Kala
itu aku mendapat kabar lewat telpon tetangga, bahwa ibuku sakit. Dengan penuh
rasa khawatir, kami segera berkemas-kemas untuk pulang. Tidak berapa lama,
sebuah sepeda motor tua segera membawa kami berempat menuju kampung tanah kelahiranku.
Alkhamdulillahkami sampai rumah, dan kondisi ibu sudah
mendingan, bahkan berangsur-angsur sehat. Sehingga kamipun lega dibuatnya.
Dua
malam sudah kami menginap menemani bapak dan ibuku. Agar suami dan anakku tidak
terlambat ke sekolah, mereka pulang jam 06.00 pagi. Sementara aku dengan anakku
yang masih balita, pulang agak siang, setelah saya bereskan rumah ibu terlebih
dahulu.
Sesampai
di rumah , suamiku segera menuju ruang samping tempat sangkar burung wambie digantungkan.
Ia bermaksud memberikan makan dan minum
pada burung piaraannya. Sayang pintu sangkarnya sudah terbuka dan
burungnya sudah tak ada di dalamnya. Iapun mengira bahwa burung piaraannya
sudah melepaskan diri untuk mencari makan setelah dua hari tidak ditengok
pemiliknya. Tapi didalam sangkar persediaan makan dan minumnya masih utuh
seperti waktu mau ditinggalkan.
Ketika
bersiap-siap berangkat sekolah, ia bermaksud merapikan kembali baju yang akan
dipakainya. Ternyata setrikanya juga tidak bisa ditemukan, meski sudah dicari
kesegala sudut ruangan.
Setelah
saya sampai rumah, kami segera meneliti
kondisirumah. Ternyata pintu
dapuryang memang agak keropos sekarang berlubang,
sehingga tangan bisa masuk dan dapat untuk membuka kunci pintunya. Hal ini
membuat kami yakin bahwa sudah ada orang lain masuk yang mengambil seterika dan
burung wambie.
Suamiku
bermaksud mengambil gergajiyang kemarin
dipinjam Bowo,agar bisa memotong papan untuk memperbaiki pintu. Sesampainya
ditempat mas bowo, terjadilah pembicaraan
sebagai berikut :
S : “Wah burung piaraanku hilang
Mas”.
B: “Kapan hilangnya?