[caption id="attachment_174574" align="alignleft" width="210" caption="Dok. Petrus Purnama"][/caption]
Hari ini adalah suatu hari yang sangat menggugah hati bagi saya dan beberapa teman saya. Kami dalam komunitas kecil keluarga Kristiani, beranjangsana pada komunitas orang jalanan. Komunitas kaum urban yang sering dicap menjadi penyakit masyarakat, kaum yang sering dikejar-kejar para Trantib karena dianggap merusak keindahan kota. Kelompok ini terdiri dari orang-orang yang bekerja sebagai pemulung sampah, pekerja jasa sol sepatu, membuka warung makan kecil , bahkan pengemis. Ada yang sudah menetap , memiliki rumah di sekitar sungai code, ada yang masih menginap di hotel jalanan beratapkan langit. Berbalut baju kumal mereka, memang kontras dengan apa yang kami pakai. [caption id="attachment_174578" align="alignright" width="240" caption="Dok. Petrus Purnama"][/caption] Sebut saja
Bapak Andreas, dengan kondisi tubuh yang terkena stroke, sehingga sebagian tubuhnya, tanggan kiri dan kaki kirinya sudah tidak bisa digerakan. Beliau hanya bisa mengandalkan belas kasihan orang-orang dengan mengemis, bukan karena malas tetapi karena keterbatasan fisiknya. Guratan wajah tua dan sayu terekam sangat kuat diwajahnya, melukiskan betapa sangat berat kehidupan yang dijalani, dan hari-hari akhir dimasa tuanya. Sepertinya tidak ada harapan yang terpancar diwajahnya, hanya pasrah pada kehidupan yang sudah diberikan padanya. Hari ini Bapak ini bisa sedikit menyungingkan senyumnya bercanda dengan kami, bahkan melontarkan ejekan kecil pada salah satu rekan yang datang bersama saya. Apa yang diharapkan oleh komunitas ini adalah perasaan yang membuat mereka merasa sebagai manusia bukan sebagai sampah masyarakat. Suatu dorongan semangat untuk membuat mereka bisa berjuang memperbaiki kondisi mereka lebih baik lagi, bukan sekedar sedekah saja. Mereka juga merasakan rasa yang nyaman ketika kami yang datang bisa
berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Bertatap muka dan bercengkrama dengan hati yang tulus, bukan wajah rasa jijik kita atau perasaan yang lebih tinggi dari mereka. Mereka hanya ingin di
"Uwongke" dalam bahasa jawanya. [caption id="attachment_174580" align="alignleft" width="240" caption="Dok. Petrus Purnama"][/caption] Rekan saya
Bapak Danang Avianto, yang seorang motivator, membagikan ilmu yang dipunyainya, berbagi bukan kepada para bisnisman yang biasanya dia latihi dalam training-training yang diadakan oleh beberapa perusahaan. Tetapi membagi pada kaum yang dianggap sampah oleh sebagian kita (mungkin juga kita sendiri). Memberikan motivasi kepada mereka untuk memiliki
"impian", yang sepertinya mereka tidak berani untuk membayangkannya. Dengan
impian, apabila dengan
yakin dipercayai, akan berubah
menjadi suatu doa yang luar biasa, yang memacu mereka untuk dapat
mencapainya. Ilustrasi yang
Pak Danang sampaikan menggugah mereka, bahkan ada sebagian dari mereka yang terhanyut, dengan mata berkaca-kaca, ternyata masih ada impian yang boleh mereka punyai, bila dibuahi menghasilkan suatu harapan, untuk bisa melangkah untuk memperbaiki kondisi lebih baik lagi. Saya yakin akan tumbuh beberapa orang sukses diantara mereka, sukses dalam pengertian mereka bisa melangkah lebih kiat lagi berusaha untuk mejadikan diri mereka lebih baik dari sekarang. Mencapai impian setinggi mungkin yang bisa dicapai. Hari ini bukan sekedar
simpati yang kita berikan tetapi kami belajar bagaimana
berempati dengan mereka, merasakan secara 4 dimensi,
karena kita bisa melihat,
bisa mendegar,
bisa mencium/membaui dan
bahkan bisa merasakan, masuk dalam kehidupan kaum marjinal ini. Merasakan
indahnya berbagi, walau hanya membawakan sekedar nasi bungkus untuk sarapan pagi mereka (atau makanan yang mungkin bisa dimakan hari itu? ) Sangat nikmat rasanya melihat wajah-wajah gembira , walau sesaat, saat mereka menerima kedatangan kami.
Apakah kita hanya bisa bersimpati ? atau mau mencoba menggugah rasa Empati kita? Salam Kompasiana.
KEMBALI KE ARTIKEL