Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Rapor Merah Kebebasan Beribadah di Indonesia

25 Juli 2012   08:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:38 1143 0



Oleh: Margianto

Gangguan terhadap tempat ibadah di Indonesia masih terus terjadi. Meski UUD 45 pasal 29, bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Masih banyak terjadi gangguan terhadap tempat ibadah-khususnya gereja di Indonesia. Alasannya pun beragam dan klise, yakni, tidak ada izin RT/RW, tidak ada IMB, dan yang lebih parah lagi adalah karena ketidaksukaan (intoleran) masyarakat terhadap kehadiran tempat ibadah tersebut.

Tak bisa dipungkiri bahwa, gangguan terhadap pendirian tempat ibadah ini semakin marak pasca terbitnya Peraturan Bersama Menteri (PBM) : Menteri Dalam Negeri RI dan Menteri Agama RI Nomor 8 dan 9. Mencuatnya PBM ini dinilai, justru memicu sejumlah tindakan kekerasan yang berkaitan dengan masalah keberagamaan, terutama pendirian rumah ibadah. Hal ini terekam jelas bahwa maraknya kasus penutupan gereja di Bekasi, Bogor, beberapa wilayah di Jawa Barat serta belasan gereja di Aceh Singkil beberapa waktu lalu-menunjukkan keberagaman dan kebebasan beribadah di Indonesia masih mendapatkan rapor merah.

Adakah kebebasan yang benar-benar bebas tanpa batas? Bukankah kebebasan seseorang atau sekelompok orang, sesungguhnya akan menjadi pembatas dari kebebasan orang lain atau kelompok lainnya. Dalam bahasa logika yang lain, kebebasan seseorang atau sekelompok orang pada saat bersamaan sesungguhnya telah merampas kebebasan orang lain atau kelompok yang lainnya. Kebebasan beragama adalah kebebasan untuk menentukan pilihan memeluk suatu agama yang diyakini. Kebebasan ini merupakan hak asasi setiap manusia yang dilindungi oleh undang-undang. Kebebasan beragama juga dapat bermakna bebas membentuk agama baru. Ketika seseorang bebas memeluk suatu agama, sesungguhnya ia tidak lagi bebas, karena akan terikat dengan ketentuan agama yang dipeluk dan diyakininya. Demikian juga, ketika sekelompok orang membuat suatu agama baru, sebagai "produk baru keyakinannya," maka saat itu juga sesungguhnya mereka tidak lagi memiliki kebebasan, karena setiap produk keyakinan harus teruji oleh publik dengan syarat-syarat rasional atau juga mungkin ir-rasional yang diyakini. Intinya tidak ada kebebasan beragama yang "sebebas-bebas"nya.

Fakta keberagamaan juga menunjukkan, bahwa di negara-negara yang diklaim sebagai negara bebas, seperti beberapa negara di Eropa dan Barat, aliran-aliran atau sekte-sekte tertentu juga terlarang bahkan tak jarang mengalami tindak kekerasan oleh penganut agama lainnya, ditangkap dan diadili dengan alasan mengganggu ketertiban umum atau mengancam keselamatan dan ketenangan publik.

Kebebasan beribadah, adalah hak bagi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan kewajiban agamanya sesuai dengan keyakinannya. Melaksanakan ibadah sesuai tuntunan agama yang dianut juga sekaligus menjadi kewajiban para pemeluknya sebagai cermin ketundukan, ketaatan dan loyalitas keberagamaan seseorang terhadap agama yang diyakininya. Adakah kebebasan beribadah bermakna kebebasan sebebas-bebasnya (tanpa batas) untuk melaksanakan ibadah menurut keyakinan setiap penganut agama? Faktanya tidaklah mungkin. Penghapusan 7 kata dalam Piagam Jakarta yang kemudian menjadi dasar penetapan Pembukaan UUD-1945 adalah bukti historis yang sangat kuat untuk menjawab pertanyaan di atas.

Sepanjang sejarah umat manusia, tidak ada manusia yang hidup bebas tanpa terikat oleh aturan, termasuk pada masyarakat primitif sekalipun. Semakin modern kehidupan masyarakat, semakin banyak aturan yang mengikatnya. Lebih lagi dalam kehidupan beragama. Aturan itulah yang akan memberikan perlindungan atas hak-hak umat beragama. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana melaksanakan aturan itu secara konsisten. Mau bersedia dan bertenggangrasa untuk hidup dengan orang yang berbeda agama atau beda keyakinan.

Kebebasan Beragama, Berkeyakinan & Beribadah Hanya Pepesan Kosong

Seperti diangkat dalam program Inside MetroTV dengantema "Menanti Solusi Damai Untuk Minoritas" beberapa waktu lalu, sedikitnya 16 undung-undung (kapel tempat ibadah Kristiani) atau gereja yang disegel oleh Tim Terpadu Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Singkil. Kasus penyegelan dan penyerangan gereja di Banda Aceh ini terjadi pada 1 Mei 2012 lalu. Polemik penyegelan rumah ibadah umat Kristiani di Kabupaten Aceh Singkil ini pun sampai sekarang masih menyisakan tanda tanya. Kapankah umat Kristiani di Indonesia bisa "bebas" melakukan ibadah? Bahkan penutupan sejumlah gereja di Aceh Singkil juga belum menjadi perhatian pemerintah. Padahal itu adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) karena ada pembatasan hak-hak warga negara walaupun dengan alasan apapun.

Jika dicermati, kasus di atas sebenarnya hanya merupakan sebagian dari rentetan pelanggaran terhadap kebebasan beribadah dan beragama yang di daerah lain bentuknya bisa bervariasi mulai dari penutupan, penyegelan, intimidasi, pembubaran secara paksa kegiatan umat beragama tertentu. Sebut saja diantaranya yang menimpa umat Ahmadyah, HKBP Yasmin Bogor dan HKBP Filadelfia Bekasi. Kasus tersebut masih yang tercatat dan mencuat lewat media massa, bagaimana dengan kasus serupa yang masih luput dari perhatian karena keterbatasan teknis maupun tindakan massif namun "ditutupi" oleh penguasa. Tentu angkanya akan semakin mencengangkan!

Menjadi sebuah anomali di abad keterbukaan dan gegap gempitanya suara-suara kemanusiaan (humanisasi) ini, peristiwa tersebut di atas masih terjadi dan malah semakin meningkat. Bahkan ketika negara yang mengklaim dirinya sebagai negara ber-Pancasila tidak pernah tuntas dalam hal beragama dan beribadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Lebih mengherankan lagi ketika suara-suara kritis tentang penghargaan terhadap pluralitas sebagai aspek lain dari HAM yang harus dijunjung tinggi bukan bahasa baru lagi bagi sebagian besar rakyat utamanya para aktor dan elit-elit negara. Lalu apa yang salah?.

Maraknya kekerasan bernuansa agama menunjukkan negara tidak konsisten memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak atas kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan bagi warganya. Hal ini juga membuktikan terjadinya disfungsi negara dalam menjalankan amanat konstitusi. Bukankah negara telah menjamin kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya di dalam UUD 1945. Indonesia juga telah meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia lewat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang semakin mempertegaskan lagi jaminan negara atas kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai bagian dari HAM yang berlaku secara umum?. Bahkan, negara sebenarnya telah mengesahkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik melalui UU Nomor 12 Tahun 2005.

Kenyataannya, pemerintah juga gagal menangani berbagai peraturan nasional maupun daerah (perda) yang jelas-jelas diskriminatif seperti Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 09 Tahun 2006, No 8 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah ibadat, Peraturan perundang-undangan tersebut selain sangat mengekang dan membatasi kebebasan beragama atau berkeyakinan, juga turut menyulut tindakan sepihak ormas atau kelompok agama lain terhadap kelompok lain. Dalam persfektif hak asasi manusia, negara dalam hal ini telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia melalui pemberlakuan regulasi.

Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono tampak lebih gemar berpidato tentang toleransi dari pada bekerja sungguh-sungguh dan terukur untuk menciptakan toleransi dengan memberikan jaminan kebebasan terhadap warganegaranya. Tanpa jaminan kebebasan, toleransi hanya akan menjadi politik kata-kata dari seorang presiden yang tidak berkontribusi pada pemajuan hak asasi manusia. Sepanjang 2011, tidak kurang dari 19 kali Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pesan toleransi dalam berbagai kesempatan.

Tapi semua pesan itu tidak berbekas. Bahkan untuk sekadar menegur seorang walikota yang melakukan pembangkangan hukum sekalipun. Sebagai sebuah kapital politik, kata-kata toleransi memang menyejukkan. Tapi temuan-temuan pemantauan selama lima tahun terakhir ini justru menunjukkan fakta yang bertolak belakang dari seluruh kata-kata Presiden RI (Politik Diskriminasi rezim SBY, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2011, SETARA Institute).

Jadi wajar sebenarnya Indonesia dicerca di Sidang Dewan HAM PBB, karena memang pada prakteknya telah terjadi pelanggran yang sangat memalukan. Sejak tahun 2011 saja, sudah terjadi ratusan kasus pelanggran kebebasan beragam dan berkeyakinan. Pada tahun 2011, SETARA Institute mencatat 244 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang mengandung 299 bentuk tindakan, yang menyebar di 17 wilayah pemantauan dan wilayah lain di luar wilayah pemantauan. Terdapat 5 propinsi dengan tingkat pelanggaran paling tinggi yaitu, Jawa Barat (57) peristiwa, Sulawesi Selatan (45), Jawa Timur (31) peristiwa, Sumatera Utara (24) peristiwa, dan Banten (12) peristiwa.

Ketika suatu ekspresi keberagamaan yang kritis ditekan dan dilarang oleh kelompok baik mayoritas maupun minoritas, maka mandat demokrasi Pancasila sedang dipertaruhkan. Sama halnya ketika demokrasi Pancasila tidak diikuti dengan penghormatan dan penegakan HAM secara mutlak berarti demokrasi tersebut hanya sebatas retorika. Dengan kata lain, dengan tidak adanya kebebasan beragama, berkeyakinan dan beribadah akan memupuskan harapan terhadap pemenuhan hak-hak sipil dan politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Negara seharusnya bertindak tegas dalam upaya melindungi kebebasan beragama semua kelompok berdasarkan konstitusi dan deklarasi umum PBB tentang HAM. Termasuk segera mengevaluasi dan mencabut semua peraturan yang tidak obyektif dan diskriminatif seperti SKB 2 menteri tentang pendirian rumah ibadah, perda-perda di tingkat daerah yang bias SARA dan mengoptimalkan kinerja aparat penegak hukum semisal kepolisian untuk bekerja dengan wawasan HAM. ***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun