Berdasarkan penelusuran National Geographic Indonesia, gaya bahasa Jaksel ini sebenarnya penggunaan bahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa Inggris. Tidak heran bila kemudian banyak orang menyebut gaya ini sebagai bahasa gado
situs Spredfast mencatat ada lebih dari 52.000 cuitan mengenai "anak Jaksel" ataupun cuitan dengan tagar #anakjaksel di Twitter dalam 2 minggu pertama di bulan September.
Menurut Bernadette Kushartanti, pakar linguistik Universitas Indonesia, fenomena bahasa ini merupakan sebuah risiko dari adanya kontak bahasa.
"Hal ini tidak bisa dihindari karena memang ada interaksi setiap bahasa. Ada bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Korea, bahasa gaul, dan macam-macam bahasa lain yang membuat perkembangan bahasa seperti ini tidak bisa dihindari," ungkap Bernadette , seperti dikutip dari BBC News Indonesia pada Jumat (21/9/2018)
Lebih lanjut, Bernadette menambahkan bahwa hal ini bukannya sebuah ancaman yang mengkhawatirkan.
"Di satu sisi kita membutuhkan cara untuk tetap mengungkapkan bahasa dengan benar, tapi di sisi lain, bahasa juga punya fungsi. Kalau terlalu formal maka pada situasi tertentu kita akan menjadi terasing," tambah Bernadette.
Menyikapi fenomena bahasa ini, maka seorang guru juga memiliki tugas dalam menjelaskan bahwa anak muda perlu memiliki kemampuan membedakan konteks pemakaian konteks bahasa. Ada situasi ketika seseorang harus menggunakan bahasa yang baku, dan ada situasi ketika seseorang bisa menggunakan bahasa "gado-gado".
"Pendidikan tentang bahasa juga harus membicarakan soal kesantunan, cara menyampaikan pendapat, yang runut dan sebagainya. Itu adalah tugas pendidik untuk mengarahkan agar anak-anak muda tetap punya pengetahuan bahasa dengan struktur yang rapi. Dalam keadaan informal kalau terlalu formal aneh juga kan. kita pakai bahasa gaul biar akrab, bahasa ini sebetulnya yang mengkrabkan kita," ucap pakar bergelar Doktor tersebut.
Menurut Bernadette, memang ada kekhawatiran jika bahasa daerah akan tidak lagi digunakan, namun hal tersebut tergantung dari daerah tempat bahasa daerah tersebut berada. Bahasa asing dinilai tidak menjadi faktor ancaman pada bahasa daerah karena ketika bahasa Indonesia muncul, bahasa daerah juga sudah mulai ditinggalkan.
Selama bahasa daerah masih ada sumber tertulis, cara bertutur, dan ada kebanggaan terhadap bahasa daerah tersebut, maka bukan tidak mungkin bahasa daerah tersebut masih akan tetap dipertahankan.
Jaman dulu, kelas menengah memakai campuran bahasa indonesia dg bahasa Belanda utk mempertegas status sosialnya sbg orang terdidik dan luas pergaulan.
Skrg hal itu terjadi lagi seperti becandaan "anak Jaksel".Itu fenomena sosial pada kelas Menengah. Tujuannya pun sama.
Ivan Lanin, seorang pakar bahasa dan penulis buku "Xenoglosofilia, Kenapa Harus Nginggris?", mengatakan bahwa pencampuran bahasa ini dilakukan sebagai usaha untuk menunjukkan tingkat intelektualitas yang lebih tinggi.
"Kecenderungan menyukai sesuatu yang asing bukan hanya terjadi di bahasa tapi di segala hal lain. Dengan bicara dicampur, mereka berusaha menunjukkan tingkat intelektualitas yang lebih tinggi. Sejak zaman penjajahan Belanda pun bahkan pendiri negara juga bicara bahasa campuran, tapi yang dicampur bahasa Belanda dan bahasa daerah," ucap Ivan Lanin.
Orang yang menjadi "panutan bahasa" di media sosial ini pun mengatakan bahwa ia setuju dengan pendapat Bernadette, jika pencampuran bahasa Indonesia dengan bahasa asing belum memasuki tahap yang mengkhawatirkan jika masih dipakai dalam percakapan sehari-hari.
"Kecuali jika mereka mulai memakainya dalam situasi yang formal baru boleh mulai khawatir," ungkap Ivan Lanin lebih lanjut.
Seorang warga Jakarta yang lahir dan besar di Jakarta Selatan, Jerome Wirawan menjelaskan bahwa kebiasaan berbicara bahasa yang dicampur dengan bahasa Inggris tidak ada saat dia masih sekolah pada tahun 1980-an. Bahasa Inggris mulai diajarkan pada sekolah menengah pertama dan bukan di sekolah dasar.
Selain itu, profil Jakarta Selatan sejak dulu memang sudah dikenal sebagai kawasan kelas menengah dan ketimpangan sosialnya yang lebih rendah dibandingkan dengan daerah Jakarta yang lain. Jakarta selatan juga justru bukan kawasan yang menjadi pusat ekonomi, melainkan kawasan yang konsumtif.