Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Kapok Jadi Guru!*

28 Desember 2015   14:26 Diperbarui: 28 Desember 2015   14:36 149 1

Ini kisah nyata di sebuah sekolah menengah swasta di kawasan Jabodetabek. Sekolah swasta ini memiliki guru-guru hebat. Para guru ini alumni perguruan tinggi negeri, kalaupun ada alumni perguruan tinggi swasta, mereka berasal dari jurusan terbaik yang terkenal di negeri ini. Dengan tim guru yang hebat ini, alumni sekolah ini bukan sekadar diterima di PTN negeri terbaik di negeri ini, namun beberapa diantaranya menjadi aktivis-aktivis kampus. Di tahun kelima, terjadi perselisihan dengan yayasan. Para guru hebat ini bubar dan berhenti menjadi guru. Mereka menekuni dunia yang lain, tetap di dunia pendidikan yang mereka cintai, namun tidak lagi menjadi guru. Menjadi akuntan, bekerja di NGO pendidikan, menjadi konsultan pendidikan, menjadi peneliti, menjadi programmer, atau menjadi dosen di perguruan tinggi. Diam-diam dalam kerinduannya pada profesi lamanya sebagian tetap mencantumkan guru sebagai profesinya.

Setiap mengingat kisah ini, selalu terpikir beratnya menjadi seorang guru. Tidak mudah memang menekuni profesi guru. Betapa tidak, setiap guru terikat Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2015. Di Permendikbud ini, satu minggu seorang guru sekolah wajib mengajar minimal 24 jam tatap muka seminggu sementara jumlah jam mata pelajaran sekitar 38-44 jam. Artinya seorang guru minimal wajib mengajar 4 jam dari sekitar 7-8 jam mata pelajaran sehari di sekolah. Para guru yang jumlah jam mengajarnya tidak memenuhi 24 jam dikenai berbagai tugas seperti menjadi wali kelas, guru piket, mengajar ekstrakurikuler, pembina OSIS atau menjadi tutor kejar paket di Pusat Kegiatan Belajar Mandiri. Akhirnya, enam hari seminggu, kepala para guru dipenuhi keramaian para siswa di kelas.

Selesai? Ternyata belum. Masih ada sejumlah tugas administrasi yang harus dipenuhi para guru. Pada awal tahun, program tahunan dan program semester dan rencana program pembelajaran menjadi menu wajib yang harus dibuat. Sementara saat pelaksanaannya, jurnal pembelajaran dan evaluasi pembelajaran meminta waktu tersendiri. Masih ada pula program pengayaan dan program istimewa yang sifatnya individual bagi setiap siswa dan tentunya perlu kefokusan tersendiri dalam pembuatannya. Padahal, guru-guru di negara kita tidak pernah memiliki asisten sehingga seluruh tugas keadministrasian ini harus dikerjakan sendiri. Akibatnya, banyak oknum guru yang diam-diam mengerjakan ini di kelas, saat mengajar. Saat yang sama, para siswa tercinta cukup diberi tugas. Administrasi yang seharusnya menjadi dokumen peningkatan kualitas belajar justru malah mengurangi hak siswa untuk bertatap muka dengan sang guru.

Beban lain adalah posisi guru yang perlu diperkuat. Di sekolah swasta, para guru terjepit antara harapan orangtua dan kehendak yayasan. Para orangtua memiliki banyak harapan saat memilih sekolah anaknya. Di sekolah swasta, orangtua menyampaikan harapan secara terbuka pada guru. Sementara saat yang sama, pihak yayasan juga berupaya memastikan visi misi inheren dengan efektivitas dan efisiensi anggaran. Hal sulit bagi guru, karena faktanya harapan orangtua biasanya berlawanan dengan semangat yayasan untuk efisiensi dan efektivitas anggaran.

Guru dan Birokrasi

Di sekolah negeri, guru memiliki hubungan yang khas dengan birokrasi dinas setempat. Kedekatan personal seorang guru di sekolah negeri dengan dinas pendidikan akan berdampak pula pada kemudahan sekolah dalam mendapatkan informasi-informasi lomba maupun aturan-aturan terbaru pemerintah. Yang sering kali dirugikan adalah para siswa yang gurunya jarang bersilaturahim dengan dinas pendidikan. Relasi yang aneh, lagi-lagi guru harus menjadi kunci.

Beratnya beban guru ternyata berbanding lurus dengan beratnya pekerjaan rumah pemerintah menata kualitas guru. Data 2002 – 2003 menunjukkan, guru SD yang layak mengajar hanya 21,07% untuk sekolah negeri, dan 28,94% untuk SD swasta. Guru SMP 54,12% di sekolah negeri) dan 60,99% SMP swasta. Angka terbaik ada di Guru SMA negeri yang mencapai 65,29% (dan 64,73% untuk SMA swasta. Dan di SMK negeri guru yang layak mengajar 55,49% dan 58,26% untuk SMK swasta. Rendahnya jumlah guru yang layak mengajar, membuat pemerintah berupaya keras mencari jalan keluar. Pada 2005 pemerintah menetapkan Undang Undang Guru yang komprehensif yang dirancang untuk meningkatkan mutu guru. UU Guru mewajibkan semua guru untuk mempunyai kualifikasi akademik sarjana S1 dan bersertifikasi. Dengan dukungan Bank Dunia, jumlah guru S-1 yang di tahun 2003 hanya 23%, pada tahun 2012 meningkat menjadi 63%. Sejalan dengan itu tahun 2007 sertifikasi terhadap para guru juga dilakukan. Dalam pembinaan dan pengembangan profesi guru dilakukan Uji Kompetensi Guru (UKG), yang mengukur kompetensi guru dalam bidang studi serta kemampuan pedagogik.

Namun kalau membaca data hasil UKG, kualitas guru masih belum memuaskan. Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud Sumarna Surapranata mengatakan, selama ini pemerintah baru memiliki potret uji kompetensi guru (UKG) terhadap 1,6 juta guru. Dari jumlah tersebut, hanya 192 orang yang kompetensinya di atas 90. Mengutip Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, rata-rata nilai UKG adalah 4,7 dan target di tahun 2015 adalah 5,5. Nilai rata-rata yang apabila dimiliki siswa pasti akan tinggal kelas atau tidak lulus. UKG hari ini adalah ujian nasional untuk para guru. Kisi-kisi soal, contoh soal dan kunci jawaban, prediksi soal, dan bahkan latihan UKG online ada saat ini untuk para guru. Yang belum ada hanya try out nasional UKG. Menarik memang mengikuti fenomena ini. Meski Kemendikbud telah menyampaikan bahwa UKG kepada 3.015.315 guru tahun 2015 dilakukan untuk pemetaan, namun suasana khas UN tetap terasa. Sebuah tantangan untuk mengubah kebiasaan bahwa UKG adalah kegiatan biasa. Ujian adalah hal umum, dan tentu saja ada yang tidak lulus.

Tiga Akselerasi Alternatif

Sementara program pemerintah untuk peningkatan kualitas guru terus diperbaiki, perlu dipikirkan sejumlah alternatif untuk mengakselerasi peningkatan kualitas guru. Percepatan dibutuhkan karena proses pendidikan bagi para siswa tidak bisa berhenti, terus berjalan. Sejumlah penelitian empiris membuktikan bahwa guru-guru bermutu menjadi kunci utama keberhasilan siswa. Mei tahun ini Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) merilis tentang sistem pendidikan terbaik di dunia dan urutan negaranya. Dan pembeda kualitas pendidikan ini intinya ada pada sosok guru.

Untuk mengakselerasi kualitas guru, sebenarnya ada beberapa langkah alternatif yang bisa ditempuh, setidaknya secara riil dan konkret terbukti berhasil diterapkan di program Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa dan sekolah SMART Ekselensia Indonesia.

Pertama, Kewajiban membaca bagi guru. Seorang guru tidak memiliki keleluasaan dalam hal membaca dan menulis seperti seorang dosen. Selain masalah waktu luang, ketersediaan sumber bacaan di sekolah tidak sebaik di perguruan tinggi. Begitu banyak penelitian yang menunjukkan bahwa membaca akan membantu menyehatkan mental. Saat membaca buku yang tepat, inspirasi dan kreativitas akan terpantik. Penting bagi sekolah menyediakan buku-buku yang akan membantu para guru untuk lebih mencintai profesinya. Pasti akan sulit pada awalnya, namun gerakan membaca 15 menit yang dicanangkan Kemendikbud bagi siswa sebelum pelajaran, dapat menjadi titik masuk penting. Saat siswa membaca, tidak mungkin guru tidak membaca. Jika guru dan siswa bersama menelaah dan mengkaji sebuah buku, tentu akan sangat bermakna bagi kehidupannya.

Kedua, yang penting adalah mengoptimalkan kepemimpinan Kepala sekolah. Keberanian kepala sekolah untuk mengurangi rutinitas yang menyita waktu para guru dengan berbagai terobosan. Menyederhanakan proses administrasi, melakukan diskusi buku secara berkala, dan bahkan memulai proses penilaian guru melalui inovasi yang dilakukan guru. Mentoring, coaching, dan konseling adalah hal penting yang dibutuhkan para guru dari kepala sekolah. Pemimpin, sang kepala sekolah, yang menginspirasi akan menimbulkan gairah bagi para guru dalam berkarya di sekolah.

Ketiga, sinergi bersama pihak swasta. Buku di Indonesia bukanlah barang murah. Pihak swasta wajib terlibat dalam membantu pengadaannya. Saat ini, sebenarnya cukup banyak penulis buku yang mau meluangkan waktunya untuk berbagi. Masalah utamanya adalah bagaimana menemu kenali mereka dan menemukan jalan untuk berbagi.

Ketiga alternatif untuk mengakselerasi kualitas guru akan menjadi optimal saat didukung kebijakan pemerintah yang berpihak pada guru. Guru bukan buruh, meski saat ini buruh jauh lebih mendapatkan perhatian pemerintah dalam hal imbal kerja. Kebijakan pemerintah yang berpihak pada guru perlu diwujudkan segera. Kebijakan mulai dari proses pendidikan guru yang serius, seleksi guru dan proses pengembangan diri guru semuanya harus tersistem secara komprehensif.

Keseriusan pemerintah mengurus para guru akan merawat guru-guru terbaik yang ada saat ini. Seperti pesan salah seorang bapak bangsa kita, M. Natsir, ”Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.” Jadi, jelaslah para guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya perlu dirawat agar tetap menjadi guru. Jangan lagi ada kejadian seperti para guru di awal artikel ini: kesedihan seorang yang mencintai guru dan terpaksa meninggalkan profesinya tidak pernah bisa dilukiskan.

Selamat Hari Guru, semoga akan selalu lahir pendidik bermutu dan tidak ada lagi para pendidik yang kapok menjadi guru!

*Pernah Dimuat di Harian Republika, 23 November 2015

 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun