Mendapat informasi mengenai agenda itu sedangkan aku sudah mengagendakan kegiatanku jauh-jauh hari seolah tak ingin repot. Catat ya, bermula karena TAK INGIN REPOT. Aku pun mengamanahkan teman dekatku untuk berpura-pura menjadi aku dan menandatanganisurat bermaterai tersebut. Aku yang sedang berada di seberang pulau tentu tidak tahu menahu keadaan kampus. Yang aku tahu tanda tanganku tidak akan bermasalah dan tentu saja tidak akan membuat masalah bagi para penerima beasiswa lainnya. Karena biasanya ada keterlambatan satu orang saja maka seribu orang akan menunggunya. Yang jadi masalah tunggu-menunggu ini masalah UANG kuliah dan UANG hidup. Intinya masalah UANG sih yang akan selalu jadi akar permasalahan d segala bidang.
Singkat cerita saja ternyata karena kesalahpahaman maka rencana picikku tidak berhasil lancar. Karena ada dua temanku yang ternyata bersedia bertanda tangan untukku sehingga aku memiliki dua tanda tangan yang berbeda dan kedua-duanya bukan berasal dari tangan si empunya yaitu aku. Niat ini tercium. Mereka tentu saja berang dengan sikapku ini sampai akhirnya hampir saja beasiswa yang telah menghidupku selama berbulan-bulan di kampus yang katanya "Termahal" bangsa ini dicabut. Mendengar kabar itu hatiku kecut namun aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku merasa antara tak beruntung karena operasi kecil-kecilan ini gagal dan merasa berdosa juga. Semua lebur jadi satu yang menjadikan aku hanya diam termenung.
"Kamu sudah memalsukan data, memalsukan tanda tangan, membuat beasiswa terlambat," ujar Ketua LK. Sampai akhirnya aku diharuskan menuliskan surat pernyataan untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama dan apabila iya aku harus rela beasiswa ini dicabut.
"Adek kalau misal ada masalah bilang saja ke sini. Yang penting mah komunikasi. Kita mah nggak bakal ngelarang adek mau kemana juga. Kemarin ada yang ke Cisarua tapi mereka ngomong ke kita dulu," bapak di LK yang lain menasehati. Aku hanya menganggukan kepala bertanda iya. Dalam hati aku menyimpan sesal, malu, dan yang paling dalam adalah rasa bodoh tak terkira.
"Bukan apa-apa dek. Ini kan kampus pendidikan. Kita gak cuma mengurusi administrasi saja tapi juga mendidik perilaku mahasiswa. Salah satunya ya ini." lanjutnya.
JLEB.
Rasanya ada pahu godam yang memukul kesadaranku. Menuliskan satu demi satu kata membuat aku menyadari aku telah berbuat salah yang sangat tolol. Menulis satu per satu kata si surat permohonan maaf itu membuat aku menuliskan daftar panjang hal yang paling memalukan dari diriku. Seakan baru sadar dari sisa mabuk aku terbangun dan merasa menyesal dari hati paling dalam. Air mataku meleleh namun ku tahan.
--
Esoknya tak sengaja aku melihat tayangan di Youtube yang menayangkan tentang video rekaman seorang polisi yang tertangkap sedang menilang seorang bule yang tidak mengenakan helm. Alih-alih menilang dengan alasan hukum ia malah mengantongi sejumlah uang dari pekerjaan tersebut. Bahkan ia mengajak sang bule untuk minum bir di pos saat sang polisi sedang bertugas. Naasnya bule tadi adalah seorang jurnalis Rusia yang sedang melakukan liputan mengenai acaranya. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat di video ini
Tindakan sang polisi tadi adalah suatu hal biasa di tengah masyarakat Indonesia. Orang ditilang lalu membayar uang kompensasi yang ujung-ujungnya bukan ke kas negara malah bisa jadi masuk ke perut buncit petugas. Kongkalikong sudah tertutup dengan label keramah tamahan. Bagi kita inilah yang kita nilai dari perilaku kita. Suatu bal yang BIASA terjadi dan tidak terlalu menggoyah zona nyaman kita.
Namun tidak begitu adanya wartawan Rusia tersebut, hal yang salah dan "dibenarkan" oleh kita ini ternyata aib yang sudah terlanjut tersebar ke dunia. Pada titik inilah semua pihak merasa bahwa korupsi ini sudah menggoyah sampai ke akar rumput. Ketika ada pertanyaan "Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang?" bisa jadi jawaban suap yang diberikan karena kini rumput pun sudah tersebar virus yang namanya korup.
Masalahnya mari kita kaitkan dengan kasus yang menerima saya sendiri. Jika diklarifikasikan saya sendiri telah melakukan kasus korupsi walaupun kecil-kecilan. Saya telah melakukan kesalahan di depan harga yang dinamakan materai dimana disana garuda pancasila bertengger sebagai simbol negara kita. Hal ini sepele dan kadang biasa oleh beberapa dari kita namun inilah bibit-bibit dari korupsi timbul. Suatu keadaaan yang namanya BIASANYA. Telah mendistorsikan antara kesalahan dan kebenaran dengan kebiasaan yang timbul di masyarakat. Mari kita sebut dengan budaya.
Sesal saya bertambah besar seketika. Namun mengingat kata-kata yang LK berikan bahwa tugas institusi pendidikan adalah memberi pendidikan moral kepada stake holdernya saya merasa ada harapan. Semoga semua institusi menjalankan tugas ini dengan baik agar orang-orang seperti saya yang pernah gelap dapat tercerahkan dan tidak lagi melakukan kesalahan yang sama.
Saya bersyukur ketika akan melakukan kesalahan yang berlabel korupsi Tuhan tidak merelakannya dan menyadarkan saya ke jalan yang benar melalui peringatan yang LK berikan. Saya harap video polisi tadi juga bisa memberikan cerminan perilaku budaya kita ke masyarakat luas agar mereka terhenyak untuk akhirnya sadar.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ada pada celah-celah yang kita tak pernah sadari.
Seringkali ia mengakar karena sudah budaya.
Semoga tulisan ini dapat memberikan tamparan sebentar,
Semangat Menginspirasi ! :)