Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Nelayan dan Konferensi Nasional VII dalam Sebuah Romantika Bahari

6 Agustus 2010   10:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:16 145 0
Cara pandang geopolitik yang menyatakan bahwa Indonesia merupakan sebuah negara yang terdiri dari daratan dengan dikelilingi oleh lautan sudah harus diubah. Indonesia adalah negara lautan yang ditaburi pulau-pulau. Demikianlah perspektif geopolitik negara bahari yang mengemuka dalam Konferensi Nasional VII Pengelolaan Sumberdaya Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Konferensi tersebut diselenggarakan pada tanggal 4-6 Agustus 2010 di Ambon Propinsi Maluku. Dalam perspektif sebagaimana disebut di atas, pendapat Prof. Jimly Asshiddiqie [yang berbicara sebagai salah satu pembicara kunci dalam konferensi tersebut] tentang otonomi khusus berbasis ekologi berbentuk propinsi kepulauan atau kabupaten kepulauan menjadi sangat relevan. Dalam perspektif geopolitik negara bahari itu pula, penataan ruang laut, termasuk pesisir dan pulau-pulau kecil akan semakin jelas arahnya dalam mengkontribusi konsep Indonesia sebagai negara kepulauan sekaligus diharapkan mampu memperjelas pola pembangunan masyarakat pesisir. Pada tahun 1960, Indonesia ''memproklamirkan'' hak bangsa atas sumberdaya agraria melalui Pasal 1 Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau lebih dikenal dengan UUPA. Hak bangsa atas sumberdaya agraria tersebut melengkapi Proklamasi 17 Agustus 1945 sekaligus merupakan hukum geopolitik Indonesia atas seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia. Konsep Pasal 1 UUPA ini mencakup juga ''ruang angkasa'', sehingga dapat dikatakan bahwa isinya lebih luas dari Pasal 33 UUD 1945. Namun hingga menjelang peringatan 65 tahun Indonesia merdeka ini, Konsep hak bangsa atas sumberdaya agraria seolah terkubur. Konsep negara bahari yang melengkapi kepada konsep hak bangsa atas laut masih merupakan sejenis romantika yang menyuguhkan sebuah kontras dan paradoks antara kekayaan sumberdaya laut yang melimpah ruah dengan kemiskinan nelayan. Kekayaan laut, sebagaimana halnya kekayaan sumberdaya alam lainnya semisal bahan mineral dan tambang seolah tidak mempunyai hubungan nyata dengan kesejahteraan masyarakat yang berada di dekatnya. Siaran televisi yang memanfaatkan hak bangsa atas ''ruang angkasa'' pun malah ''meracuni'' publik dengan tontonan berkelamin ganda; campuran antara gosip dan fakta seperti yang sedang heboh belakangan ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengelolaan sumberdaya alam sangat memerlukan modal yang besar, sumberdaya manusia yang terampil, payung hukum yang jelas dan regulasi yang berpihak kepada bangsa. Pengelolaan sumberdaya alam semestinya menggunakan paradigma ganda, yaitu state based paradigm dan human based paradigm, sehingga negara dalam mengelola kekayaan alam Indonesia benar-benar mewujudkan kemakmuran bagi sebesar-besarnya rakyat Indonesia. Kita berharap, suatu saat romantika bahari benar-benar menjadi kenyataan seperti yang dilakukan oleh para pelaut dari Australia yang ikut dalam event Sail Banda 2010.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun