Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Penemuan "Dark Particle" dalam Setetes Kecap Bango

18 Maret 2013   10:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:33 2683 8

“...tapi kata orang-orang, aku item...”

Hampir saja saya tertawa ngakak membaca kalimat yang tertulis dalam foto mesra salah satu sahabat kelahiran Sorong, Papua-- yang diunggahnya ke facebook. Kalimat yang muncul dari ungkapan perasaan (ehm...) sayang kekasihnya saat usai beberapa hari jadian.

Kata yang multi tafsir antara senang, bangga sekaligus keheranan tingkat tinggi pada dirinya sendiri. Keheranan kok ada yah gadis cantik dan berkulit sangat putih seperti pualam mau-maunya jadi kekasihnya sekaligus ijazah (belum ijab sah) bahwa dirinya sudah lulus dari kampus galau dalam perjalanan kejomboannya.

Jujur saja, saya juga heran—bukan heran atas keputusan penerimaan sang gadis loh ya. Saya heran atas persepsi warna ‘hitam’ yang beredar dibenak dan bawah sadar manusia jaman sekarang. Persepsi bahwa kulit hitam berarti lebih buruk, level kegantengan yang rendah atau jauh dari sebutan tampan daripada yang berkulit putih terang.

Belum lagi penggunaan kata-kata hitam ini sebagai simbol kejahatan atau sesuatu yang sangat-sangat buruk. Mari kita coba cek penggunaaan ini, dari judul buku seperti: catatan hitam tokoh..., sejarah hitam kasus... hingga penggunaan nya dalam artikel atau headline di koran-koran seperti: kambing hitam, sisi hitam..., konglomerat hitam... dan lain sebagainya.

Kalau pun ada yang sedikit baik, paling banter soal item-item kereta api. Biar item banyak yang ngantri. Cuman pertanyaannya, mana ada kereta jaman sekarang yang warnanya item? Bahkan kereta KRL pun untuk gerbang paling ujungnya malah memakai warna pink, warna khusus gerbong wanita.

Ditambah lagi sampai ke urusan kendaraan, asap hitam dari mobil bermesin diesel dianggap buruk dan sumber utama polusi udara. Mirip senjata rahasia ikan cumi dan gurita kata sebagian kawan-kawan.

Padahal, fakta membuktikan—walau asap diesel berwarna pekat namun bahaya dan racun yang terkandung dalam asap mobil diesel jauh lebih kecil daripada asap mesin bensin. Jadi tak heran kenapa sekarang di Eropa, penggunaan mobil diesel lebih populer dibandingkan mobil bensin. Angka persentase penggunaaanya pun sangat fantastis, lebih dari 70% di Perancis dan Jerman.

Angka yang sempat membuatku tidak percaya hingga pada suatu ketika mendapatkan tugas kantor ke Jerman dan ketika dijemput oleh taxi berjenis Mercy, sang ibu pengemudi mobil yang nyaman, senyap dan lembut itu mampir ke pom bensin, eh, pom bahan bakar—kendaraan tersebut merapat disisi pompa solar, bukannya pompa bensin gazoline. Eh, serius loh pengemudinya ibu-ibu.

Sempat terfikir, asal muasal salah kaprah ini muncul (mungkin) karena salah tafsir atas simbol Tao yang berkonsepkan yin-yang dengan logo berwarna hitam dan putih. Banyak yang menganggap bahwa putih itu surga dan hitam itu neraka. Padahal setahuku, dari semua kitab suci semua agama—digambarkan bahwa neraka itu berwarna merah menyala bukannya hitam. Bahkan dalam Tao sendiri, simbol ini lebih mengacu kepada makna “ada dan tiada” dan “keseimbangan”.

Tapi, keseimbangan yang bagaimana?

Apakah keseimbangan komposisi warna? Keseimbangan berat? Keseimbangan naik sepeda? Atau malah keseimbangan keseimbangan jumlah follower dan yang difollow di twitter?

Bingung? Tenaaaaang...

Kebingungan kita sama. Hampir lebih dari tiga dekade umurku ini, aku juga dalam pencarian jawaban yang sama. Pencarian jawaban yang baru kutemukan beberapa saat yang lalu sewaktu tidak sengaja mengantar sahabat dari Semarang yang hendak menemui guru besarnya di salah satu Dojo Aikido di daerah Cipete.

Dalam dialog yang sempat aku dengar, sang guru tersebut bercerita tentang salah satu muridnya yang menanyakan perihal keberadaan Tuhan di alam semesta ini. Menurut murid tersebut, jikalau memang Tuhan itu adalah ‘cahaya’, kenapa jika malam yang gelap, cahaya bintang dan galaxy lebih sedikit daripada luas daerah hitam di langitnya? Berarti iblis dan lucifer lebih berkuasa di alam semesta ini dong?

Byuh, serasa keringat di dahi ikutan menetes mendengar pertanyaan kelas berat yang baru sekali itu aku dengar. Lalu dengan dengan hati-hati aku mencoba menunggu jawaban dari sang guru besar ini. Tampak sang Guru terlihat tersenyum dan mengatakan bahwa ‘cahaya’ Tuhan berbeda dengan cahaya ala pandangan mata manusia.

Cahaya Tuhan tidak hanya berwarna putih atau mejikuhibinui-nya pelangi. Hitam juga merupakan cahaya tersendiri dan sang guru itu menyebut istilah ‘dark particle’ untuk gambaran penemuan ilmiah di masa sekarang.

Ibarat sebuah kuis berhadiah pulsa, aku serasa mendapatkan sebuah clue dan petunjuk untuk memburu penjelasan lebih dalam tentang kata tersebut. Sungguh terkejut, ternyata memang banyak pembahasan soal dark particle atau diterjemahkan secara kasar sebagai ‘partikel gelap’ ini. Bukan gelap karena tidak bercahaya, namun lebih karena indera mata manusia yang tak mampu melihat. Dibutuhkan alat khusus untuk mendeteksi keberadaannya.

Keterkejutan yang membuat mata ini terbelalak. Dark particle yang ternyata juga merupakan sebutan lain untuk  menggambarkan dua hal yaitu dark matter (materi gelap) dan dark energy (energy gelap) yang merupakan lawan dari kata gravitasi. Dimana didalam jagad raya ini, menurut para ahli terkandung 73% dark energy, 23% dark matter dan sisanya 4% baru materi dan energi ‘biasa’ yang kita pelajari di sekolah dan kampus.

Itu pun kalau kita belajar fisika & kimia beneran, kalau belajar asal-asalan dan sering kabur buat bolos dan kongkow-kongkow, ya tentu pengetahuan kita jadi semakin miriplah dengan perumpamaan setitik tinta di lautan samudra.

Penemuan dark particle alias si hitam di angkasa itulah yang akhirnya dapat diketahui fungsi utamanya. Fungsi sebagai ‘penyangga’ planet-planet, galaksi-galaksi agar seimbang dan mulus beredar di orbitnya masing-masing. Tak terbayang jika isi alam semesta ini mesti memakai kawat gantungan, tangga atau pondasi baja agar bisa berdiri—tentu suatu hari planet-planet bakal mencelat atau ceblok kebawah pindah orbit sendiri ketika penyangganya rusak.

Kedua dark particle ini jugalah yang akhirnya memberikan jawaban soal ‘keseimbangan’ yang mungkin dimaksudkan dalam simbol tersebut sekaligus pembuktian bahwa hitam bukanlah simbol kejahatan atau keburukan.

Bukti mengejutkan lain juga kami temukan saat kami sekeluarga berkunjung ke kota Malang. Di sana, tepatnya di lapangan Stadion Rampal Malang yang sedang diadakan Festival Jajanan Bango 2013. Disana kami melihat begitu banyak dark particle berbentuk cair itu bertebaran dan berada di hampir semua gerobak jajanannya. Dark particle cair yang sering kita sebut sebagai kecap manis.

Kecap manis yang hanya ada di Indonesia. Kecap yang sempat membuat anakku bertanya-tanya, kenapa hampir semua rumah keluarga Indonesia bahkan makanan warisan kuliner nusantara ini semua memakai kecap?

Dengan senyum yang tersungging dan mencoba merubah gestur tubuh ala professor dari CERN, NASA atau LAPAN aku menjelaskan, memang bakso tetaplah bakso, nasi goreng tetaplah nasi goreng, gado-gado tetap gado-gado atau tempe tetaplah tempe walau tanpa kecap.

Namun, hadirnya setetes atau sesendok kecap dalam olahan ataupun cocolan makanannya membuat semua menjadi berubah. Bukan sekedar berubah menjadi lebih gelap. Namun lebih dari itu, kecap mampu membuat masakan menjadi lebih lezat dan menyelaraskan dengan lidah kita yang sangat Indonesia ini.

Jikalau tidak percaya, saat kita neg saat makan pizza, spagetti atau masakan asing lainnya—cobalah tuangkan sedikit kecap diatasnya. Dijamin mendadak kita akan doyan memakannya. Jadi, bolehlah saya menyebut bahwa kecap manis yang berwarna hitam ini mempunyai fungsi yang sama dengan dark particle di angkasa. Yaitu berfungsi sebagai alat penjaga keseimbangan.

Keseimbangan rasa.

Cleguk!

......

Twitter: @hazmiSRONDOL

[Malang,17 maret 2013]

Menarik untuk dibaca selanjutnya:

1. Ironi Kesuksesan Festival Jajanan Bango 2013 di Semarang

2. Tips Menjaga Cinta dengan resep WARISAN KULINER Nusantara

3. Adakah Masakan Padang yang Memakai Kecap?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun