Belakangan ini aku kerap menghabiskan waktu di cafetaria pinggir kota, menyeruput secangkir kopi tanpa gula yang entah kenapa tidak sebanding rasanya seperti yang aku alami selepas tempo hari. Jika diingat-ingat sesak batinku mengetahui perempuan yang selama ini aku jaga dan sayangi menghkianati ku selama 3 tahun dan bodohnya aku tidak mengetahui hal tersebut.
"HALO KAK GERY!"
Suara persis bocah cilik itu mengagetkan lamunanku. Sontak aku tersentak melihat ia sudah duduk di depanku dan tersenyum lebar.
"Eh Nana, kamu ini bikin kakak kaget aja" ucapku diikuti tawa garing
"Abisnya kak Gery bengong sih, makanya aku teriak" ucapnya cemberut lalu mulai menggangguku dengan pertanyaan-pertanyaan konyol tentang judul skripsiku. Ia mulai duduk di dekatku sembari menatap layar laptop yang menayangkan judul "Latar Belakang". Iya hanya itu.
"Ngapain kamu kesini Na?" Tanyaku
"CkCkCk" decaknya saat melihat layar laptop didepanku masih kosong melompong tidak ada satu paragrafpun yang tertulis.
"Aku abis beli kue moka disini eh ketemu kakak yauda aku samperin aja, udah jarang juga kan kak kita gak ketemu" lanjutnya lagi
"Heem, gimana Ujian Akhir mu?" Tanyaku yang sekedar basa-basi walau sebenarnya aku sedang tidak mau bicara soal apapun tapi karena Nana adalah junior waktu pelantikan BEM dan dari situ akhirnya kami akrab.
Aku yang kini sudah menginjak semester akhir tidak sempat lagi mengurus kegiatan organisasi di BEM. Kini keseharianku hanya bimbingan, skripsi dan jangan lupa dengan kopi.
"Not bad.., bay the way.. kak Gery gimana kabarnya? Udah jarang loh kumpul sama anak-anak BEM."
"Iyaa seperti yang kamu lihat, kakak sibuk skripsi dan bimbingan jadi maklum jarang bisa ikut kumpul hehe"
Tidak mungkin kan aku mengatakan tidak baik-baik saja ke Nana? Walaupun kami teman satu markas di BEM rasanya enggan saja memperlihatkan masalah pribadi dengannya.
"Mau ku bantu skripsian? Kayaknya Latar Belakang susah banget ya kak?"
Lagi-lagi ia mengingatkanku pada kegiatan yang sudah sejak kemarin belum rampung ku buat. Aku meraup wajahku dan memegang kepala yang pusing, cukup lelah dengan semua ini.
"Are you okay?" ucapnya cemas
Tangan gadis itu bergerak memegang lenganku, dan aku mengangguk pelan. Aku kembali memandang wajah polosnya dan tersenyum sekilas.
"I'm okay, thanks ya Na udah khawatir hehe"
"Beneran baik-baik aja kan? Kalau memang ada masalah cerita aja kak.. Nana pasti dengerin kok. Serius"
Aku tertawa kecil lalu berkata "Gak kok Na, Kakak baik-baik aja.." tidak mau berlama-lama disini aku menutup laptop ku dan membereskan buku di meja lalu memasukkan ke ransel yang ku bawa.
"Loh udah selesai emang?" tanya Nana
"Kaka baru ingat ada bimbingan sama Pak Deni sekarang, kakak duluan gak apa-apa kan?" Ucapku lalu menggendong tas ranselku
Gadis itu kembali tersenyum kali ini lebih teduh dari sebelumnya. Tapi aku hanya membalas dengan lambaian tangan setelah ia melambaikan tangannya juga padaku.
"Hati-hati kak Gery!"
Bukan karena apa-apa aku hanya tidak ingin terjebak dengan pertanyaannya tadi mengenai masalah ku. Seberanya Pak Deni sedang ada pelatihan dan beliau tidak bisa menemuiku untuk bimbingan, tadi hanya alibiku saja agar bisa pergi dari sana.
Rencananya aku akan kerumah Hadi teman sekelasku sekalian pinjem bahan materi. Tapi entah kenapa sudah setengah perjalanan laju sepeda motorku masih terasa lambat jadi aku menaikkan kecepatannya agar cepat sampai tujuan.
Saat melewati pinggiran alun-alun, aku jadi teringat dengannya pikiranku kembali di isi memori lalu, saat-saat manis yang kita lalui di alun-alun kota waktu senja menuju petang menyisakan duka paling indah bagiku.
"Kopi Ger?" lelaki berambut gondrong itu menyuguhkan segelas kopi hitam di depanku
Aku hanya menggeleng sekilas "pusing Had kopi mulu" jawabku
Dia tertawa renyah lalu menepuk bahuku beberapa kali.
"Sejak kapan seorang Gery Abirama dan kopinya bermusuhan?"
"Sudahlah Had, itu dua hal yang sangat berbeda" Aku membalasnya dengan tatapan sinis
"Galau lagi, galau lagi.. ayo kita pensiun jadi sadboy" ucap Hadi
Kata-katanya itu sontak membuatku meringis sekaligus tergelak. Hadi memang yang paling bisa mencairkan suasana.
"Bukan gitu juga Had, gue cuma bingung sama Cika.. dia gak punya hati apa?"
Hadi mengangguk "Gue paham kok Ger, nih buku yang lo mau pinjem" dia memberikan buku bersampul biru tua itu padaku.
"Mungkin lo cuma gk beruntung aja, jagain jodoh orang selama tiga tahun itu memang perjuangannya gak bisa diremehkan. Malah gue salut sama lo. Lupain apa yang udah terjadi.. keputusan yang dia ambil bener kok. Karena perempuan seperti dia gak pantas buat lo Ger"
Hadi yang sudah sejak semester awal selalu bersamaku, bisa dikatakan sebagai sobat karib. Dia selalu menjadi penasehat terbaik, tidak kalah dengan motivator-motivator YouTube.
Aku menghela nafas, mengambil buku Hadi dan memasukkannya ke ransel. "Lo bener Had, mungkin gue hanya tidak beruntung"
"Sabar Ger, inget kata pepatah mati satu tumbuh seribu. Ntar juga ada gantinya" Hadi menepuk bahuku lagi dan menyemangatiku.
Keesokan harinya, Pak Deni memintaku membawa laporan skripsi ke Kampus. Berhubung beliau juga sudah pulang dari luar kota setelah pelatihan kemarin.
"Ah sial, masa revisi terus" cercaku sambil berjalan cepat turun dari tangga. Tiba-tiba tak sengaja aku menabrak tubuh seseorang.
"BRUKKK"
"Eh maaf-maaf aduh, makanannya jadi jatuh.." ucpaku dengan nada panik sambil mencomoti kotak makan dan serpihan roti di lantai.
"Gak apa-apa kak" ucapnya
Suara yang tidak asing itu mengagetkanku, aku melihat Nana sudah membantuku mengambil sisa makanannya dan kotak makan yang ku bawa.
"Sorry Naa.. kakak gak tahu, tadi sibuk lihat laporan"
"Bukan sepenuhnya salah Kak Ger kok, aku juga yang salah gak liat ada yang lewat"
"Thanks ya Na, emm .. bay the way mau kemana?" Tanyaku
"Mau makan sih di kantin atas, tapi.." Pandangan Nana langsung mengarah ke kotak makannya yang aku jatuhkan tadi.
"Sorry na.. ikut kakak aja yuk" aku sontak menarik tangannya dan kembali naik ke tangga menuju kantin atas.
Merasa bersalah dengan Nana aku mengajaknya untuk makan di kantin, ini juga karena kesalahanku yang tidak berhati-hati. Aku menyuruhnya untuk segera duduk dan tidak usah segan.
"Padahal tidak apa-apa kok kak-"
"Udah diem aja, ini juga salah kakak malah kakak mau minta maaf. Mau makan apa? Bilang aja na"
Aku menanti jawabnnya, namun yang ku dapat hanya senyum manis yang tercetak di bibirnya.
"Nasi goreng? Bakso? Mie?" Aku terus bertanya hingga menyebut semua menu di kantin ini yang entah kenapa bisa sehafal itu padahal aku saja jarang ke kantin.
"Emm.. roti bakar aja" Mendengar jawaban dari Nana aku langsung memesankannya sekaligus satu kopi pahit lagi untukku di pagi ini.
Aku memberikan roti bakar ke Nana dan meletakkan kopiku di atas meja.
"Terimakasih kak ger, kakak gak sarapan sekalian?" Tanya Nana yang kelihatannya heran denganku
"Ini aja cukup kok Na, Kakak memang biasa ngopi pagi untuk makannya nanti siang" ucapku lalu tersenyum
"Aku fikir kopi cuma untuk bapak-bapak" kata Nana sambil tertawa kecil
"Hahah, engga dong.. kopi itu minuman merakyat semua kalangan baik cewek atau cowok bisa menikmatinya" jawabku sambil menatapnya yang tak berhenti tersenyum.
Manis, hanya itu yang ku rasakan. Bukan kopiku yang manis tapi senyum Nana menularkan rasa ke minuman hitam pekat yang aku minum. Suasana pagi dan candaanya seakan melepas seluruh beban yang aku pikul sejak kemarin. Skripsi, revisi, dan luka hati.
Kami bercerita hingga siang menjelang, sampai lupa dengan waktu yang kami habiskan selama 3 jam terakhir ini di kantin.
"Astaga kak, jam 12 aku ada rapat" ucap Nana dan mulai mengemasi tasnya
"Haha, ya ampun sampai lupa maaf ya Na keasyikan ngobrol"
"Gak apa-apa kak, thanks ya.. aku duluan"
"Iya na sama-sama, bye"
Perempuan berambut panjang itu pergi, tak sadar aku salah tingkah mulai tersenyum sendiri membayangkan semua ceritanya tadi.
"Ada-ada aja deh, cewek malah suka pelihara tokek" gumamku sambil tertawa saat sampai di parkiran mengingat cara Nana bercerita.
Aku melihat Nana dari kejauhan, dia membawa setumpuk surat entah dari mana menuju ruang BEM yang tak jauh dari area parkir. Kulihat dia sedang bersama Bayu adik tingkatku juga di BEM. Mereka sangat akrab, terlihat Nana bercanda dan tertawa bersama Bayu dalam perjalanan menuju ruang BEM.
Aku merenung, tadi hanya rasa nyaman sementara yang aku rasakan. Ku pikir Nana bisa menjadi obat luka hatiku, tapi ku rasa tidak. Nana perempuan yang pintar dan perfectionist tidak sehrusnya aku menaruh harapan padanya karena sempat satu meja di kantin.
"Gery.. gery.. jangan b*go lah" tukasku pada diri sendiri sambil tertawa miris.
Lebih baik sendiri dulu untuk saat ini, merawat luka dan berdamai dengan masa lalu. Aku hanya takut nanti keputusanku akan menyakiti Nana dan diriku sendiri. Ku akui sempat terbesit rasa kagum padanya tapi aku tak ingin menyembuhkan luka lama dengan orang baru. Karena bagiku kopi pun tetap nikmat tanpa manisnya gula sekalipun, rasanya jujur walau pahit.