Di lembah Kartasura, malam mendekap hening,
Bintang-bintang bersujud pada keagungan yang bening.
Empu Supo, sang hamba yang fakir dan fana,
Menatap besi yang bisu, tapi menyimpan jiwa.
"Ya Rabb, wahai Sang Pemilik Segala,
Jadikan tanganku pengantar rahmat-Mu yang baka.
Besi ini kelak akan bicara,
Menyebut nama-Mu dalam setiap bilahnya."
Sultan Agung hadir, membawa titah yang mendalam,
"Empu, jadikan pusaka ini penjaga Mataram.
Namun lebih dari itu, jadikan ia doa,
Penyambung antara langit dan manusia."
Empu Supo menjawab, dengan hati yang tunduk,
"Tuan, keris ini akan menjadi jalan yang penuh liku.
Seperti jalannya para pencari hakikat,
Luk Tigabelas melambangkan tasbih yang khusyuk dan padat."
Luk pertama adalah langkah awal, penuh gelora,
Seperti Qalb manusia, bergemuruh dan mencari cahaya.
Luk kedua adalah nafs, yang harus dilembutkan,
Dalam perjalanan ini, kesabaran adalah teman.
Luk ketiga hingga kesembilan, semakin mendalam,
Jiwa bergerak menuju fana dan diam.
Hingga di puncaknya, tiada lagi diri,
Hanya Sang Wujud Tunggal yang sejati.
Pamor Wos Wutah terhampar seperti rahmat,
Mengajarkan raja untuk hidup sebagai rahmat umat.
"Engkau pemimpin," ujar sang empu dalam dzikir,
"Bagai hujan yang turun, menyuburkan setiap bibir."
Sor-soran di pangkal bilah adalah tauhid,
Kokoh dalam iman, teguh dalam kasih.
"Ya Malik," gumam sang empu, menahan tangis,
"Pusaka ini akan melindungi mereka yang lurus."
Ketika keris selesai, Sultan Agung menunduk,
Memandang bilah yang memancarkan doa yang syahdu.
"Apa maknanya, wahai empu yang sufi?"
"Maknanya, Tuanku, adalah jalan untuk memahami diri."
Empu Supo melanjutkan, lirih dan lembut,
"Tanpa nurani, keris ini hanya besi yang menyusut.
Namun dengan kebijaksanaan, ia menjadi pelita,
Penunjuk jalan di tengah gulita dunia."
Sang Sultan menyentuh bilah dengan doa,
"Wahai Tuhan, jadikan aku pemimpin yang taqwa.
Kyai Sangkelat, bukan sekadar pusaka,
Engkau adalah zikir yang mengalir dari para penjaga."
Kini, Kyai Sangkelat adalah dzikir dalam sejarah,
Bilahnya tajam, tapi menyimpan cinta yang ramah.
Ia bukan hanya milik raja atau tanah,
Tapi warisan jiwa bagi yang mencari hakikat nan indah.