Dengan diliputi rasa sedih atas musibah Wasior, Merapi dan Mentawai, saya mencoba membangkitkan kembali rasa kebangsaan di Hari Sumpah Pemuda ini sekalipun yang lebih diharapkan oleh masyarakat kita adalah merapatnya rasa kemanusiaan kita untuk turut campurtangan dalam beberapa musibah tersebut. Ada pula yang mengemas keprihatinan atas musibah kemanusiaan akibat bencana alam itu dengan membangkitkan solidaritas sosial atau menggugah rasa kebangsaan banyak pihak. Hal tersebut wajar, karena ide kebangsaan juga mempunyai dimensi sosial, selain politik dan tatanegara.
Kali ini saya ingin melihat ide kebangsaan kita dari aspek tatanegara.
Jika dirunut ke belakang, perjalanan ide kebangsaan Indonesia tampak seperti sebuah cerita bersambung atau film serial. Awalnya berupa percikan kesadaran kebangsaan pada masa Boedi Oetomo 1908, kemudian berkembang menjadi platform perjuangan (manifesto politik 1925 oleh Perhimpunan Indonesia dan Sumpah Pemuda 1928). Puncak kematangan konsep kebangsaan terjadi pada Proklamasi 17 Agustus 1945 dan dijadikan fondasi ide ketatanegaraan dalam Pembukaan UUD 1945.
Momentum perjalanan konsep kebangsaan itu (khususnya dalam kadarnya sebagai manifesto politik) kini dikenang melalui peringatan Sumpah Pemuda setiap tanggal 28 Oktober. Romantika politik yang menarik.
Salah satu butir sumpah itu berbunyi "Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia." Pertanyaan kita saat ini, masih relevankan romantika politik ini? Masih berhargakah sumpah itu bagi Indonesia saat ini dan ke depan?
Pada "konstruksi asli" pemikiran ketatanegaraan Indonesia, sumpah ini menjadi berharga justru karena adanya Proklamasi 17 Agustus 1945, diperkuat secara hukum dalam Pembukaan UUD 1945 serta dilembagakan dalam batang tubuh UUD 1945 (sebelum amandemen) dalam konstruksi bentuk, wewenang dan fungsi lembaga tertinggi negara yang disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dapat dikatakan bahwa menurut konstruksi asli ini, ide kebangsaan menjadi sebuah keniscayaan sejarah untuk ada dan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tantangan nyata ide dan konsep kebangsaan saat ini adalah "agama" baru globalisasi-liberalisme yang mengusung "dua kalimat syahadat" : 1) kebebasan milik semua umat manusia; 2) pasar bebas menjamin terwujudnya kemakmuran. Ada kemiripan antara "agama" baru globalisasi-liberalisme dengan kolonialisme pada jamannya. Keduanya mengusung "satu dunia, satu umat manusia". Perbedaannya adalah bahwa pada jaman kolonialisme ide kebebasan itu ditunggangi dan dikendalikan oleh para kolonial kapitalis dan "dipelihara" khusus bagi mereka, sehingga kebebasan itu berarti "bebas bagi mereka untuk mengeksploitasi bangsa lain." Kini ide kebebasan itu ditunggangi oleh para kapitalis dan tanpa kolonialisme dan disebarkan secara amat rapi, halus, intelek, terstruktur dan "diternakkan/dikembang biakkan" seperti layaknya orang "menggaduhkan" (Jawa : nggadhuhke) kambing atau sapinya. Dengan pola "menggaduhkan" ini si pemilik ternak tetap memiliki sepenuhnya induk yang digaduhkan sambul menunggu hasil berupa anak atau nilai tambah induk gaduhan tanpa wajib memberi makan atau memelihara ternak itu. Soal si penggaduh rugi atau gulung tikar atau kocar-kacir karena ternaknya makan tanamannya, itu bukan urusan si pemilik ternak. Siapakah pemilik "ternak" yang bernama "kambing-liberalisme" dan sapi "neo-liberalisme" yang berkepentingan menggaduhkan ternaknya itu ke seluruh dunia dengan sebutan globalisasi.
Kendati ide kebebasan ini sangat pragmatis dan natural, namun ide tersebut juga telah membuat gamang beberapa pemikir besar dunia. Kegamangan itu terkait betapa liarnya ide ini. Seorang kritikus sosial Matthew Arnold, misalnya, bahkan mengibaratkan kebebasan "seperti kuda yang bagus untuk ditunggangi ke arah manapun selain ke arah kebebasan itu sendiri." Eric Fromm seorang filsuf sosial menyebut bahwa "kebebasan mewarnai eksistensi manusia sedemikian rupa, sehingga maknanya berubah sesuai dengan tingkat kesadaran dan konsep manusia tentang dirinya sendiri."
"Syahadat" kedua dari globalisasi-liberalisme adalah pasar bebas menjamin terwujudnya kemakmuran. Beberapa pemikir mengatakan baha ini adalah mitos. Hasil penelitian mereka menyimpulkan bahwa kemakmuran pada tahun 1960-1980 diperoleh bangsa-bangsa justru karena adanya intervensi yang tepat dari negara. Kesimpulan ini sejalan dengan kritik atas prinsip laissez faire --anak dari liberalisme Inggris abad 18 -- yang kemudian menghasilkan konsep negara kesejahteraan.
Kedua "syahadat" ini tampaknya telah terstruktur dengan baik, lengkap dan canggih. Susah untuk menolak atau melawannya karena tampilannya sudah sangat ideologis, tersembunyi di balik pikiran dan nafsu manusia, didukung oleh para cerdik pandai nan profesional serta para pemodal.
Kembali ke ide kebangsaan Indonesia.
Kini di usianya yang ke 102 tahun disumpahkan, atau 65 tahun setelah Proklamasi, bagaimana kisah perjalanan ide kebangsaan Indonesia itu? Apakah ia baik-baik saja? Atau mati surikah ia?
Ide kebangsaan yang menjadi isi sumpah kita kala itu--yang secara historis telah meniscayakan ada dan berdirinya NKRI, seharusnya tetap berharga dan tetap menjadi sumpah kita bersama. Ia seharusnya tetap menjadi basis moral sosial, politik dan tata negara. Tetapi tampaknya ia sedang mati suri. Mirip peristiwa sejarah yang ditulis oleh Louis Vernon P. pada tahun 1927 ketika di Amerika Teori Romantik Perancis yang mengusung republikanisme dibuat bertekuk lutut oleh gagasan liberalisme Inggris yang lebih pragmatis dan mengikuti hukum alam.
Di Indonesia, fakta hukum terpenting yang menunjukkan bahwa ide kebangsaan sedang mati suri adalah naskah amandemen konstitusi yang isinya telah merestrukturisasi ketatanegaraan Indonesia. Gerakan reformasi yang semula mengusung isu pembatasan jabatan presiden, tiba-tiba melebar hingga menyentuh dan merombak basis moral sosial, politik dan ketatanegaraan Indonesia. Ide kebangsaan yang menjadi basis pemikiran konstitusionalisme asli Indonesia dan dikonstruksikan dalam lembaga tertinggi negara telah direstrukturisasi, sehingga tidak jelas lagi lembaga mana yang memegang amanat bangsa. Garis-garis besar haluan negara yang menjadi pedoman setiap penyelenggara negara juga sudah tidak ada. Ide kebangsaan yang semula telah terstruktur secara sistematis dalam konstitusi sebelum amandemen, kini sudah tidak utuh lagi, telah diamputasi atau bahkan telah dimutilasi. Istilah bangsa atau kepentingan bangsa tinggal menjadi slogan, dan diucapkan oleh para pemimpin negeri ini manakala mereka sedang terjepit atau ketika mereka sedang ingin "bercinta" dengan rakyat pada musim ("kawin politik") pemilu.
Ketika menyingkap pertarungan antara "sang sumpah" versus "sang syahadat", kita ingat dengan Amin Rais. Ia dan para pendukung reformasi pada waktu itu telah dengan senang hati menerima "kuda troya kebebasan" sehingga seolah-olah telah menempatkan setiap manusia Indonesia pada titik yang tidak mungkin lagi berbalik, yaitu melupakan "sang sumpah" kebangsaan dan mengucapkan "dua kalimat syahadat" untuk memeluk "agama" baru, yaitu liberalisme.
Mungkin tidak asing lagi cerita tentang kuda troya. Kuda troya adalah kuda kayu besar, di dalamnya berisi pasukan elit Yunani. Kuda itu diberikan oleh pemimpin Yunani bernama Odysseus sebagai "hadiah" bagi bangsa Troya. Bangsa Troya yang semula sangat sulit dikalahkan oleh bangsa Yunani akhirnya hancur setelah menerima kuda kayu berisi pasukan tempur Yunani itu. Kuda Troya yang diterima Amin Rais dkk bukan terbuat dari kayu, tetapi terbuat dari sebuah rumusan sistematis dengan bahan baku berupa ide kebebasan.
Bagaimana prospek pertarungan antara "sumpah" versus "syahadat" dalam arus pemikiran konstitusionalisme Indonesia nantinya? Apakah sumpah itu tetap berharga dan diterima sebagai keniscayaan sejarah NKRI? Ataukah "dua kalimat syahadat" dari "agama" baru liberalisme itu yang kian diamalkan, diglobalisasikan, seiring dengan suksesnya restrukturisasi ketatanegaraan via amandemen konstitusi yang dilanjutkan dengan kebijakan perdagangan/pasar bebas yang kian terang benderang? Apakah akan ada keniscayaan sejarah baru di bumi Nusantara? Wallahualam bissawab.
Untuk Anda yang berminat menggaduhnya, berikut saya kutipkan tesis Milton Friedman (Guru of neoliberalism) : "Profit making is the essence of democracy, any government that pursues antimarket policies is being antidemocratic, no matter how much informed popular support they might enjoy. Therefore it is best to restrict government to the job of protecting private property and enforcing contracts and to limit political debate to minor issues." (The real matters or resource production and distribution and social organization should be determined by market forces).
Kami putra dan putri Indonesia, masih mengaku berbangsa satu, masih bangsa Indonesia. (28 Oktober 2010)