Dalam perjalanannya, musik Indonesia terus mengalami dinamika dan tidak sedikit musisi yang berupaya mengadaptasi permainan musisi luar yang kemudian dimainkan dengan gaya yang “disesuaikan”. Grup-grup besar dari luar negeri yang coba ditiru oleh musisi lokal, mulai dari Elvis Presley, Natking Cole, Beatles, Rolling Stones, Kiss, hingga Deep Purple. Sekalipun demikian, musisi Indonesia tergolong piawai karena sanggup mengkolaborasikan sesuai dengan karakter ke-Indonesia-an. Dalam hal materi menulis lagu, musisi Indonesia terlihat tidak pernah kehabisan ide, simak saja tema lagu yang mengeksplorasi percintaan,alam, Tuhan hingga lagu yang bersifat banyolan (humor), plus aliran musiknya yang mengkolaborasikan dengan musik tradisional.
Sebagai ibukota negara, Jakarta bisa dibilang sebagai magnet para calon musisi untuk datang, berjuang dan sukses menjadi musisi ternama. Hal ini tentu saja, dikarenakan Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan bisnis, dimana bisnis musik termasuk didalamnya. Maka, tahun 60-70-an banyak menjamur label atau perusahaan rekaman, seperti Dimita Moulding Company, Remaco, Aqurama, King’s Records, dan lain sebagainya. Dengan adanya industri yang bercokol, sudah pasti Jakarta menjadi sangat nyaman untuk pada calon musisi dengan menyebarkan networking sesama profesinya. Tidak cukup itu, sebagai masyarakat yang komunal, penghuni Jakarta juga kadang hidup berkelompok dan saling membahu. Ini juga yang terjadi dalam sejarah musik Indonesia. Betapa, pergaulan dan pertemanan menjadi alat yang efektif untuk bisa lekas dikenal, apalagi sebelumnya sang calon penyanyi atau musisi sudah memiliki kemampuan atau skill berkesenian yang mumpuni.
Jika Anda iseng-iseng merunut mereka yang bermain dalam industri musik Indonesia, pemiliknya merupakan saudara atau teman bermain jaman dahulu. Selain pemain industrinya, para musisinya juga ada beberap yang memiliki hubungan saudara, sebut saja Koes plus, Bing Slamet, keluarga Iskandar, keluarga Tanamal, dan masih banyak lagi.
Ada banyak cerita menarik seputar musik Indonesia dan industrinya yang diulas dalam buku Karya Theodore yang berjudul “Rock N’ Roll Industri Musik Indonesia dari Analog ke Digital. Penulis yang merupakan pengagum tulisan mas Theodore tentang musik sejak munculnya media online, sekitar tahun 2000-an, kebetulan waktu itu saya editor di salah satu situs musik. Gaya penulisannya yang enak dibaca, disertai dengan riset dan informasi mendalam tentang materi tulisan musiknya. Tidak hanya itu, sepengetahuan penulis Theodore juga banyak bergaul dengan kalangan musisi Indonesia, salah satunya adalah keterlibatan Theodore di group “Godbless”, baik sebagai penulis lirik/lagu juga terlibat dalam kreatif di sejumlah albumnya.
Banyaknya tulisan Theodore di media massa yang sangat berkualitas terutama di harian KOMPAS, dimana dia bekerja, sejak tahun 1979 Hingga tahun 2010-an. Selama karir menulisnya hingga kini, Theodore bisa dibilang sebagai “kamus” berjalan musik Indonesia. Dan ide Theodore KS membukukan tulisannya yang dilengkapi dengan riset dan wawancara terbaru menjadikan banyak pihak merasa terbantu karena banyak mendapat “pencerahan” dan pasti menambah khazanah ilmu tentang musik. “Saudara Theodore ks mencoba masuk, mengikuti secara tekun dari waktu ke waktu dan kemudian mencoba menuangkan catatan- catatan nya dalam sebuah catatan komprehensif mengenai industri musik di Indonesia,” ujar Jacob Oetama, pemimpin umum harian kompas dalam kata pengantarnya.
Jacob Oetama yang belakangan diketahui menyukai musik, sangat mengapresiasi buku ini. Bahkan dalam catatannya Jacob menyinggung tentang pelanggaran hak cipta (pembajakan) dan perkembangan dunia musik di jaman digital.
Di bidang pencatatan tentang industri musik Indonesia, buku ini mungkin baru satu- satunya yang mengulas secara lengkap dan layak dijadikan sumber atau kamus tentang sejarah musik Indonesia. Namun, ibarat pepatah ; Tiada Gading Yang Tak Retak”. Meski tergolong lengkap, “catatan” Theodore KS masih jauh dari “sistematis”. Beberapa penjabaran tentang musisi hingga pembahasan tentang industri musik banyak yang “lompat-lompat”. Misalkan ketika kita (pembaca) asyik mengikuti penjabaran tentang sejarah sejarah musisi “X”, tiba-tiba lompat ke pembahasan tentang “Lokananta” dan kembali membahas tentang musisi. Hal ini juga terjadi dibeberapa pembahasan lainnya.
Sebagai sebuah karya sejarah, memang sebaiknya pengkisahan ada baiknya dibuat dengan runut dan sistematis. Tidak hanya itu, tampilan visual berupa foto-foto dokumentasi yang menjadi materi pendukung tulisan sebagai juga dihadirkan, terutama dibagian pembahasan tentang sang musisi. Juga, perlu kiranya ada pembagian “sub judul” dari tema yang disodorkan, misalkan musisi dalam periode tertentu, industri rekaman, tabel data album, hingga tabel angka pembajakan. Tentu saja, pencatatan yang sistematis ini akan memudahkan pembaca memahami secara runut tentang industri musik Indonesia.
Sebagai karya yang memuat referensi musik Indonesia, buku karya Theodore yang diterbitkan penerbit buku “Kompas” sangat layak dimiliki oleh siapapun yang mencintai musik Indonesia.
Musik sebagai bagian dari industri yang terus berkembang juga akan mempengaruhi perjalanan sejarah dari jaman baheula hingga jaman digital memiliki info yang terus bertambah, oleh karena itu , sebagai sebuah kamus “industri” musik Indonesia , buku ini ada baiknya “di-update” dari waktu Ke waktu (sekaligus revisi). Ini tentu saja menjadi harapan kita bersama bahwa sejarah menjadi bagian dari industri musik dan harus tetap lestari. Salam sukses selalu buat bang Theodore. [Lysthano, penikmat musik indonesia]
sumber : lysthano.com