"Kakak... tolonglah aku," kudengar samar-samar suara Puni dari arah sungai. Kutajamkan pendengaranku, namun desah riuh gesekan dedaunan rumpun bambu yang masuk ke gendang telingaku. Segera kulanjutkan pekerjaanku memilah ubi jalar yang baru di panen. Tiba-tiba aku kembali mendengar suara Puni dari arah yang sama. Rasa takut luar biasa melanda hatiku, membuatku segera berlari menuju ke arah sungai yang berada di samping rumah. Aliran air menggelegak, terlihat berwarna coklat seperti cappuccino, pertanda adanya material tanah terikut dari hulu. Mataku liar mencari keberadaan Puni, dimana dia gerangan. Aku turun ke tepian sungai berbatu. Kupanggil namanya berkali-kali namun tidak ada jawaban. Dimanakah dia bersembunyi, namun tak kulihat sosok adikku itu. Kembali aku mendengar sayup-sayup suara Puni memanggilku.
KEMBALI KE ARTIKEL