuman itu.
Aku mencoba bersikap biasa saja, tetapi ada perasaan tidak nyaman yang terus menghantuiku setiap kali Arya berada di dekatku. Ada sesuatu tentang dirinya yang tidak bisa kujelaskan, sesuatu yang terasa salah. Namun, aku tidak pernah berani mengungkapkan hal itu pada siapa pun, terutama pada ibu. Dia terlalu sibuk mengurus perusahaan keluarga bersama ayah, dan selalu menekankan pentingnya menjaga keharmonisan keluarga.
Hari-hari pertama Arya di rumah kami diisi dengan keheningan. Dia jarang berbicara, lebih sering menyendiri di kamarnya. Namun, malam itu, ketika aku sedang belajar di ruang tamu, dia tiba-tiba duduk di sebelahku.
"Sedang belajar apa?" tanyanya dengan suara rendah.
"Biologi," jawabku singkat, sambil terus memandangi buku di depanku.
"Kamu suka biologi?"
"Lumayan."
Percakapan itu berakhir begitu saja. Dia duduk diam, memandang layar televisi yang menyala tanpa suara. Aku bisa merasakan tatapannya sesekali beralih padaku, membuatku semakin gelisah.
"Kamu tahu, Dinda," katanya setelah beberapa saat, "Aku tidak pernah mengira akan tinggal di sini. Semua ini terasa asing bagiku."
Aku menoleh padanya, mencoba membaca ekspresinya. "Kamu bisa menyesuaikan diri seiring waktu," jawabku.
"Apakah kamu merasa nyaman dengan keberadaanku di sini?" tanyanya tiba-tiba.
Pertanyaannya membuatku terdiam. Aku tidak tahu harus menjawab apa. "Aku... aku tidak masalah," jawabku akhirnya, meski aku tahu itu bukan jawaban yang jujur.
Arya tersenyum tipis, tetapi senyum itu tidak sampai ke matanya. "Aku harap begitu," katanya sebelum berdiri dan meninggalkanku sendirian di ruang tamu.
Sejak malam itu, aku merasa ada perubahan dalam perilaku Arya. Dia mulai lebih sering muncul di hadapanku, entah itu saat aku sedang belajar, menonton TV, atau sekadar duduk di teras. Tatapannya yang selalu menilai itu semakin membuatku tak nyaman, seolah-olah dia mencoba menembus pikiranku.
Suatu malam, saat aku sedang tidur, aku mendengar pintu kamarku terbuka perlahan. Jantungku berdegup kencang saat aku merasakan kehadiran seseorang di dekatku. Aku pura-pura tidur, berharap siapapun itu akan pergi. Tapi bayangan gelap itu semakin mendekat, dan aku mendengar suara napas yang familiar.
"Dinda..." suara Arya berbisik di dekat telingaku, membuat bulu kudukku meremang. Aku merasakan tangan dinginnya menyentuh pundakku, mengguncangnya pelan.
Aku tak tahan lagi. Aku melompat dari tempat tidur dan menyalakan lampu, menatapnya dengan tatapan marah sekaligus takut. "Apa yang kamu lakukan di sini, Arya?" suaraku gemetar, namun ada keberanian yang muncul entah dari mana.
Arya mundur selangkah, ekspresi wajahnya berubah menjadi dingin dan keras. "Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja," jawabnya dengan nada tenang yang membuatku semakin tidak nyaman.
"Keluar dari kamarku!" bentakku, kali ini dengan lebih tegas.
Arya mengangkat tangannya seolah menyerah. "Baik, baik. Jangan marah," katanya sambil berbalik dan meninggalkan kamarku. Pintu ditutup dengan pelan, namun aku masih bisa merasakan ketegangan di udara.
Keesokan paginya, aku tidak bisa menyembunyikan kegelisahanku. Saat sarapan, ibu memperhatikanku dengan tatapan curiga. "Kamu kenapa, Dinda? Kelihatan pucat," tanyanya dengan nada khawatir.
"Aku... tidak apa-apa, Bu," jawabku sambil mencoba tersenyum. Namun, aku tahu senyum itu tidak bisa menyembunyikan ketakutanku.
Arya duduk di seberangku, menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan. Ibu sepertinya tidak menyadari ada yang salah. Aku merasa terjebak, tidak tahu harus bagaimana. Malam demi malam berlalu, dan aku selalu mengunci pintu kamarku sebelum tidur. Namun, bayangan Arya selalu menghantui pikiranku.
Suatu malam, aku terbangun oleh suara gaduh dari lantai bawah. Aku mengintip dari celah pintu, melihat Arya berjalan keluar rumah dengan langkah terburu-buru. Rasa penasaran mengalahkan ketakutanku, dan aku diam-diam mengikutinya.
Dia berjalan ke arah gudang tua di belakang rumah, tempat yang jarang kami datangi. Aku bersembunyi di balik semak-semak, mengintip ke dalam melalui jendela kecil yang retak. Di dalam, aku melihat Arya sedang berbicara dengan seseorang melalui ponsel.
"Kamu yakin ini akan berhasil?" suara Arya terdengar tegas, tapi ada ketegangan yang jelas.
Seseorang di ujung sana menjawab, tetapi aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Arya terus berbicara, memberikan instruksi yang tidak aku mengerti. Perasaanku semakin tidak nyaman. Apa yang sebenarnya sedang direncanakan kakak tiriku ini?
Ketika dia selesai berbicara dan keluar dari gudang, aku segera bersembunyi di balik pohon. Arya berjalan kembali ke rumah dengan langkah tenang, seolah-olah tidak ada yang terjadi. Aku tahu ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang berbahaya.
Pagi berikutnya, aku memutuskan untuk memberitahu ibu tentang kecurigaanku. Namun, ketika aku memasuki ruang tamu, aku mendapati ibu dan Arya sedang berbicara dengan serius.
"Dinda, mari sini," kata ibu sambil tersenyum. "Arya punya sesuatu untuk diberitahukan padamu."
Arya menatapku dengan senyuman yang terasa aneh. "Aku akan pergi, Dinda. Ada urusan yang harus kuselesaikan di Jakarta."
Aku terkejut, tetapi juga lega mendengar itu. "Pergi? Untuk berapa lama?" tanyaku mencoba menyembunyikan kelegaan dalam suaraku.
"Cukup lama. Tapi jangan khawatir, aku akan kembali," jawabnya, masih dengan senyuman misterius itu.
Dan benar saja, beberapa hari kemudian, Arya pergi. Namun, rasa gelisahku tidak hilang. Malam-malam di rumah terasa lebih tenang tanpa kehadirannya, tapi ada sesuatu yang tetap membuatku tidak tenang.
Pada suatu malam yang dingin, sebuah panggilan telepon membangunkan kami. Suara di ujung sana memberitahu sesuatu yang mengejutkan: Arya telah tertangkap polisi di Jakarta karena keterlibatannya dalam sindikat kejahatan yang telah lama dicari. Aku terdiam, tidak percaya dengan apa yang kudengar.
Ibu terduduk lemas, menangis terisak. "Aku tidak menyangka... tidak pernah menyangka..."
Seketika, semua kepingan teka-teki itu mulai terhubung di pikiranku. Tatapan tajam Arya, malam-malam penuh kecemasan, dan percakapannya di gudang. Aku merasa marah sekaligus lega karena intuisi yang selama ini kurasakan ternyata benar.
Namun, di balik semua itu, ada satu pertanyaan yang tidak bisa kuhilangkan dari pikiranku: Apakah semua ini akan berakhir di sini, atau Arya akan kembali, seperti janji yang pernah dia ucapkan dengan senyum dinginnya?
Tamat.