Berjalan-jalan sore hari melihat aktivitas warga tempat hari sudah menjadi kewajiban saya jika mengunjungi tempat yang baru pertama saya datangi. Kali ini Selasa 10 September 2013 saya berada di desa Caringin, Kecamatan CaringinKabupaten Bogor. Desa Caringin terletak di arah 17 km dari Bogor menuju Sukabumi.
Sekitar jam 17.00 WIB dengan cuaca yang cukup cerah saya keluar dari gerbang Wisma Kinasih, sebuah wisma yang cukup rindang dan asri milik salah satu keluarga yang dulu pernah menjadipenguasa di zaman orde baru. Saya berjalan ke arah kanan setelah sebelumnya bertanya kepada satpam di mana letak pasar.
Setelah berjalan sekitar 100 meter saya melihat beberapa minimarket seperti Alfamart dan Ceriamarket yang berdiri diapit beberapa toko kelontong milik warga. Terlihat pula Pegadaian, Poliklinik 24 jam yang bersebalahan dengan Balai Desa. Tidak lupa saya selalu mencari di mana ada masjid. Walaupun saya beragama Katolik tetapi keberadaan masjid di suatu tempat selalu saya amati untuk mengetahui tingkat budaya dan religi masyarakat setempat. Dalam jarak 200 meter terdapat 2 masjid yang cukup besar yaitu Masjid Al-Mukhlisin dengan dominan warna coklat muda dan Masjid Nurul Maghfirohdengan dominan warna hijau yang lokasinya berada di KM 17 jalan Bogor-Sukabumi di sisi kanan jalan.
Beberapa pemuda tampak bergerombol sambil bercanda di gang-gang jalan. Terlihat pula 3 orang pekerja penggali kabel telekomunikasi di depan pegadaian melepas lelah sambil menikmati minuman dingin. Wajah dengan raut kelelahan ketiga pekerja tersebut seolah menyiratkan penderitaan yang tiada akhir. Kontras dengan ketiga pekerja tersebut adalah beberapa pasangan muda-mudi yang keluar dari minimarket Alfamart sambil bersenda gurau melengkapi sore yang cerah.
Masyarakat di sini terlihat cukup santun dan islami. Para pemudi lebih banyak menggunakan jilbab daripada mode pakaian lainnya. Kegiatan religi di Caringin tentu saja semakin kuat dengan adanya Pondok Pesantren Ummul Qura Maseng, yang lokasinya kira-kira 150 meter dari poros jalan Bogor-Sukabumi.
Lahan pertanian terbentang luas di kanan kiri jalan. Gambaran pertanian yang hijau masih terlihat jelas. Indikator ekonomi masyarakat yang kuat dapat dilihat juga dengan adanya Toko Mas Caringin, yang lokasinya tidak jauh dari seberang jalan Balai Desa Caringin. Kepemilikian perhiasan yang merupakan kebutuhan sekunder dapat menjadi indikator bahwa ada masayarakat yang tingkat ekonominya mulai mengarah ke sejahtera.
Di sebuah persimpangan jalan saya lihat penanda arah menuju obyek wisata Arum Jeram Alam Anda. Obyek ini menandakan bahwa sudah ada konsep ekowisata yang dilakukan masyarakat untuk memperoleh pendapatan.
Pandangan mata saya akhirnya mengarah ke deretan kios oleh-oleh dengan nama Asgar. Saya berjalanmenuju deretan kios tersebut dan disambut dengan senyum ceria pedagang bernama Soleh. Sambil menawarkan tape singkong. Tape tersebut dikenal dengan nama tape eris yang dibungkus ukuran 2 kg dijual dengan harga Rp 15.000 per bungkus, ubi manis mentah dijual dengan harga Rp 20.000 per kilogram. Selain itu ada buah nangka yang dijual Rp 50.000 per buah dan pisang ukuran satu tandan Rp 30.000. Buah lain yang tersedia adalah bengkoang dengan harga 2 kilogram Rp 10.000.
Saya berjalan mengelilingi komplek kios tersebut sambil melihat aneka dagangan yang ada. Dari informasi Pak Soleh aneka dagangan ini adalah hasil bumi yang diperoleh masyarakat dari lahannya. Kebanyakan pembeli yang mampir adalah wisatawan local dari Sukabumi. Keuntunganyang diperoleh oleh Pak Soleh dalam 1 minggu sekitar Rp 1.000.000, suatu pendapatan yang cukup lumayan untuk ukuran kehidupan di negeri ini.
Sambil melihat-lihat dan memainkan kamera Nikon DSLR yang saya bawa, mata saya tertuju pada sosok bocah yang menjaga kios paling ujung. Saya berjalan ke arah bocah tersebut dan bertanya “Apa kabar dik, siapa namanya ?”, anak tersebut menjawab “Nama saya Risman, bang”. Anak ini berwajah cukup bersih dan rapi.
Risman terlihat cukup lincah menata dagangannya, lalu saya bertanya “Kelas berapa Risman?”, lalu Risman menjawab “Saya sudah nggak sekolah lagi bang”. Saya kaget karena dugaan saya Risman berusia 12-13 tahun dan harusnya usia tersebut adalah usia wajib menempuh pendidikan dasar. Pertanyaan lanjutan saya lontarkan lagi kepada Risman “Kenapa tidak sekolah ?”, lalu Risman menjawab “Males bang, lulus SD saja tahun ini dari SD Tengis”.
Dari pertanyaan-pertanyaan yang saya sampaikan ke Risman akhirnya saya ketahui bahwa Risman tinggal tidak jauh dari kios yang dijaganya. Jarak kios ke rumah sekitar 100 meter. Risman adalah anak ke 3 dari 6 bersaudara. Dia bekerja menjaga kios oleh-oleh setiap hari mulai jam 08.00 sampai dengan 19.00. Setiap bulan Risman memperoleh upah Rp. 200.000 dari pamannya yang memiliki kios.
Dari kejauhan datanglah pria berboncengan sambil membawa beberapa tandan pisang. Risman menyambut dan membawa pisang yang dibawa oleh kedua pria tersebut untuk ditata di kiosnya. Pisang tersebut baru saja dipanen dari lading sang paman.
Setelah Risman selesai menata buah pisang diantara dagangan yang lain saya bertanya lagi kepada Risman “Risman tidak ingin sekolah lagi?”, Risman tidak menjawab, pandangan matanya tertuju tajam ke arah pamannya yang berada di belakang saya. Saya bertanya lagi “Orang tua bekerja apa?”, Risman tetap tidak menjawab dan sekali lagi memandang ke arah pamannya.
Saya berhenti bertanya kepada Risman tentang keluarganya, saya akhirnya memilih-milih dagangan yang dijual Risman. Tatapan mata anak ini tidak bisa berbohong bahwa ada tekanan dari pamannya ketika mau menjawab pertanyaan saya tentang sekolah dan orang tuanya.
Menjelang maghrib 4 bus pariwisata masuk ke area kios oleh-oleh. Bus tersebut dari arah Sukabumi menuju Bogor. Lalu turunlah penumpang-penumpang bus yang saya lihat dari postur tubuh dan pakaiannya adalah anak-anak usia SMP. Kemungkinan bus-bus tersebut adalah rombongan studi tour sebuah SMP. Risman dengan lincah berlari ke arah rombongan dan mengajak ke kios yang dijaganya.
Saya menatap sedih ke arah Risman yang sedang merayu para wisatawan yang usianya hampir sama dengan Risman. Rismanseorang bocah yang hanya lulusan SD itu terpaksa mengorbankan masa depannya, tidak bersekolah demi bayaran Rp 200.000. Anak-anak wisatawan yang turun dari bus tersebut mungkin tidak tahu bahwa Risman penjaga kios tersebut bekerja mengorbankan usia sekolahnya.
Sambil meninggalkan kios yang dijaga Risman saya berjalan kaki kembali ke Wisma Kinasih dan tetap tidak bisa menjawab pertanyaan yang berkecamuk sejak bertemu Risman, kenapa Risman bocah usia 13 tahun ini tidak bersekolah?
Suatu potret buruknya kesadaran pendidikan terlihat lagi di sebuah daerah yang tidak jauh dari hiruk pikuk ibukota. Tentu sangat menyedihkan jika mengetahui bahwa dengan jarak tidak lebih dari 100 km dari Gedung Menteri Pendidikan, Risman bocah 13 tahun ini tidak bisa meneruskan pendidikannya ke SMP demi Rp 200.000.