Interaksi antar mahasiswa kadang sudah tidak lagi menggambarkan aktivitas ilmiah. Beberapa oknum mahasiswa bahkan sudah mulai melakukan kegiatan premanisme berupa pemalakan kepada juniornya. Herannya korban sudah tidak lagi memandang gender, baik laki maupun perempuan bisa menjadi korban. Anak saya menceriterakan bahwa ada temannya yang selain diminta uangnya juga diminta PIN BB-nya dengan paksa. Entah dengan tujuan apa, namun hal ini sudah melanggar privacy orang lain.
Mungkin demi menghargai "kebebasan akademik" maka tidak mudah bagi aparat keamanan memantau kegiatan di dalam kampus. Disamping itu "resistensi" anggota masyarakat ilmiah ini terhadap petugas keamanan juga tinggi. Sehingga jadilah mereka sebuah komunitas exclusive yang susah dipantau dari luar.
Sebagai orang tua tentu semua menghendaki anaknya dapat belajar dalam keadaan aman, tanpa gangguan. Kalaupun ada "gesekan" diantara mahasiswa sepanjang dalam batas wajar dan non kriminal bisa dianggap sebagai sebuah pembelajaran untuk menghadapi masyarakat. Namun sampai dimanakah "gesekan" ini masih bisa ditoleransi ?
Sudah sa'atnya masyarakat kampus mulai membuka diri terhadap dunia luar. Kejadian-kejadian yang bersifat kriminal seyogyanya cepat diatasi secara hukum, bukan hanya diselesaikan secara musyawarah atau bahkan dibiarkan. Pembelajaran hukum harus dimulai dengan penegakan hukum yang adil dan tegas. Mahasiswa rata-rata sudah berusia diatas 17 tahun yang telah memiliki tanggung jawab hukum.
Polisi kampus adalah salah satu jawaban untuk mengatasi masalah gangguan "kamtibmas" di lingkungan kampus yang besar, seperti perguruan tinggi negeri. Diharapkan adanya gangguan dapat diidentifikasi dan diatasi secara dini, sehingga tidak menimbulkan korban. Saya yakin bahwa ide ini tentu akan mendapat banyak penolakan. Namun penulis berharap bahwa harus ada solusi yang nyata untuk mengatasi masalah ini, sebelum menjadi sesuatu yang tersistem dan besar.