Saya dapat kiriman tulisan di bawah ini dari teman, membuatku ikut berefleksi.
Oh ya tulisan ini cukup jelas punya konteks Jakarta atau kota besar lainnya, terlebih konteks sekolah swasta yang masih hidup dari dana iuran murid sekolah.
Tapi kiranya bisa menjadi bahan permenungan dalam banyak konteks level dan bidang kehidupan yang lebih luas, khusus lagi dalam konteks situasi darurat umat manusia menghadapi dampak dahsyat covid-19 ini.
-------------------
... Urusan discount ini sesungguhnya membuat aku banyak berefleksi. Secara spontan, aku terbebani utk membantu secara tepat sasaran.
Namun seperti yang dikatakan, para ortu termasuk yg mampu berlomba-lomba mendesak agar dapat discount walau mungkin tdk membutuhkannya. Pokoknya dapat. Walau hanya Rp100.000 per bulan. Apalah artinya Rp100.000/bulan utk orang berada? Bayar iuran RT saja mungkin tdk cukup. Tampaknya manusiawi sekali menuntut discount yg sama. Dia dapat, maka saya harus dapat juga dong!
Mirip2 dgn orang yg belanja fixed price di butik2 membayar berjuta-juta tanpa ragu namun tetap suka menawar abang sayur yg jualan lewat depan rumah walau hanya sepuluh ribu perak. Aku suka mendengar orang cerita fenomena ini, dengan senyum. Lucu tapi nyata.
Kadang terasa olehku istilah manusiawi diturunkan derajatnya, di-downgrade, utk menerima mentalitas manusia yg terasa kurang tepat, utk menerima kualitas manusia yang terasa di bawah standard ...
Anyway, ini hanya refleksi pribadi. Insyaallah tdk sesat
-----------------------------------
Demikian refleksi teman ini mengajak saya dan anda berefleksi dan apa yang bisa kita lakukan konkrit sesuai kemampuan dan profesi masing2, melampaui diri sendiri?
Bila ditelisik lebih lagi dengan melihat nilai total diskon yang diusulkan, nampak menunjuk pd konteks sekolah swasta yang nilainya relatif besar bagi orang menengah ke bawah.
Selain karena fasilitas dan ongkos besar dari sebuah sekolah swasta untuk bisa eksis dan berkualitas, bisa jadi besarnya uang iuran siswa itu karena dalam rangka misi bagi pihak yang kurang sehingga ada subsidi silang yg mesti ditanggung oleh sekolah tersebut, entah kepada siswa yg ortunya kurang mampu atau bahkan subsidi ke unit sekolah lainnya yang masih dalam lingkup yayasan sekolah tersebut. Ingat banyak sekali sekolah swasta tutup operasional di kota apalagi di daerah karena tak mampu bersaing lagi dari segi pengadaan guru berkualitas, gedung, dan fasilitas pendidikan lainnya.
***
Menarik bahwa teman kita ini mengakhiri refleksi nya dengan menyitir tentang istilah manusiawi. Saya pertajam isi dan maksud teman ini dengan kalimat tanya imperatif: Manusia bertindak manusiawi dalam arti apa?
Saya jadi ingat analisis dari seorang teolog ahli psikologi, Prof. Hans Kwakman MSC, leboh 1/4 abad lalu tentang "salah kaprah" pemakaian istilah yang sangat mendasar ini. Manusia memaafkan kesalahan diri atau orang lain dengan pernyataan bahwa itu adalah manusiawi. Lebih ironis lagi menjadi kebiasaan bersembunyi di balik istilah itu untuk gampang dan spontan saja membenarkan semua tindakan salah yang sesungguhnya merendahkan martabat dirinya sebagai manusia.
Refleksi teman tentang istilah manusiawi yang sudah turun derajat itu memang dikaitkan kepada makna positif dan fitrah kebaikan manusia itu sendiri dan semua kebaikan yg mestinya menjadi sifatnya yang bahkan melampaui diri manusianya sendiri. Bukan istilah yang dikaitkan otomatis dengan hal-hal kekurangan bahkan kesalahan moral yang minta dimaklumi begitu saja. Bukan juga manusiawi dalam arti tindakan rata-rata orang biasa saja, seperti halnya anak kecil yang kadang bertindak spontan hanya menuntut demi dirinya bahkan lebih. Itu disebut egosentris dan masih wajar saja untuk perkembangan mental dan moral seorang anak yg sedang bertumbuh, akan tetapi mungkin bisa disebut egoistik kalau masih menjadi tabiat manusia berumur dan dewasa secara moral dan spiritual.
Sekolah swasta itu sudah berusaha berbuat konkret, walau mengalami kesulitan dan dilema untuk bisa bersikap bijak dan adil serta penuh kasih sebagaimana sifat manusia.
***
Bagaimana pengalaman sekolah lain atau perusahaan swasta yang lagi kesulitan omset dalam memperlakukan karyawannya? Bagaimana sikap karyawan sendiri? Apa yang sudah direncanakan dan dilaksanakan konkret?
Menarik hal bagaimana menerapkan bantuan atau diskon tepat sasaran dalam refleksi konteks sekolah ini bisa diproyeksikan dalam pelbagai program jaminan sosial bagi mereka yg terdampak covid-19 ini yang digelontorkan pemerintah pusat dan daerah, bahkan oleh banyak perusahaan dan lembaga swasta.
Bagaimana memastikan pemerataan keadilan tetapi juga prioritas kepada yg paling lemah?
Bagaimana memastikan lebih banyak level masyarakat yang terlibat dan dilibatkan menjadi sebuah gerakan tangan di atas (memberi) kepada mereka yang lebih membutuhkan?
Bagaimana memastikan tidak ada orang yang menyelewengkan dana bantuan tersebut? Alangkah ironis pangkat tujuh bila masih ada manusia yang mengambil hak orang yang berkekurangan demi kepuasan sendiri apalagi memperbesar pundi kekayaannya.
Semoga pemerintah dan masyarakat makin bersinergi untuk memanfaatkan segala sumber daya, bukan hanya finansial material tetapi lebih juga rasa prihatin dan solider kepada mereka yg lebih membutuhkan.
***
Virus corona ini kecil dan tak kelihatan tapi bisa menjadi saat belajar dan ujian bagi umat manusia untuk lulus sebagai manusia yang mampu bertindak manusiawi sebagaimana kodrat baiknya sebagai makhluk ciptaan termulia. Mampu melampaui dirinya yang memang menjadi potensi kodrati dan arah kehidupannya.
Kasih Tuhan jugalah mendorong dan menguatkan kita manusia kembali ke kodrat asali (bahasa perjanjian lama) dan menyadari kodrat manusia baru yang sudah ditebus (perjanjian baru), pertama sebagai individu, keluarga, komunitas, dan publik lebih luas. Sebagaimana rahmat kasih Tuhan semata juga yang mendorong dan memampukan kita mengampuni dan diampuni karena kesalahan kita dan sesama untuk "bangkit dan berjalan" melakukan kehendak Allah sesuai perintah hukum kasihNya. Amin.
Caritas Christi urget nos (2 Cor 5:14)
I Yayat U Leos (motto Kawanua Informal Meeting)