Perdebatan muncul karena menduanya sikap PKS dalam koalisi Pemerintah, di satu sisi menjadi bagian kekuasaan tapi di sisi lain merongrong pemerintahan dengan wacana penolakan harga BBM.
Penolakan inipun belum jelas bahkan sampai hari ini, Menkominfo Tifatul Sembiring yang juga anggota Dewan Syuro masih menegaskan bahwa PKS mendukung penuh kenaikan harga BBM bertentangan dengan pernyataan Anis Matta yang menolak kenaikan.
Mungkin inilah yang disebut kontestasi atau festivalisasi pendapat yang kurang baik ditampilkan di publik.
Teriakan agar PKS mundur dari koalisi sejatinya bukan diteriakan oleh partai Demokrat saja, tapi merata oleh semua anggota partai koalisi seperti Golkar, PAN, PKB, dan PPP.
Cara-cara usiran dari yang paling halus oleh SBY, Aburizal, Drajad Wibowo, Suryadarma Ali atau yang vulgar seperti Ruhut Sitompul, Sutan Batoegana, Nurhayati Ali Assegaf nampaknya belum cukup membuat harga diri partai ini terluka dan tahu diri.
PKS dalam berbagai kesempatan melalui elitnya Hidayat Nur Wahid, Anis Matta ataupun Mahfud Siddiq beralasan bahwa PKS tidak takut keluar dari koalisi tapi tidak legowo mengundurkan diri, Menteri sudah diwakafkan Presiden tapi juga mewanti-wanti agar parpol lain jangan menawari menteri-menteri tersebut pindah dari PKS.
Sebaiknya PKS segeralah memutuskan sikap, jangan terus -terusan bersikap mendua, apabila menentang kebijakan pemerintah, nyatakan sikap secara jantan keluar dari koalisi dan menarik ketiga menterinya.
Jangan lagi kebanyakan alasan macam-macam, yang sampai dicap sebagai partai munafik oleh banyak pihak..
Kritikan dari berbagai penulis terhadap PKS yang mungkin dianggap simpatisan sebagai 'musuh' kadang merupakan penilaian yang paling jujur tentang PKS..
Ingatlah Pemenang selalu kelebihan satu cara, tapi pecundang selalu kelebihan satu alasan.