Ada yang mengaitkannya dengan keberadaan kehidupan yang seolah-olah tidak melibatkan persetujuan manusia sama sekali (manusia tidak pernah minta untuk dilahirkan). Ketika menjalaninya pun, manusia tampaknya tidak dilibatkan (manusia hanya sebagai boneka). Jika dugaan seperti ini benar, jelas akan muncul beragam persoalan teologis maupun praktis: Apa makna dari ibadah seandainya manusia tidak memiliki kebebasan? Apakah manusia masih perlu bertanggung-jawab atas setiap keputusan dan tindakan yang mereka lakukan “seturut” dengan ketetapan Allah yang berdaulat? Bukankah pembatasan kebebasan manusia merupakan sebuah kejahatan karena merenggut kehormatan manusia sebagai makhluk yang bebas?
KEMBALI KE ARTIKEL