Keterlibatan Kepala Sekolah dan guru secara langsung dalam pencurian soal UN, mencoreng dunia pendidikan di Indonesia, hal ini menunjukkan kepada kita bahwa praktik curang, dan kebohongan berkelindan dengan proses belajar mengajar. Hendaknya kasus yang nyaris terjadi setiap tahun itu tidak dideponir, melainkan diusut secara tuntas hingga membuat jera pelakunya.
Sekolah yang seharusnya menjadi institusi penegak dan pelestari kejujuran menjadi tempat persemaian virus kebohongan. Jika siswa tumbuh di lingkungan tidak jujur karena baik guru, kepala sekolah, bahkan orang tua justru membiarkan atau menutup mata jika terjadi kecurangan, maka dapat dipastikan kelak pendidikan hanya mampu menghasilkan manusia korup.
Hasil penelitian oleh Pusat Psikologi Terapan Universitas Pendidikan (UPI) selama tahun 2004 sampai dengan 2013 memunculkan data yang cukup mengejutkan, sebanyak 75% responden mengatakan bahwa pernah menyaksikan kecurangan dalam UN. Bahkan pernah terlibat, umumnya menyontek secara massal jawaban diberikan melalui tim sukses, seperti guru, sekolah dan pengawas.
Tim sukses yang selama ini menjadi sasaran tembak publik sesungguhnya merupakan korban elit politik yang mengejar popularitas diri. Mereka tidak berdaya menghadapi tekanan yang secara eksplisit dan sistematis dalam wujud target kelulusan, inilah esensi persoalan yang membuat carut marutnya UN.
Maka, mengharapkan UN dapat terlaksana dengan jujur merupakan sesuatu yang absurd. Apalagi jika dikaitkan dengan pembentukan akhlak mulia, budi pekerti luhur, dan karakter bangsa yang tangguh sebagaimana tujuan pendidikan nasional, kelihatannya sudah tidak relevan.
Apalagi pada diri siswa belum memiliki kesadaran dan sportivitas, bahwa ia belum menguasai matematika dengan baik, lalu ia lulus dengan angka tinggi, sesungguhnya ada pembelajaran secara tak langsung (hidden curriculum) pada anak bahwa dalam dunia pendidikan semua bisa diatur. Mungkin tak disadari, proses pendidikan seperti inilah yang akan menjauhkan anak dari kejujuran, kerja keras, dan kemandirian, serta merapuhkan sendi-sendi peradaban bangsa masa depan.
UN tidak hanya berdampak pada gagalnya pendidikan karakter, tetapi juga pada peningkatan mutu pendidikan. Penilaian Pearson pada 2014 bisa dijadikan salah satu indikator mutu pendidikan di Indonesia. Berdasarkan The Learning Curve terbaru Pearson yang menggambarkan indeks global kemampuan kognitif dan hasil pendidikan, posisi Indonesia tidak bergeser dari penilaian pada 2012, yakni menduduki posisi terakhir dari 40 negara. (Kompas, 13/5/2014) Bukankah pelaksanaan ujian semacam ini sudah berjalan sejak tahun 1985 berarti sudah tiga dekade, hasilnya hanya mampu menduduki peringkat terbagus di Asia mengenai korupsi.
Buruknya pencapaian pendidikan Indonesia sejalan dengan sejumlah penilaian Internasional lainnya. Penilaian Internasional salah satu perusahaan pendidikan dunia ternama itu juga mempertimbangkan hasil dari studi matematika, sains, dan membaca pada Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS), Trends in International Mathematics and Science Study (TIMMS), serta Programme for International student Assesment (PISA). Indonesia masih kalah dibandingkan dengan Meksiko yang menduduki peringkat (39), Brasil (38), serta Thailand (35). Sementara posisi lima besar diduduki Korea Selatan, Jepang, Singapura, Hongkong, dan Finlandia. Keberhasilan negara-negara Asia itu dinilai karena “budaya akuntabilitas” yang kuat. Guru, siswa, dan orangtua aktif berpartisipasi dalam pendidikan. Selain itu, masyarakat di negara-negara itu menghargai guru dan sekolah.
Rendahnya kemampuan anak-anak Indonesia menyelesaikan soal-soal yang diberikan dalam PISA terkait erat dengan pelaksanaan model pembelajaran kita di sekolah yang sangat dipengaruhi target-target pencapaian UN. Tersebab oleh UN, proses pembelajaran pun difokuskan pada kemampuan berpikir rutin, suatu kemampuan berpikir tingkat rendah. Ini ditandai kecenderungan kuat pada peningkatan intensitas belajar mengajar lewat pembiasaan penyelesaian latihan-latihan soal UN, pembelajaran didasarkan pada prinsip bahwa satu pertanyaan punya satu jawaban yang benar. Padahal berbagai terobosan dalam kehidupan ini muncul dari jawaban yang benar-benar baru, yang lahir dari pertentangan atas status quo, bukan dari penerimanya.
Seharusnya, pelajaran tentang cara berpikir mendapatkan prioritas tertinggi di setiap sekolah. Jika tidak, seperti dikatakan Neil Postman, pendidik Amerika dalan Teaching As A Subversive Activity, anak-anak mungkin akan "memasuki sekolah sebagai tanda tanya, tetapi meninggalkannya sebagai titik"
Mengingat keberadaan UN yang tidak membawa manfaat bagi peningkatan mutu pendidikan dan pengembangan potensi diri siswa, sebaiknya pemerintah menghentikan UN. Perlu dipikirkan bagaimana mempersiapkan masa depan generasi emas secara baik. Pertama, menciptakan suasana ujian yang kondusif, menyenangkan, dan tidak menakutkan. Selama ini ujian dianggap sebagai sesuatu yang sakral, dengan melibatkan petugas keamanan, sehingga suasana ujian menjadi tegang. Sakralisasi ujian semacam itu hanya melahirkan kecemasan pada diri siswa dan guru, tekanan berlebihan yang dirasakan guru dan siswa pada akhirnya memunculkan kecurangan.
Kedua, memberikan hak otonomi kepada sekolah untuk: (1) menentukan jadwal ujian; (2) menentukan jumlah mata pelajaran yang diujikan; (3) dan menentukan kelulusan. Dengan demikian sekolah dapat menjalankan fungsinya sebagai agen perubahan tanpa harus menunggu petunjuk dari pemerintah, sekolah bisa lebih leluasa mengembangkan diri sesuai dengan visi dan misinya.
Ketiga, membebaskan pendidikan dari cengkeraman elit politik (politisasi). Selama ini UN telah menjadi komoditas politik para birokrat, demi popularitas, dan pencitraan diri mereka. Politisasi pendidikan inilah yang menjadi punjer permasalahan, maka penanganan kecurangan UN sebaiknya tidak berhenti pada persoalan teknis, tetapi harus mampu menjamah birokrat. Mudah-mudahan Polda Jawa Timur berhasil mengusut tuntas praktik curang UN, sehingga menjadi preseden bagi daerah lain dalam menangani kasus serupa.