Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Kisah Cinta Pasangan "Senja Di Chao Phraya"

18 Juni 2012   16:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:49 700 6

“Kok nggak jadi naik perahunya pak?” tanya istriku kebinggungan saat aku berbalik arah.

“Bukan perahu yang ini, Buk!” jawabku dengan penuh kejengkelan.

Aku melirik dengan pandangan penuh kesal kepadasopir Tuk-Tuk sialan yang mengantarku ke tempat perahu yang salah saat kumelintas balik. Wajahnya tampak pura-pura tidak melihat. Sepertinya memang kelalakuan sopir Tuk-Tuk di Thailand ini sudah sangat terkenal sifat opportunisnyaterhadap para tamu wisatawan.Padahal sedari awal dari MBK Plaza aku sedah berbaik-baik berkomunikasi. Biar dia tahu kalau kami memang cuman ingin naik perahu di Pier 13 sungai Chao Phaya yang terkenal itu. Perahu rakyat! Bukan perahu wisata.

“Taxi!” teriakku sambil mencegat taxi berwarna pink yang melintas.

Taxi itu pun berhenti tepat di sisi kami. Kami segera masuk, dengan perlahan-lahan aku memberitahukan arah tujuanku. Sopir taxi yang tidak mahir berbahasa Inggris ini sepertinya lebih jujur daripada sopir Tuk-Tuk yang fasih berbahasa Inggris. Kami di hantarnya menuju dermaga perahu rakyat itu. Dari tarif harga yang tertulis diperon, aku yakin benar bahwa perahu itulah yang sedang aku tuju. Aku mengucapkan terima kasih dengan bahasa Thai yang kaku dan membayar ongkos taxi yang lebih murah daripada Tuk-Tuk.

“Yaelah bapak! Pengiritan banget sih” kata istriku terbahak saat tahu harga perahu penyeberangan rakyat Bangkok itu cuma seharga 3 baht saja. Setara seribu perak rupiah saja.

“Yee, bukan pengiritan, Buk. Kita harus merasakan menjadi warga Thailand dengan segala kehidupan normalnya. Kalau cuman memakai fasilitas wisatawan, tak ada bedanya hotel dan angkutan di seluruh tempat wisata di dunia, Buk” kataku menjelaskan.

“Oke deeeeeh” jawabnya sambil tersenyum.

Senyum sedikit menggoda kalau memang sebenarnya faktor pengiritan tetap menjadi prioritas segala-galanya. Termasuk dalam berwisata keluar negeri. Demi gengsi sajalah aku mesti menjelaskan lebih filosofis. Maklum suami, kepala keluarga gitu loh… hihihiihii….

…….

Sepenggal kisah perjalanan kami sekeluarga ke Bangkok diatas, mendadak seperti terkorek dan terbayang kembali jelas di kepala. Saat hampir satu jam 12 bab pertama novel SENJA DI CHAO PHRAYA buah karya mbak Endah Raharjo—salah satu ratu fiksi di komunitas penulis Kampung Fiksi tersebut aku baca sambil bergelantungan didalam kereta KRL Commuter dari Gambir menuju Bekasi.

Istriku sempat menanyakan soal kecepatan membaca ini, jujur saja—ini bukan perihal teknik speed reading yang pernah aku pelajari. Tapi memang cerita yang bersetting Thailand, salah satu negara favorit kami sekeluarga untuk berwisata sekaligus kulakan dagangan istri mempermudahku membaca dan meresapi bab demi bab yang mabak Endah Raharjo tuliskan. Walau genre novel ini fiksi, tapi background dan lingkungan cerita adalah fakta.

Bahkan jika tidak hati-hati memperhatikan tahun dan bulan yang tertera di novel, aku yakin banyak yang menganggap cerita novel ini adalah kisah nyata. Saking halusnya mbak Endah membuat plotting cerita. Belum lagi gaya menulis yang tidak bertele-tele dan berhenti di satu titik scene ala penulis perempuan biasanya. Untung saja di bab Epilog tertera tahun yang mempertegas bahwa novel ini adalah fiksi karena tahunnya mendahului cetak bukunya. Tapi entah jika dibaca lima atau sepuluh tahun lagi, pastinya pembacanya akan kebinggungan, ini fiksi atau nyata?

Kebingungan inilah yang sebenarnya kunci dari level kemahiran seorang penulis fiksi dalam mengolah cerita. Semakin terasa nyata, semakin tinggi levelnya. Dan bagi saya pribadi, mbak Endah masuk dalam katagori penulis fiksi yang matang. Sempat terlintas fikiran, betapa eman-emannya buku ini hanya diterbitkan di jalur indie—bukannya mayor label. Bisa jadi ini hanyalah uji pasar saja, aku yakin—hanya masalah waktu yang akan membuat buku ini akan segera berpindah jalur ke jalur mayor label. Jalur bergengsi penulis buku atau novel.

Ada sahabat yang mempertanyakanku soal mengapa aku begitu bersemangat menerima tantangan untuk membahas buku ini, padahal sudah jelas-jelas aku sudah sering ke negeri Gajah Putih itu. Waktu itu aku hanya tersenyum saja—namun dalam tulisan ini aku ingin menjelaskan bahwa banyak hal menarik dalam buku ini.

Teringat kalimat yang diucapkan oleh almarhumah Ibuku yang mengutip kalimat dari Celia de la Serna ibunda Che Guevara—tokoh pergerakan Amerika Latin yang berbunyi “bahwa ‘dibalik aksara’ ada kehidupan.” Dan buku novel ini, walaupun tidak terdapat foto sama sekali kecuali bagian sampul depan terdapat kisah kehidupan sosial yang realitis, kisah cinta mereka yang sudah berusia senja alias STW (setengah TuWa). Hhehehe…. Kisah yang sangat jarang kutemukan di jajaran buku Indonesia. Lebih menariknya, setting waktu kisah cinta itupun terjadi, bertepatan dengan saat kami sekeluarga sedang berada di tempat yang sama.

Sempat aku berandai anda, jangan-jangan , kisah romantis pertemuan Laras—seorang janda, tokoh wanita utama di novel tersebut dengan Osken—seorang lelaki paruh baya yang masih bujangan itu terjadi disaat kami sedang berada di perahu yang sama. Aku sempat merasa seperti itu karena ‘kebetulan’ saat kami dalam perahu aku duduk tidak jauh dari sosok bule yang mempunyai aroma parfum yang sangat identik dengan yang digambarkan mbak Endah. Aroma parfum yang mengingatkan Laras akan mendiang suaminya yang sudah meninggal 5 tahun sebelumnya.

Persoalan bau parfum itulah yang sempat menjadi pembicaraan hangat aku dan istri setelah 3 jam selanjutnya aku menyelesaikan membaca novel SDCP dengan tebal324 halaman dan 55 bab ini. Memang tidak bisa dipungkiri, istilah kimia cinta kadangkala ada benarnya. Kadangkala rasa tertarik seorang wanita kepada pria bukan hanya faktor paras rupa atau tebal saku nya saja, tetapi faktor aroma tubuh—campuran keringat pria dan parfumnya lebih menuntun kearah pilihan pasangan yang lebih tepat.

Hampir menjelang pagi kami berdua membahas isi novel ini, dari perihal pekerjaan Laras dan Osken yang sama-sama berkerja di LSM bidang sosial bencana alam hingga betapa peliknya membangun hubungan disaat anak-anak Laras sudah beranjak dewasa serta permasalahan budaya dan tentunya agama yang berbeda. Persoalan ini bukannya menghambat alur cerita, tetapi malah memberi warna dan nyawa novel ini yang membuatnya semakin menarik dan memaksaku menyelesaikan novel yang penuh kejutan dalam kisahnya ini. Novel yang dapat dibeli secara online di >> SINI…!!!

……….

“Wah, ternyata walau di tempat yang sama—dibaliknya selalu ada kisah yang berbeda ya pak?” tanya istriku setelah dengan cermat aku menceritakan isi novel ini.

“Iya, Buk. Kalau Laras dan Osken malah jadi kisah romantik, kita kok jadi malah….” kataku terdiam sambil menahan tawa.

“Iya, kita jadinya fitnes dan kulakan dagangan” sambut istriku penuh tawa.

Kamipun semakin ngakak saat mengingat kami pernah tersasar  menonton pertunjukan sirkus dewasa dan kembali mlihat fotoku di jalanan Bangkok--Thailand yang sedang ribet menggendong adiknya Thole di ransel gendongan sambil mendorong Thole yang leha-leha di atas kereta dorongnya.

……….

Follow @hazmiSRONDOL

www.facebook.com/hazmi.srondol

Penulis Novel Komedi “Srondol Gayus Ke Italy”

[Bekasi, 18 Juni 2012]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun