Kau datang dari Tuban
di bawah rinai hujan membawa kisah
seakan bisikan dalam angan
tentang Ronggolawe, tentang luka-duka  yang tertahan
tentang semangat Adipati yang tak pernah padam.
Suaramu mengalir, lembut seperti waktu
Kau bercerita tentang perang yang tak kunjung padam
tentang Majapahit
tentang kejatuhan yang terasa abadi
namun di dadamu, api tak pernah mati.
Ronggolawe---pernahkah dia berkhianat?
Atau sejarah yang mengaburkan watak?
Kita hanya manusia, menafsir kabut tak berjejak
seperti aku, meraba perih di dada yang pekat
antara malam yang rebah dan pagi yang tak jelas.
Dari Tuban, kau bawa
bukan sekadar cerita
tubuhmu adalah ingatan besi dan tanah
seperti Ronggolawe yang gagah
namun tetap berserah.
"Dukamu bukan kerajaan yang runtuh,
hanya pertempuran yang tak pernah rubuh."
Ronggolawe pernah jatuh,
tapi tak tunduk pada waktu yang berlabuh.
Aku mendengar suaramu, gemerisik dibalik sunyi
seperti daun yang berserah pada hujan
Inikah hidup?
Pada akhirnya kita semua prajurit yang bisu
di tubuh yang rapuh
di dunia yang pelan-pelan runtuh.
Di ujung malam, kau tersenyum
dengan keyakinan yang tak pernah pudar
Kau berkata: "Tak ada yang sia-sia
segala derita adalah titian cahaya."
Luka dan duka bukanlah  akhir
melainkan tanda bahwa hidup masih berdetak
Kita lahir dari perih yang melekat
Menjadi utuh dalam semesta yang pekat.
Luka -duka  adalah langkah panjang
bukan belenggu yang menyusup dalam
Kita semua adalah tubuh yang siap menghadang
tak gentar pada gelap yang meradang
Kau tunjukkan jalan tanpa garis
di mana Ronggolawe berlari tanpa tangis
dari Tuban kau ajarkan aku berdiri
hingga kekal  menyerah di kaki.
Bahwa luka tak abadi
dan cahaya menunggu di garis tersembunyi.
Bandung 04 OKtober 2024