Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Siswa Gigih, Ulet, dan Jujur Harus Mendapatkan Penghargaan

2 Juli 2014   04:23 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:53 29 0
Kebanyakan orang menyerah ketika mereka nyaris meraih kesuksesan. Mereka berhenti satu meter dari garis finis. Mereka menyerah di detik-detik terakhir permainan, satu langkah dari gol kemenangan (H. Ross Perot, mantan kandidat presiden AS).

Kalimat tersebut merupakan potret masyarakat saat ini, bahkan juga dalam dunia pendidikan kita. Murid-murid mudah menyerah ketika menghadapi persoalan, pendidikan cenderung  memanjakan siswa. Murid tidak pernah dihadapan pada hal-hal yang menantang, manakala ada permasalahan, dengan mudahnya diserahkan kepada orangtua siswa dan bahkan diserahkan kepada guru. Mengapa?

Karena sekolah tidak pernah memberi penghargaan kepada siswa yang gigih, ulet, jujur, meski secara akademik kurang berprestasi. Sekolah lebih memberikan penghargaan  kepada murid yang berprestasi di bidang akademik. Setiap tahun sekolah memberikan penghargaan kepada murid yang nilai Ujian Nasional (UN) tertinggi, nilai rapornya tertinggi, hadiah juga diberikan kepada mereka yang mengikuti lomba karya ilmiah, sementara murid yang gigih, ulet, dan jujur tidak pernah diperhatikan.

Kebanggaan terhadap prestasi menjadi motivasi bagi siswa untuk berlomba-lomba mendapatkan nilai tertinggi meski itu semu, tidak sedikit dari mereka justru tidak peduli dengan proses, yang penting mendapat nilai tinggi meski dengan menyontek, mencari bocoran soal atau cara-cara lain yang tidak terpuji.

Seharusnya sekolah tidak hanya menghargai siswa yang berprestasi di bidang akademik saja, tetapi juga siswa yang gigih. Mereka yang dapat bertahan hidup, yang mampu meningkatkan kualitas hidup, dan mereka yang memiliki daya juang tinggi harus dihargai. Sebagai contoh anak-anak dari keluarga yang kurang mampu, ditengah-tengah kesibukannya membatu orang tua, namun masih memiliki keinginan belajar yang tinggi, meski nilainya pas-pasan harus mendapatkan penghargaan. Jika itu dilakukan, maka setiap anak memiliki peluang yang sama untuk berprestasi.

Berikut ini, akan saya bagikan pengalaman Debbie Macomber yang menjadi penulis sukses berkat kegigihannya.

Ketika Debbie Macomber memutuskan untuk mengejar impiannya menjadi penulis, ia menyewa mesin ketik, meletakkannya di meja dapur, dan mulai mengetik setiap pagi setelah anak-anak pergi ke sekolah. Ketika anak-anak pulang, ia memindahkan mesin ketik itu dan menyiapkan makan malam. Ketika mereka tidur, ia kembali meletakkannya di meja dapur dan mengetik lagi. Selama 2,5 tahun, Debbie menjalani rutin itu. Sang ibu super berusaha keras menjadi seorang penulis, dan ia menyukai setiap detik perjalanannya.

Tapi suatu malam, suaminya Wayne mengajaknya duduk dan berkata: “Sayang, maafkan aku, tapi kamu tidak menghasilkan uang. Kita tidak bisa terus melakukannya. Kita bisa bertahan hidup hanya dari penghasilanku”

Malam itu, dengan perasaan sedih dan otak terlalu sibuk berfikir untuk tidur, ia melamun menatap langit-langit kamar mereka yang gelap. Debbie tahu dengan semua tanggung jawab mengurus rumah dan membawa 4 anak latihan olahraga, dan latihan pramuka bahwa bekerja 40 jam per minggu takkan menyisakannya waktu untuk menulis.

Merasakan keputusannya, suaminya bangun dan bertanya, “Ada apa?” Menurutku, aku bisa berhasil jadi penulis. Aku benar-benar yakin. Wayne lama terdiam, lalu duduk, menyalakan lampu, dan berkata, “Baiklah, Sayang, lakukanlah.”

Karena itu, Debbie kembali ke impian dan mesin ketiknya di meja dapur, mengetik halaman demi halaman selama 2,5 tahun lagi. Keluarganya tidak bisa berlibur, harus berhemat, dan mengenakan baju pemberian orang.

Tapi pengorbanan dan kegigihan itu akhirnya terbayar. Setelah 5 tahun berjuang, Debbie menjual buku pertamanya. Lalu satu lagi. Dan satu lagi. Sampai akhirnya, sekarang, Debbie sudah menerbitkan lebih dari 100 buku, yang banyak di antaranya terjual untuk dijadikan film. Lebih dari 60 juta eksemplar bukunya dicetak, dan ia punya jutaan penggemar setia.

Dan Wayne? Semua pengorbanannya untuk mendukung istrinya terbayar lunas. Ia bisa pensiun di usia 50 dan sekarang menghabiskan waktunya dengan membuat pesawat terbang di ruang bawah tanah istana mereka yang berukuran 650 meter persegi.

Anak-anak Debbie mendapat bingkisan yang jauh lebih penting daripada beberapa perkemahan musim panas. Sebagai orang dewasa, mereka menyadari bahwa yang diberikan Debbie kepada mereka jauh lebih penting izin dan dorongan untuk mengejar impian mereka sendiri.

Sekarang, Debbie masih punya impian yang ingin dipenuhinya seri televisi berdasarkan buku-bukunya, Emmy Award, peringkat pertama buku terlaris di Nnew York Times.

Untuk mencapainya, ia punya tugas rutin: Ia bangun setiap pagi pukul 4.30, membaca, menulis dalam jurnalnya. Pukul 6.00, ia berenang di kolamnya. Ia menulis antara pukul 10 pagi sampai 4 sore, menghasilkan 3 buku baru setiap tahun.

Dengan disiplin dan kegigihan. Apa yang bisa Anda capai jika anda mengikuti kata hati Anda, menerapkan disiplin harian sekeras itu, dan tidak pernah menyerah? Silahkan mencoba!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun