"Kau tahu, ini bukan tempat aman lagi untuk menghabisi waktu atau bahkan sekedar membuang-buang waktu. Tempat ini sudah berbeda sekarang. Aku mungkin akan pergi dan tinggal di tempat lain. Tenang dan bebas menjalani hari-hariku," kata Ardian padaku.
"Loh kenapa? Bukankah tempat ini menjadi tempat yang begitu kau gemari dahulu?," tanyaku keheranan.
"Itu dulu. Sekarang sudah berubah," katanya dengan tatapan kosong.
Siang yang panas ini hanya menghembuskan angin yang kering dan gerah. Tak ada tanda-tanda akan turun hujan.
"Bahkan perubahan itu tidak berlangsung lama John. Sebentar dan sangat cepat. Lebih cepat dari kesadaranku sendiri," katanya melanjutkan.
"Tinggal dua minggu lagi dan kau akan tahu apa hasil dari perjuanganmu. Hal yang sunggu aneh jika tiba-tiba kau mau pergi dan meninggalkan kota ini. Aku bahkan mendukungmu menentukan sikapmu yang mau memperjuangkannya," kataku sambil menatap tajam matanya.
"Hahaha!!!" Ardian tertawa, lalu menggeser sedikit badannya ke sandaran kursi dan bersandar.
"Kau tahu John? Aku akan menyesali keputusanku waktu itu seumur hidupku. Ya, mungkin seumur hidupku," kata Ardian padaku dengan nada sesal yang pekat.
"Loh apa yang terjadi?" kataku keheranan. Aku mulai penasaran dengan sikap pria di depanku ini sekarang.
"Ya, mungkin seumur hidup aku menyesali keputusan ini. Kau tahu aku kan John? Pernah berkata, seumur hidup tidak akan ikut campur urusan yang seperti itu? Mereka akan tetap menjadi tikus-tikus busuk dan bau anyir. Tapi entah mengapa aku melanggar janjiku sendiri. Lalu memperjuangkan calon tikus busuk yang satu ini!!" katanya padaku dengan suara yang sudah meninggi. Dia bahkan tidak mempedulikan keterkejutanku atas perubahannya sikapnya.
Ya, pria yang ada di depanku sunggu berbeda di siang ini. Pria yang kukenal sebagai sahabat yang tenang dan tidak banyak bicara. Sahabat lama dari bangku kuliah semester awal.
Dia pintar dan jenius. Oh dan satu lagi yang membuat Ardian istimewa adalah dia mudah sekali menolong orang lain. Mudah sekali tersentuh untuk menolong orang lain. Itulah sebabnya setelah dia lulus dari bangku kuliah, dia mendirikan sebuah yayasan amal untuk kemanusiaan di kota ini.
Siang ini masih begitu panas. Keringat sudah dari tadi muncul dari balik pori-poriku. Aku bahkan tidak menyadarinya dan lebih terpaku dengan sahabat di depanku ini sekarang yang tiba-tiba berubah.
"Dia orang baik dan dermawan sepertimu Ardian," kataku mencoba membela orang yang dia maksud.
"Apa??? Hahaha!!" Ardian kembali tertawa mendengar perkataanku, bahkan lebih mirip orang stres aku rasa.
"Dengar John, Binsar itu hanya calon tikus busuk! Dan kau tahu? Dia lebih tikus dari tikus manapun yang pernah kukenal. Dia kejam John!!!" Ardian kini benar-benar marah, aku rasa begitu.
"Dia bahkan mengatakan padaku akan mengenyahkan orang-orang yang ingin membuat langkahnya terhenti untuk jadi tikus paling busuk dan paling kejam yang pernah kukenal," Ardian berkata sambil menatapku dengan rona wajah marah, menyesal dan entah apalagi ekspresi wajah yang ada di depanku ini sekarang.
"Apa!!!" kataku dengan rasa kaget yang luar biasa.
"Ya! Mengenyahkan John. Tidak mencari-cari kesalahan calon-calon lain, bahkan dia rela melumuri tangannya dengan darah orang-orang tak bersalah itu. Tidak!! Aku tidak ingin masuk lebih dalam lagi untuk mengetahui kalau Binsar itu hanyalah orang busuk dan berotak dangkal. Cukup sampai disini!" kata Ardian itu bagaikan petir di pagi hari yang begitu cerah.
Matahari semakin panas menyengat di luar. Keringat sudah mulai membanjir tak terbendung tapi aku bahkan tidak menyadarinya. Ardian sesekali memperbaiki letak kaca matanya. Kini dia bersandar di kursi depanku dengan ekspresi yang lemah dan tak berdaya.
"Ya Tuhan! Sebegitu bejatnya kah dia?" kataku sambil melayangkan pandangan keluar halaman yang panas.
Lalu ingatanku melayang kepada binsar. Dia cukup terkenal di kota kami ini. Sama seperti Ardian, Binsar juga adalah orang yang baik, dermawan dan memiliki beberapa yayasan di kota ini untuk membantu orang-orang yang kurang mampu.
Setahun belakangan ini, Binsar dan Ardian sudah berteman baik. Itu dikarenakan misi mereka yang sama dan punya yayasan masing-masing untuk membantu orang-orang yang kurang mampu. Hanya saja dalam tahun ini Binsar memutuskan untuk jadi calon anggota legislatif untuk mewakili daerah dan kota kami ke Senayan.
Dalam omongannya pada suatu hari kepada Ardian, Binsar berkata bahwa dia memutuskan untuk menjadi calon wakil rakyat ke Senayan setelah mempertimbangkan banyak hal. Dan lagi katanya, dengan adanya dirinya di Senayan sana, maka akan lebih mudah baginya untuk menolong orang-orang yang kurang mampu.
Namun semua omongan yang aku dengar dari Ardian itu dahulu, kini dipatahkan oleh Ardian sendiri siang ini. Hal ini benar-benar membuatku kaget bukan kepalang. Sebab aku sendiri juga mengetahui siapa Binsar itu secukupnya.
Sifat dermawan dan mau menolong orang-orang yang kurang mampu. Inilah yang membuat sahabatku dengan antusias mau mendukung Binsar dalam pencalonannya.
Padahal aku kenal betul sahabatku yang satu ini dari dulu. Dia begitu anti dengan yang namanya politik. Baginya politik itu hanyalah tempat untuk mengubah orang menjadi tikus busuk dan najis. Bahkan mengubah orang kehilangan akal sehat dan moral.
Namun entah mengapa Ardia berubah pikiran ketika Binsar memutuskan untuk maju dalam pemilihan anggota legislatif tahun ini. Mau mendukung, bahkan menjadi juru kampanye untuk Binsar karena memang orang di kota ini juga mengenal sudah mengenal cukup baik siapa itu Ardian. Sehingga Binsar memintanya untuk menjadi salah satu juru kampanyenya.
"Binsar itu berbeda orangnya. Dia baik dan tulus membantu orang-orang yang kurang mampu. Misi kami sama dan tidak ada salahnya aku mendukung dia sebagai calon legislatif," kata Ardian padaku suatu hari, sewaktu aku menanyakan tentang dukungannya itu.
"Tapi bukankah kau bilang tidak akan ingin ikut campur dengan urusan yang berbau dengan politik? Aku hanya kau tak menyesal di kemudian hari," kataku menimpali perkataannya waktu itu.
"Hehehe semoga saja Binsar tidak begitu. Misinya kan baik untuk menolong orang-orang yang kurang mampu jika sudah duduk di Senayan nantinya," kata Ardian mencoba membela.
Waktu itu aku berpikir, apa yang dikatakan oleh Ardian ada benarnya juga. Lagipula jika dilihat ke belakang, tidak ada rekam jejak yang buruk ditemukan pada diri Binsar.
Jadi jika sahabatku Ardian saja yang dulu begitu anti dengan yang namanya politik mau mendukungnya, apalagi aku yang justru sedikit tertarik dengan isu-isu politik. Sudah pasti mendukung penuh. Apalagi jika dilihat niat mulia Binsar ini.
Namun semua itu tersapu angin yang begitu kuat siang ini. Ardian dengan kemarahan yang begitu pekat, menyesali dengan keputusannya itu. Dan kini penyesalan yang tersisa. Sangking menyesalnya, Ardian bahkan ingin pindah ke kota lain dan tidak mau tinggal di kota ini lagi.
"Baiklah John, aku mau pulang dulu. Tinggal beberapa hari lagi aku disini. Semua sudah kuurus, tinggal pindah saja beberapa hari ke depan. Akan kukabari kau jika semua urusanku sudah beres di kota ini. Dan tentu saja kejadian ini membuatku semakin membenci politik. Itu hanya tong sampah tempat tiku-tikus busuk mencari mangsa!" kata Ardian padaku. Dia lalu berdiri dan pulang tanpa mempedulikan keterkejutanku.
Aku terpaku di teras rumah yang begitu panas siang ini. Sampai aku tidak menyadari bahwa dari tadi sudah turun hujan dan mungkin akan deras sekali.
Lalu aku masuk ke dalam rumah menghindari terpaan angin kencang dan hujan yang sudah mulai deras. Kenapa hujan begitu deras? Padahal tadi begitu panas luar biasa. Ahhh hampir mirip seperti politik di negeri ini. Pada awalnya sangat panas, namun tiba-tiba begitu dingin menusuk. Pada awalnya menajiskan politik kotor, namun baru di pertengahan saja sudah begitu kotornya politik itu. Pada awalnya menajiskan korupsi, namun menjelang halaman-halaman terakhir cerita bahkan korupsi berjamaah dan masif menodai semuanya. Sehingga bau busuknya lebih dari tikus busuk.
Aku mendesah memikirkannya. Aku tidak anti dengan poltik seperti yang dilakukan sahabatku. Toh pada akhirnya da juga berubah pikiran, walaupun kini dia menyesalinya. Semoga masih ada yang punya niat tulus untuk berjuang bagi rakyat, tidak semua jadi tikus busuk.
Hujan masih saja terus mengguyur dengan deras. Entah kapan berhenti.
Medan, April 2014