Kaki nyemplung di tanah lumpur dimana cacing lintah beranak pinak guna bertahan hidup sekaligus menggemburkan. Sensasinya maknyusssssss. Coba deh. Telanjang ajalah. Tanpa buts (sepatu yo, wkwkwkw). Air coklatnya semanis coklat beneran, tapi tidak disarankan untuk diteguk, dinikmati saja lewat bola mata. Dingin, so pasti, dipercaya memperhalus dan memperkencang kulit.
Kemudian, tiba saatnya membagi tanah sepetak ini ke dalam petakan2 yang simetris, sebangun, dan perpendikular (wkwkwkw). Jeniusnya Bapak Ibu yang kucinta pencinta bangsa Indonesia yang senantiasa melestarikan kuliner nasi!
Bayi-bayi padi dicabut, untuk kemudian disatukan dalam ikatan2 cinta, seterusnya menempati petakan2 tanah yang sudah disebut di atas. Tinggalah, menunggu Dewi Sri memberikan sedikit kemurahan hati. Berdoa para pengerat tidak kerap melahap, burung2 takut dengan suara2 kaleng yang digoyang2 dari jalinan tali temali, menyemprot apa yang perlu dibasmi, dan menunggu ..... hari berganti minggu berganti bulan berganti warna! Emas!
Sehingganya, bapak ibu yang doyan (masih) bisa menikmati sepiring dua piring tiga piring nasi. Atas konsistensinya dan keteguhan hati bapak ibu, adek kakak, oom tante, semuanya (yang nama-namanya tidak pernah akan cukup kami sebutkan satu per satu) memilih beras sebagai belahan jiwa, kami berterima kasih. Doakan panen kami sukses tanpa puso.