Saudara-saudara,
Kemarin kita baru saja menyaksikan salah satu bagian dari proses dan konsep demokrasi yang kita pilih dalam negara, yaitu debat capres, eh, capres cawapres.
Saya yakin, baik saudaraku yang satu pilihan dan tetangga disana juga sama-sama menanti hal ini. Kita sama-sama paham jika apa yang kita lakukan untuk mengusung calon pilihan kita lewat promosi langsung kepada masyarakat mau pun tidak langsung lewat media social seperti fesbuk & twitter--ujungnya adalah debat calon ini sendiri.
Tak ada jurkam terbaik, tak ada pembelaan terkuat kecuali oleh mereka (para calon) itu sendiri diatas panggung.
Untuk sesi pertama debat ini, secara keseluruhan--saya sangat puas. Khususnya kepada pasangan 'jagoan saya' -- Prabowo Hatta. Dari debat pertama ini, saya menemukan beberapa point penilaian pribadi yang saya harapkan. Apalagi kondisi yang dihadapi saat itu adalah kondisi yang menurut saya sangat sulit bahkan tersulit dalam kurun waktu 16 tahun terakhir beliau pensiun dari ABRI.
Kesulitan itu akhirnya bisa menampilkan jawaban dan sikap bawah sadar Prabowo secara apa-adanya. Contoh paling kentara saat Prabowo usai berdebat, beliau segera menyalami "mitra" nya pak Hatta Rajasa. Agak geli juga ketika Prabowo memeluk kompetitornya yang datang menyalami, niatnya cipika-cipiki--cium pipi kanan kiri, e, dapatnya bathuk (jidat) kanan kiri. Hahaha...
Satu kepuasan pribadi lagi adalah secara keseluruhan format debat secara tak sengaja seperti berbentuk 'burger' untuk Prabowo-Hatta. Ada dua 'kue' yang membungkus isi dagingnya. Dua kue tersebut adalah pidato pembukaan dan penutupan yang sangat pas dan mantab dengan penyampaian pokok-pokok ide serta gagasan beliau. Termasuk soal para 'perempuan' yang berkerja di luar negeri.
Hal yang sangat menambah nilai plus kepada pasangan Prabowo-Hatta. Bayaran yang setimpal dari sikap legowo beliau atau perubahan format debat secara dadakan dari debat tunggal menjadi debat pasangan ganda. Memang Tuhan tidak pernah salah dalam mengantur umatNya. Bahkan pada hal sepele yang mungkin tidak disengaja moderator.
Sedangkan isi debat, ada beberapa hal yang juga sangat memuaskan. Pertama adalah pertanyaan moderator soal ketiadaan GBHN pada era pemerintahan sekarang. Hal yang sangat dasar untuk membuatku memilih pemimpin RI masa depan.
Sedangkan jawaban dari pasangan sebelah yang menurutku sangat jauh dari esensi semakin menguatkan pilihan kepada pasangan Prabowo - Hatta. Padahal kalau timses mereka mau membaca statusku di fesbuk yang kujadikan artikel tulisan terdahulu, jawaban dan kisi-kisinya sudah ada--tinggal menyesuaikan dengan program mereka.
Selengkapnya : http://politik.kompasiana.com/2014/05/29/ketika-indonesia-tanpa-gbhn-garis-garis-besar-haluan-negara-661116.html
Dan kembali kepada moderator--walau diluar banyak pro dan kontra, secara pribadi saya tetap mengapresiasi tugasnya. Ketegasan membatasi waktu tepuk tangan, waktu menjawab dan cara bertanya sesama capres membuat acara ini beberapa tingkat diatas acara debat lain di televisi.
ya, saya paham--ada yang keberatan dengan format ini yang konon tidak demokratis karena tepuk tangan dibatasi. namun mohon diingat. Debat capres bukan debat kusir ala anak TK atau SD yang saling ngotot hingga memancing penonton melempar remote ke televisi miliknya sendiri.
Ini adalah debat kelas sidang kuliah atau tesis yang memang harus tertib. Esensi-esensi pemikiran, highligth program dan garis besar agendanya harus lebih dikedepankan. Apalagi ini sesi awal atau lebh tepat saya anggap sebagai sesi "judul buku" dan "daftar isi". Konten lengkap baru disampaikan ke debat sesi selanjutnya.
Konsep judul "pangan' yang menjadi salah satu BAB utama yang dibahas Prabowo jelas sangat menbahagiakan bagi saya. Bukan sekedar masalah jargon, namun secara esensial masalah pangan ini menurut buku "Dao De Jing"--buku tentang Taoisme adalah hal dasar dan utama yang wajib dijalankan oleh Shen ren (pemimpin sejati).
Dimana Shen Ren harus bisa mencukupi kebutuhan sandang-pangan rakyatnya agar tubuh mereka hangat dan perut mereka kenyang. Bila sudah kenyang, mereka baru bisa hidup dengan tenang dan pikirannya tidak macam-macam. Jikalau ternyata konsep pembangunan pangan juga berhubungan untuk menghemat anggaran dari gejala kebiasaan impor pangan atau juga bagian dari strategi pembuatan energi alternatif seperti bio diesel dan bioetanol, saya rasa itu bonus tambahan.
Moderator juga cukup tegas menegur peserta yang bertanya langsung tanpa moderasi. Apalagi saat bertanya soal HAM yang sangat esensial dalam debat pembuka kali ini.
Hal menarik untuk disimak lainnya adalah ketika moderator entah secara iseng atau memang menghemat waktu, ia menanyakan perihal apakah masih ingat soal sebelumnya kepada Prabowo. Alhamdulillah, dijawab dengan detail "Kerangka hukum yg akan dibangun untuk menjamin utk menjamin nilai Bhineka Tunggal Ika".
Jawaban dari pertanyaan sederhana namun menghasilkan nilai tambah sekaligus penegas bahwa memang Prabowo mengikuti debat ini dengan khitmat dan kesadaran mental serta intelektual yang maksimum.
Moderator pun sangat tepat menjaga ritme dalam memberikan kesempatan Prabowo dalam sesi lontaran pertanyaan. Pertanyaan soal otonomi daerah--salah satu hal yang dalam dekade ini sudah berlangsung dan hasilnya memang masih pro kontra dan perlu dievaluasi. Saya tidak mau menilai hasil jawaban kompetitornya. Bukan wilayah saya mengkritisi.
Namun satu poin saya dapatkan bahwa pertanyaan ini adalah salah satu pikiran bawah sadar Prabowo yang menjadi prioritasnya. Mohon yang setiap hari berkecimpung dalam bidang otonomi daerah mempersiapkan diri karena jelas, ini akan jadi bahasan utama saat Prabowo menjadi Presiden.
Sedangkan secara individu, jika diibaratkan cerita silat atau beladiri, Prabowo jelas sedang menggunakan prinsip dasar bertarung ala Samurai.
Pertama ia menerapkan salah satu dari 7 Pilar Bushido, yaitu : REI - Courtesy atau sopan santun yang membuat atmosfir debat kali ini mengikuti gaya Prabowo menjadi lebih adem. Emosi dan mental menjadi sangat datar dan stabil. Walau tampak membosankan, ini jelas menambah penilaian positif untuknya.
Kedua ia mengosongkan dirinya. istilahnya adalah "mushin" atau "wu wei" dalam taichi atau "ikhlas" dalam bahasa Arab/Indonesianya. Memang tampak aneh bagi yang biasa melihat gaya Prabowo di panggung yang selama ini sering ditonjolkan sisi menyerang atau berapi-api.
Mungkin banyak yang akan menertawakan, namun bagi saya pribadi--inilah sikap bertarung yang paling berbahaya. Mengutip quote salah satu ahli beladiri Jepang, Morihei Ushiba yang lazim dipanggil O' sensei mengatakan "...fokuslah pada keheningan (emptiness/kosong) bukan pada gerakan lawan..."
Dan Prabowo melakukan itu dengan sangat baik.
Posisi 'kosong' ini seperti memancing lawan untuk menyerang. Jika dihubungkan dengan konsep perang Sun Tzu, sikap ini berfungsi untuk membaca keadaan secara luas. bagaimana atmosfir penonton, bagaimana format acara, bagaimana gestur dan energi lawan. Karena mengenal alam dan lawan secara keseluruhan berarti awal kemenangan yang paripurna.
Belum lagi jika dikaitkan dengan konsep kemiliteran modern--ada satu istilah dasar logistik tempur yang disebut "BASIC LOAD" atau "BEKAL AWAL". Jika ada laporan intelejen yang menyebutkan bahwa "bekal awal satu hari" musuh berarti kemampuan logistik lawan hanya mampu bertahan pada satu hari pertempuran saja.
Ini pun terbukti, tetangga tampak terjebak untuk menghambur-hamburkan pelurunya seperti menceritakan dirinya ini itu. "Bekal Awal" nya jadi terukur. Apa yang dilakukan selama menjadi ini itu. Hal yang mungkin biasa saja bagi tentara yang biasa merayap di sawah atau mengendap di parit berhari-hari menunggu musuh datang. Lebih parahnya, senjata pamungkas bernama "HAM" yang menurut saya semestinya dikeluarkan saat debat terakhir untuk merusak emosi Prabowo terlalu dini diluncurkan.
Dengan kondisi wu wei/mushin/kosong Prabowo ini, tentu teori dasar taichi yang menunggu serangan lalu dibalikan ke lawan semakin efektif. Terlihat saat Prabowo menjelaskan fungsinya saat itu sebagai alat negara yang harus melindungi warga negara dari ancaman dari luar atau dalam negeri, terhadap nyawa rakyat yang lebih banyak sesuai hirarki kemiliterannya membuat sang penannya tampak tersenyum aneh--saya menyebutnya "meringis".
Jawaban balik yang secara alamiah akhirnya membuat "langit" atau semesta yang berkerja sendiri untuk mengklarifikasi masalah ini. Termasuk polemik "pemberhentian dengan hormat" dan "pemecatan". Tentu ini blunder besar bagi penanya yang secara esensi lebih tegas "terpecat" nya saat menjabat menteri pada era pemerintahan Gus Dur. Rasanya kok malah seperti membuka aib sendiri--aib yang sebenarnya banyak yang terlupa atau tidak menyadarinya.
Peluru dan senjata pamungkas yang dihambukan ini jelas merugikan pihak tetangga (jika menyadarinya). Masih tersisa empat debat lagi yang memungkinkan Prabowo - Hatta menjabarkan pokok-pokok pikirannya lebih detail dan teknis. Cerita masih panjang sedangan tetangganya mesti koordinasi lagi untuk mendaur ulang statemen dan jurus awal debat pertama.
Belum lagi, pertanyaan soal HAM dan jawabannya, suka tidak suka malah membuat calon pemilih lebih bersimpati kepada Prabowo. Suka tidak suka, harus diakui oleh tetangganya jika Prabowo merebut hati rakyat lewat serangan pertanyaan ini.