23 Mei 2018 14:43Diperbarui: 23 Mei 2018 14:554330
Pada sekitar tahun 2005 waktu tahun-tahun awal masuk kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta (ketika itu masih STSI Surakarta), pertama kali saya mengenal Enthus Susmono. Saat itu saya melihat sebuah pameran wayang kulit di Pendopo Ageng perguruan tinggi seni kebanggaan masyarakat Solo itu. Ada yang agak berbeda dalam pameran wayang pada saat itu karena saya menjumpai bentuk wayang yang sejauh pengetahuan saya saat itu, sangat tidak lazim dibandingkan wujud atau sungging wayang pada umumnya. Sebagian besar wayang yang dipamerkan sekilas memang seperti wayang yang biasa saya jumpai sebelumnya tapi pada bagian wajah wayang itu memperlihatkan bentuk realis wajah manusia. Tidak seperti umumnya wujud wayang yang sepenuhnya bersifat dekonstruktif yang konon untuk menghindari resistensi dari kelompok tertentu penganut agama yang melarang pembuatan dan penciptaan bentuk seni rupa yang menyerupai makhluk hidup.
Jixie mencari berita yang dekat dengan preferensi dan pilihan Anda. Kumpulan berita tersebut disajikan sebagai berita pilihan yang lebih sesuai dengan minat Anda.