Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Naomi (Serpih Kolase Emansipasi)

21 April 2012   06:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:19 165 0
NAOMI
(Serpih Kolase Emansipasi)

Dengan tubuh letih, aku lap wajahku yang mulai diderai keringat. Pada kaca spion, aku lihat wajahku sendiri, aku jadi tersenyum. Dulu bedak, lipstick, sepatu fantofel dan tubuh yang terawat selalu menemani hariku saat jadi karyawan swalayan. Tapi sekarang, aku lebih perkasa, kian hitam . Bahkan lebih hancur dan berantakan dibanding saat pertama kali tiba di Surabaya untuk mencari peruntungan.
Echon yang hari ini merengek ikut naik kereta kelinci, sungguh membuatku tak tega karena harus menahan kantuknya dan pasti juga lelah setelah menarik lima kali putaran. Apalagi rute yang kami lewati sekali putar agak jauh karena harus mencari penumpang dari gang ke gang, dari kampung ke kampung.
“Echon, kamu pulang saja ya, Nak? Nanti kalo Mama pulang, mama bawain oleh-oleh.” Bujukku agar dia mau pulang dan tidur di rumah.
“Echon ingin bantu Mama kelja. Echon cayang Mama.” Ucap anakku yang baru empat tahun itu membuatku terharu.
“Iya, Mama tahu, tapi kalo Echon kelamaan ikut Mama narik kereta, nanti Echon bisa sakit, sayang…, di rumah sama mbah Karti, ya….”
“Iya, Ma. Kalo Echon cakit Mama jadi cedih, ga bica kelja ya Ma?” Aku hanya bisa mengangguk karena terharu.
Hari demi hari Echon semakin memahami keadaan. Selain tak lagi bertanya tentang papanya, dia juga sudah mengerti kerja mamanya yang jadi sopir kereta kelinci. Bahkan dia sangat membanggakan pekerjaanku di depan teman-temannya. Aku hanya tersenyum melihat itu.
“Maafkan Mama, Nak.” Gumam hatiku setelah menitipkan anakku pada mbok Karti tetangga kosku yang sangat baik dan banyak membantuku itu.

Kembali menarik kereta kelinci melintas gang sempit hingga ke jalan raya, keretaku sudah penuh penumpang. Terbayang sisa uang setoran yang lebih banyak sudah membuatku gembira. Kalau rejeki tak kemana, batinku.
“Mbaaaaaak!!” Teriakan seorang Ibu dari gerbong belakang membuatku menghentikan kereta. “Kok, gerbong belakangnya agak goyang ya?” lanjutnya ketika aku mendekat.
Aku pun meneliti dari ban hingga mesin dan sambungannya. Tapi aku tak melihat ada kerusakan.
“Sepertinya baik-baik saja, Bu.” Jawabku setelah meneliti beberapa menit.
Kereta wisata ini pun kembali melaju melintas jalan-jalan berlomba dengan kendaraan lain.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaach!!!” Tiba-tiba gerbong belakang putus sambungannya. Empat penumpangnya jatuh bersama gerbongnya ke arah kali pembuangan (selokan). Aku panik dan sangat ketakutan. Spontan kereta kuhentikan dan berteriak minta tolong. Tangis kembali menari.
Kerumunan orang pun mencaci, mengolok dan bermacam ucapan yang mendiskreditkan aku yang tak becus membawa kereta.
Sementara korban ditolong warga sekitar, seorang polisi yang ada di perempatan tak jauh dari tempat kejadian mendekat dan menginterogasiku.
Karena aku memang salah, aku hanya diam dan menurut saja ketika proses dilanjutkan ke kantor polisi. Apalagi kabarnya salah satu korban ada yang meninggal karena pernafasannya tersumpal lumpur. Berjubal sesal mengaduk jiwaku. Ternyata perjuanganku untuk menjaga nyawaku dan anakku malah merenggut nyawa orang lain.
Berulang kali aku panggil Tuhan untuk memohon ampunan. Kuserahkan semua pada kuasaNya.
“Untuk sementara Ibu kami tahan, kecuali kalau keluarga korban mencabut tuntutannya.” Kata Polisi membuatku makin hancur.
Galau menyeruak ketika wajah anakku bertebaran sepanjang lorong hati. Meski dia baik-baik saja di tangan Mbok Karti, tapi bagaimana jika dia mengerti Ibunya ditahan seperti ini? Apalagi aku sudah menjanjikan kalau nanti pulang bawa oleh-oleh.
“Ach, Echon, maafkan mama, Nak…” Tangis kembali merajai hatiku.
Di luar, aku dengar beberapa sopir kereta kelinci yang lain datang mengusahakan kebebasanku. Bahkan mereka kabarnya mendatangi keluarga korban untuk meminta maaf dan mengajukan permohonan pencabutan laporan. Tapi tak ada hasil.
“Tuhan, jangan buat aku lupa mensyukuri nikmatMu meski berulang kali Kau uji dengan tanda cintamu…” gumamku dalam galau.
Bayang suamiku pun bercokol di benakku.
“Hidup harus diperjuangkan!” Itu kalimatnya yang menjadi kenangan indah dan membangkitkan semangatku.
“Mbak, ada wartawan mau ketemu.” Petugas piket dari Polsek Simokerto membawaku ke ruang besuk.

**********

“Kita tak pernah tahu kapan dan dimana Tuhan akan menjatuhkan hujan meskipun ramalan cuaca sudah kita baca. Begitu pun kapan kelahiran dan kematian. Meski kita semua tahu pada akhirnya harus kembali kepadaNya, namun kapan saat itu tiba adalah misteri yang Maha segala Maha. “ Ucapku membuka cerita ketika wartawan harian Surabaya Tergugah memintaku bercerita tentang kisahku.
“Inilah yang terjadi saat ini. Namaku Naomi. Dari pulau Nusa Tenggara, tepatnya Maumere. Aku menginjak Jawa dengan semua harap dan hirup yang tertumpah di kota metropolis, Surabaya. Bayang-bayang memperbaiki hidup kutancapkan di kota ini.”
“Ada saudara di kota ini?” Tanya wartawan yang pada awal jumpa memperkenalkan Makrun sebagai namanya. Aku menggeleng.
“Mengenal kota buaya yang bisa dibilang ramah, aku dengan mudah memasuki wilayah ini dari gang-gang sempit hingga raya tanpa berfikir harus ada siapa yang kutuju.” Jawabku sambil tersenyum kecut.
“Satu yang kusayangkan, ijazahku yang hanya Sekolah Menengah Pertama ini membuatku susah mencari kerja, hingga aku terdampar kehabisan bekal dan menemukan seorang Gerson yang mau membantu mencarikan tempat kerja di toko swalayan dengan bantuan STTB-nya yang SMU.
Ya, Gerson memfoto copy ijazahnya kemudian menutupi bagian nama dan foto dengan milikku lalu difoto copy lagi. Trik yang nakal dan tak patut ditiru.” Makrun tersenyum.
“Kita juga butuh makan, kalau di negeri ini kita dibodohi orang berijazah, kita juga harus bisa bodohin mereka. Sedang sekolah juga tak mudah, begitu kata Gerson kala itu.”
“Bukannya Gerson itu nama suami Mbak Naomi?”
“Iya. Karena cinta datang ala biasa, aku pun kian lekat hati dengan lelaki tampan dan berperawakan gagah itu hingga kami menikah dan punya anak satu yang kami beri nama Gerson Junior yang kami panggil Echon.”
“Bukannya Mbak Naomi kerja di Swalayan?”
“Itu dulu, Mas. Sejak hamil Echon inilah aku tak kerja lagi, karena syarat SPG di swalayan itu salah satunya belum berkeluarga dan belum memiliki anak. Jika menikah bisa kami sembunyikan, maka kehamilanku-lah yang tak bisa berbohong. Salahkah kalau aku menyebut ini diskriminasi?” Kulirik Makrun yang berhidung mancung dan berkumis tipis itu manggut-manggut. “Apa bedanya menikah dan punya anak dibanding yang masih lajang? Toh kerjanya juga sama. Apa hanya gadis saja yang mampu menjadi pelayan swalayan?” Ucapku setengah unjuk rasa.
“Lanjut Mbak…!” Pinta Makrun.
“Sehari-hari suamiku kerja jadi sopir angkot. Lumayan, biarpun uang setoran kadang tidak ketutup, minimal kami tidak kurang untuk makan setiap harinya.
Dan kami sangat menikmati kehidupan keluarga kami. Bisa dibilang bahagia. Karena bagi kami ukuran bahagia bukan dari materi yang kami punya, tapi dari rasa cinta dan mensyukuri apa yang ada.”
Kuhela nafasku agak dalam demi mengingat suamiku.
“Ini tahun ke tujuh kami menikah. Tepatnya tanggal 12 Oktober 2011 kami bertiga merayakan dengan makan di restoran Prima Rasa yang selalu memberikan diskon untuk mereka yang ulang tahun asal bawa buktinya. Sisanya kami bayar dari hasil nabung Gerson yang ingin menyenangkan kami. Dan itu kali pertama kami bisa makan di tempat enak seperti ini sejak menikah dengan membawa surat nikah. Dulu saat masih jadi karyawan swalayan saya pernah beberapa kali ke sana kalau ada teman kerja yang ulang tahun. “ Air mataku pun luruh. Kuhentikan sejenak percakapan kami karena isak yang menyesak dada lebih kuat dari kemampuanku bicara.
“Menangislah, Mbak. Jangan ditahan. Biarkan lepas…!” Lelaki itu mengikhlaskan dadanya untuk ku mengadu. Ku pecahkan tangis yang selama ini tertahan.
Setelah puas membongkar air mata, aku lanjutkan kisahku.
“Kamera digital milik mas Narno pemilik angkot yang disopiri suamiku masih kupelototi. Untuk merayakan ulang tahun pernikahan kami, Gerson ingin ada kenangannya, makanya pinjam kamera. Apalagi ada Echon yang sudah mulai besar dan bisa bergaya, suamiku senang sekali. Bahkan ketika akan berangkat narik, dia senyum-senyum melihat foto-foto kami.
Saya pun begitu, tak bosan memandangi kemesraan malam itu, Aku pandangi sesaat setelah suamiku berangkat kerja, sampai ada suara di pintu yang membuatku beranjak dan menaruh kamera mungil itu. Yang datang ternyata juragan suamiku, mas Narno.
Kukira dia mau ambil kamera yang kami pinjam, ternyata tidak.” Ceritaku dengan dada agak ringan meski masih ada kesedihan.
““Maaf, Mas, suami saya tidak di rumah.” Kataku pada Narno.
“Iya, justru itu aku mau mengabarkan kalau suamimu sedang dalam masalah.”
“Ada apa dengan suami saya, Mas?” Tanyaku panik.
“Yang sabar, ya…., “ Mas Narno menarik nafas panjang dan menghempaskannya. Ada butiran kaca di matanya.
“Gerson kecelakaan. Nyawanya tak tertolong.”
“Gubrak!!!!!” Dunia seakan terbelah. Aku tak mampu lagi berkata-kata dan semuanya gulita.
Sejak itu hari-hariku penuh tangis dan kesedihan yang kusimpan sendiri. Apalagi di kota ini aku tak punya siapa-siapa. Mau kembali membawa kesedihan ke kampung halamanku juga tak mungkin, karena aku ke Surabaya juga karena ingin merubah hidup.”
Makrun ikut larut hingga dia pun menghela nafas terdalamnya.

*********

Seperginya Makrun dari Polsek, bayang-bayang saat pertama kali menjadi sopir kereta kelinci pun menguliti anganku.
Empat puluh hari lepas nyawa Gerson, semua baru terasa jika selama ini hidup hanya dari keringatnya.
Maka ketika keringat itu tak lagi mengucur, langitku yang remang pun kian buram saja.
Dari pintu ke pintu aku tawarkan tenaga untuk mencuci, setrika ataupun bersih-bersih rumah. Tapi belum aku temukan yang memerlukan tenagaku sampai suatu hari aku dengar seorang sopir kereta kelinci ngobrol sama temannya jika sedang mencari sopir untuk kereta kelinci yang baru.
Berbekal kemampuanku mengendarai motor, aku nekat melamar pekerjaan itu setelah banyak bertanya pada empunya informasi.
Puji Tuhan, aku diterima. Meskipun seharusnya pekerjaan ini untuk lelaki, tapi karena aku memaksa dan merasa mampu, pemilik keteta pun mengiyakan. Apalagi aku memohon sekali pekerjaan ini.
Teratasi masalah satu, masalah lain muncul. Anakku tak ada yang momong. Galau menjangkiti hatiku.
“Biarkan saja anakmu bersamaku, nduk.” Ucap mbok Karti- tetangga dimana aku kost-membuatku terperangah.
“Benar, Mbok?”
“Iya, simbok beneran. Jangan pernah berfikir aku mengharap apapun darimu. Bekerjalah. Echon akan baik-baik saja.” Mbok Karti semakin membuatku terharu hingga kembali air mataku meleleh. Aku peluk perempuan enam puluh tahun itu.
“Mbok, andai saja aku tak punya simbok, apa yang terjadi dengan hidupku, Mbok?”
“Sudah, Nduk, jangan nangis lagi. Sana, berangkato!” pintanya dengan bahasa terkontaminasi Jawa.
Antara tega dan tidak, aku pun berangkat. Dengan air mata yang masih meleleh. Echon yang baru empat tahun itu aku tinggalkan dalam keadaan masih tidur. Seharusnya, anak seusia dia sangatlah butuh pendampinganku, tapi hidup juga perlu diperjuangkan. Jika aku hanya menungguinya tapi membuatnya kelaparan, sama saja membunuhnya dengan sadis.
Ketika awal-awal aku jadi sopir kereta, banyak juga yang heran dan bahkan ibah, hingga kadang setelah turun dari kereta, kembalian tak diminta.
Juga banyak orang yang terperangah. Ya, maklum saja, pekerjaan ini kata kebanyakan orang dikategorikan pekerjaan kasar dan pantasnya hanya pria yang memegang. Tapi apa daya, nafas kami perlu diperjuangkan. Daripada menjual diri, lebih baik kerja seperti ini.

Jika akhirnya berakhir di bui, bukan berarti hidup harus disudahi. Perjuangan untuk kembali menakhlukkan hidup harus terus berlanjut.
Hanya sebuah keyakinan, bahwa Tuhan punya banyak cara untuk menunjukkan cinta. Tak hanya lewat suka cita, tapi air mata juga salah satunya.
Jika Tuhan telah memberi masalah, maka aku yakin bahwa Tuhan juga menyimpan solusinya. Tinggal bagaimana cara kita mendekat dan mengambil solusi itu dari genggamanNya yang misteri.
*********
Hari-hari selama aku di penjara, anakku mendapat perlindungan hidup dari komunitas kereta kelinci. Tapi untuk pengasuhan, mbok Karti tetap kekeh ingin merawat Echon sampai semampunya. Di tangannya, anakku tumbuh menjadi anak mandiri. Mbok Karti banyak mengajarkan padanya bagaimana menjadi anak yang tidak cengeng. Aku melihatnya ketika dia dengan hati emas seorang anak yang mendatangi ibunya di penjara.
“Mama, yang cabal ya…” Ucapnya dengan cadel. “Tuhan itu kaya, nanti Tuhan pasti akan membeli kita apa caja. Mama tenang ya…..” Seraya menciumi pipiku, tanpa menangis dan merajuk. Justru aku yang terharu dan ingin meneteskan bening di pipi.
Mbok Karti tersenyum melihat Echon yang menggemaskan.
Pulang dari menjengukku di penjara, kabar buruk pun tiba. Mbok Karti sakit dan harapan hidup tinggal sejengkal.
Dia ketahuan penyakitnya karena pingsan saat turun dari angkot yang membawa pulang dari penjara. Tumor otak stadium empat.
Sungguh ini galau tingkat dewa yang menimpa. Dengan keadaanku, aku tak bisa merawat dan membalas kebaikan mbok Karti. Sementara anakku juga entah bagaimana nasibnya.
Kubolak balik pikiran untuk mengcover semuanya dari penjara, tetap saja tak bisa. Sampai aku dengar kalau Mbok Karti meninggal dunia. Ya, Darman, teman sesama sopir kereta kelinci mengabariku.
“Oh, Tuhan, kemalangan apa lagi ini?” Orang yang sudah aku anggap orang tuaku dan telah banyak membantuku dan anakku kini pun hilang nyawa.
“Anakku bagaimana, Mas?” Tentu saja kepanikan melandaku.
“Kamu tenang saja, Mbak, anakmu baik-baik saja.” Hibur Darman sambil mengulurkan secarik kertas.
“Apa ini?”
“Tadi kami mengurus ijin agar kamu diperbolehkan menjenguk jenazah Mbokmu.” Aku pun bergegas.
Jasad Mbok Karti yang terbujur dengan senyum di bibirnya membuatku tak sanggup berdiri. Echon yang masih terisak menghambur dalam pelukanku.
“Maafkan aku, Mbok……..” Tangisku pun memotongi hatiku menjadi percah-percah yang sulit kukumpulkan.
Selepas pemakaman, aku membawa anakku ke jeruji. Tak ada pilihan lain. Kami harus mengganti nyawa yang telah terpenggal karena memburu penghidupan.

*********
Bulan kelima aku di penjara, dua pasang suami istri datang menemuiku.
“Kami orang tua anak yang meninggal saat kecelakaan kereta kelinci.” Ucap perempuan berkerudung hitam itu sambil berkaca-kaca. Aku spontan menghambur ke kakinya bersujud meminta maaf. Tangis sesal menghajarku.
“Sudahlah, semua sudah terjadi.” Lelaki di sebelahnya mengangkat tubuhku agar berdiri. “Kami sudah memaafkan.” Ujarnya.
“Tidak ada orang yang ingin celaka, tapi jika Tuhan sudah menghendaki, kita duduk di rumah pun bisa mati.” Lanjut lelaki itu dengan menghela nafas dalam.
“Kami baca berita di Koran tentang perjuanganmu mempertahankan hidup. Kemarin kami baca lagi, bahwa anakmu harus ikut disini karena yang menjaga di rumah meninggal. Kami ikut berduka cita, ya…….” Lelaki itu begitu baik dan penuh wibawa.
“Terimakasih banyak, Pak, Bu….”
“Jika kemarin kami tak perduli dan memprosesmu kemari, itu karena emosi kami yang kehilangan. Kami minta maaf.” Kebaikan perempuan itu membuatku semakin bersalah. “Kami lupa jika Allah Subhanahu Wata”ala telah menghendaki seperti ini.”
“Memang sudah seharusnya saya disini, Bu. Saya bersalah menghilangkan nyawa orang.”
“Sudahlah, jangan difikirkan lagi, kami sudah memaafkanmu. Dan kami kemari mau mengabarkan ini untukmu.” Diulukan selembar surat bermaterai.
“Pencabutan tuntutan dan pembebasan saya?” Perempuan itu tersenyum dan mengangguk. Dunia terasa penuh kembang api. Aku senang membacaanya.
“Jika kamu sudah bebas, datanglah ke rumah kami. Kami akan menyediakan tempat untukmu tinggal sekaligus pekerjaan, biar anakmu bisa hidup layak.” Kabar gembira ini semakin membuatku menangis histeris. Betapa orang sebaik ini anaknya celaka di tanganku.
“Ya Tuhan, masih ada orang berhati Malaikat di bumi ini? Terimakasih Tuhan, terimakasih Bapak dan Ibu…….” kembali air mataku meleleh.
“Tapi saya tak pantas mendapatkan kebaikan seperti itu, Bapak, Ibu………Setelah apa yang saya lakukan. Saya harusnya dihukum, bukan diberi kebaikan. Biarkan saja saya disini.”
“Mungkin ini sudah jalan hidupmu. Ayolah, jangan lagi berfikir tentang kesalahanmu. Ingat anakmu.”
Demi memikirkan anakku, aku pertimbangkan lagi tawaran itu. Ya, aku akhirnya menyanggupinya.
**********
Kebebasanku dari bui membawaku kembali menjadi karyawati swalayan, tanpa ijazah, bahkan menjadi kepercayaan majikanku, siapa lagi kalau bukan Pak Mario dan Bu Umi yang anaknya menjadi korban kereta kelinci.
Mereka benar-benar orang baik. Bahkan anakku dimasukkan sekolah favorit dan setiap harinya dijaga pembantunya saat aku bekerja.
Tak ada dendam, tak ada kebencian. Tulus mereka menerimaku karena Tuhan mereka.
Meski kami beda keyakinan, kami pun hidup berdampingan dan saling membantu.
Terakhir, saya baru menyadari jika Makrun adalah orang yang diam-diam memperjuangkan nasib kami.
**********end********
Srikandi Darma Aloena
Surabaya, 7 February 2012

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun