Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan

Islam, Pancasila, dan NKRI (Dalam Prespektif Keutuhan Bangsa)

6 Juni 2020   01:57 Diperbarui: 9 Juni 2020   05:47 895 1

             Beragama adalah pilihan individual yang bersifat fitri yang merupakan hak privasi setiap individu yang total dan utuh. Dalam perspektif ini, maka pluralitas agama harus pula diakui keberadaannya secara utuh pula. Perbedaan agama bukanlah ancaman bagi “disintegrasi nasional”, karena tidak ada agama yang menghendaki perpecahan. Tetapi agama dapat berfungsi sebagai pemicu perpecahan nasional ketika agama diposisikan sebagai alat politik (as a tool of political engeneering) untuk merumuskan kepentingan pribadi dan golongan dalam konteks struggle for power. Secara sosiologis  masyarakat Indonesia memiliki komitmen keberagamaan yang tinggi. Agama diyakini sebagai suatu otonomi pribadi yang paling asasi, namun memiliki implikasi sosial yang sangat kompleks dan sensitif. Keberagamaan yang diyakini individu menuntut untuk ditegakkan dan dihormati dalam tata pergaulan sosial dalam suasana keberagaman yang pluralistik. Keterbukaan visi dan persepsi tentang konsekuensi pluralisme agama menjadi penting untuk pengembangan wawasan keagamaan dan kebangsaan. Pluralisme agama sebagai  salah satu aspek kemajemukan yang dimiliki bangsa merupakan faktor yang strategis yang harus dikelola secara arif agar tidak menggoyahkan kebersamaan dalam kedamaian.

             Selanjutnya, realitas menunjukkan bahwa  banyak di antara kita yang belum menyadari bahwa tatanan masyarakat Madinah yang didirikan oleh Muhammad SAW adalah identik dengan negara dengan kewargaan yang majemuk secara suku dan keyakinan. Mereka terdiri dari suku-suku Arab Islam baik dari Makah, Madinah, dan suku-suku dari wilayah luar keduanya. Masyarakat Madinah juga terdiri dari berbagai suku dan keyakinan, seperti Yahudi, Nasrani, Majusi, bahkan mereka yang masih musyrik. Sebagai landasan negara baru tersebut Rasulullah SAW memproklamasikan suatu “Konstitusi Dasar” yang kemudian lebih dikenal dengan nama “Mitsaq Madinah”  (Piagam Madinah). Dengan Piagam Madinah yang terdiri dari 47 pasal itu, Nabi SAW telah meletakkan sendi-sendi kehidupan nation-state masyarakat majemuk secara etnis dan agama, yang intinya sebagai berikut :

1. Pertama, semua pemeluk Islam walaupun berasal dari banyak suku, baik pendatang maupun penduduk asli Madinah merupakan suatu komunitas (ukhuwwah Islamiyah). 

2. Kedua, hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara anggota komunitas Islam dengan komunitas lainnya didasarkan atas, (a). bertetangga baik, (b) saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, (c) membela mereka yang teraniaya, (d) saling menasehati dan konsultasi, dan (e) menghormati kebebasan beragama.

            Pada dasarnya, lima prinsip tersebut dengan jelas mengisyaratkan persamaan “hak dan kewajiban” sesama warga negara tanpa diskriminasi yang didasarkan atas suku dan agama dan pemupukan semangat persahabatan serta saling berkonsultasi dalam penyeleseian masalah bersama, serta saling membantu dalam menghadapi tantangan bersama yang bisa disebut ukhuwah wathaniyah. Mendasarkan piagam tersebut, mayoritas ulama dengan tegas mendeklarasikan bahwa “NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah upaya final” bagi umat Islam untuk mendirikan sebuah negara. Dengan demikian dipahami bahwa dalam pandangan Islam, bangsa (nation) tidak dibangun berdasarkan agama (based on religion), tetapi dibangun atas nama pluralitas (al-ummah), rasa persaudaraan (al-qaumiyah), solidaritas dalam keragaman (al-syu’ubiyah), kesederajatan (al-musawah), dan cinta tanah air (al-wathaniyah). Karenanya, nasionalisme merupakan formalisasi dari kesadaran warganya yang secara empirik membutuhkan kongruensi dengan negara (state)  sebagai wadahnya yang obyektif dan bersifat politis. Baik bunyi maupun ruh Piagam Madinah itu dijiwai oleh wahyu Tuhan tentang hakikat  dari risalah Islam yang diterima oleh Rasul SAW selama beliau masih berada di Makkah dan pada tahun-tahun pertama dari periode Madinah, yaitu bahwa tidak ada paksaan untuk menganut suatu agama (QS al-Baqarah 256); bahwa Islam mengakui pluralitas agama (QS al-Kafirun 1-6); larangan bagi Rasul Allah untuk memaksa orang menerima Islam (QS Yunus 99); anjuran kepada umat Islam untuk mengajak umat Ahli Kitab kembali kepada kespakatan untuk tidak menyembah selain kepadaNya (QS Ali Imron 64); tidak ada larangan bagi umat Islam untuk berbuat baik, berlaku adil dan saling tolong-menolong dengan non muslim yang tidak memerangi umat Islam atau mengusir mereka dari kampung halamannya (al-Mumtahanah 8-9).

           Secara komparatif, sikap beliau tersebut jauh mendahului konsep HAM saat ini, misalnya pasal 18 dari Universal Declaration of Human Rights 1948 yang juga mengakui hak kebebasan beragama, termasuk kebebasan berganti agama, dan kebebasan untuk mengamalkan dan mengajarkan agama, baik secara individual maupun kolektif. Sementara itu dalam pasal 1 dari Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerances of Discrimination Based on the Religion and Belief 1981 antara lain dinyatakan bahwa kebebasan beragama, termasuk kebebasan pengamalan dan pengajaran agama hanya dapat dibatasi oleh undang-undang negara yang dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum, keamanan, kesehatan, dan hak asasi, serta kebebasan dari sesama warga negara lain. Indonesia, dengan wilayahnya yang luas dan jumlah penduduk yang besar serta kehadiran 6 agama dunia, dalam sejarahnya tidak pernah mengalami krisis besar yang disebabkan oleh masalah agama. Tetapi kita tidak boleh cepat puas, malah sebaliknya kita tetap harus waspada terhadap kemungkinan terjadinya perubahan pola kerukunan hidup antar umat beragama yang telah merupakan tradisi luhur para pendahulu bangsa ini.

           Lebih lanjut, kehidupan umat beragama di Indonesia pada dekade akhir-akhir ini mengisyaratkan “lampu kuning” bagi kita. Tampaknya, pasca reformasi yang tidak tuntas dan proses modernisasi atau globalisasi selain membawa dampak yang positif bagi kehidupan bangsa, juga telah menimbulkan dampak negatif bagi integrasi bangsa dan negara. Di beberapa kawasan di negeri ini telah terjadi gangguan terhadap kerukunan hidup antar umat beragama, yang tidak selalu disebabkan oleh masalah agama murni, melainkan oleh faktor-faktor politik dan ekonomi. Tetapi terlepas apakan penyebab gangguan itu masalah murni agama atau faktor-faktor lain, umat beragama harus segera dapat “mendisain ulang” dan menyegarkan kembali wawasan dialog yang lebih mencerdaskan. Problem hubungan antar agama bukan hanya merupakan tanggung jawab pemerintah, melainkan tanggung jawab kita bersama sebagai warga bangsa.

            Untuk kembali kepada kehidupan yang serasi antar umat beragama dari berbagai agama di Indonesia, kita harus memanfaatkan hak kebebasan beragama dengan penuh tanggung jawab.  Tegasnya, kita memanfaatkan kebebasan beragama sebatas tidak menyinggung atau merugikan golongan agama lain.  Bagi masyarakat majemuk secara agama seperti di Indonesia, “toleransi” adalah kata kunci bagi kerukunan dan dialog kehidupan beragama. Terdapat ungkapan “Freedom is not license”. Kebebasan bukan berarti seseorang bebas sama sekali untuk berbuat semaunya, seperti tercantum dalam pasal 1 dari Declaration of the Elimination of All Forms of Intolerances and Discrimination Based on Religion and Belief 1981.

            Dalam hal kebijakan pemerintah dapat mengambil langkah operasional melalui forum-forum lintas agama dan etnis (FLA) untuk mengsinergikan kebebasan beragama serta kebebasan mengamalkan ajaran agama dan berdakwah yang berdifat transformatif tanpa mengganggu eksistensi agama lain yang pada gilirannya akan membahayakan kehidupan bersama dalam kontek agama, nusa dan bangsa. Apalagi pada dasarnya risalah Tuhan adalah bingkai potret kehidupan umat manusia semesta, yang merupakan komitmen  terhadap penciptaan manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi atau khalifah (Qs. al-Baqarah 30). Secara terminologis khalifah berkedudukan mewakili posisi dan peran ke-Tuhan-an di muka bumi. Hal ini bermakna manusia dengan segala relatifitasnya selalu berupaya membenahi diri dengan kualitas yang ada padanya agar mengimplementasikan kemaslahatan  di muka bumi dalam konteks civil society.

            Terpilihnya manusia sebagai khalifah bertujuan untuk membentuk kebudayaan yang mulia, karena ia memiliki kemampuan intelektual dasar dalam berbudaya. Keberadaan manusia di tengah masyarakat dan lintasan sejarah ditandai oleh kemampuan intelektual, sikap kritis, kreatif serta inovatif untuk merancang lahirnya karya baru yang agung melalui kemampuan yang dimilikinya. Inilah terobosan cerdas dalam mengukir sejarah baru yang menjadi cermin hidup dan tolok ukur bagi generasi mendatang (QS 6 : 6-11), sekaligus merupakan instrumen bagi proses terciptanya keunggulan manusia dalam perspektif kompetisi kualitatif dari setiap individu (QS. 9 : 105). Manakala manusia melahirkan karya kemanusiaannya tanpa menimbulkan  destruktif sosial, perikaku itu menjawab semua  tuduhan dan kecemburuan malaikat kepada Allah, bahwa kehadirannya hanya akan menimbulkan “pertumpahan darah”. Jika manusia mampu mewujudkannya maka hal itu adalah kekayaan yang tak terhingga yang dimiliki oleh setiap manusia. Karenanya, merupakan keharusan bagi setiap individu  untuk mencerdaskan dirinya dalam lingkungan dan dimensi ruang dan waktu dimana ia berada.

            Berikut beberapa catatan yang bisa dijadikan pertimbangan bagi semua pemimpim agama dalam konteks keutuhan nation-state NKRI : 

1. Pertama, marilah kita perhatikan dawuh Nabi :”Siapa yang melawan dzimmi (non muslim yang tidak memusuhi Islam) sama dengan melawanku”. Karenanya, terbukti dalam sirah beliau bahwa Abu Thalib, paman Nabi sendiri yang mengasuhnya  sampai mati tetap tidak beragama Islam, sekalipun banyak membantu perjuanyan beliau. Kita renungkan pula   suatu  ungkapan dalam bahasa Arab : “al-Din li-Allah wa al-Wathan li al-Jami’” Agama untuk Allah sedangkan tanah air adalah milik kita semua.

2. Kedua, semua tokoh agama seharusnya selalu meningkatkan kualitas dialog; “death or dialogue”. Artinya, betapa pentingnya kita terus-menerus mndialogkan  perbedaan-perbedaan, baik antar individu, pemerintah, LSM, maupun diantara para politisi.

3. Ketiga, dengan masih adanya konflik sosial yang berlatar agama, maka setiap pemimpin agama membutuhkan redefinisi atas kehidupan keberagamaan bersama. Lebih dari itu juga membutuhkan reposisi dan renegosiasi atas cara kita memberi makna (meaning construction) pada prinsip-prinsip komunikasi dan interaksi antar agama. Dalam konteks ini yang dibutuhkan adalah pro-eksistensi, inklusi, dan interaksi positif antar pemimpin agama.

4. Keempat, problem besar dalam kehidupan beragama dewasa ini adalah bagaimana teologi dari suatu agama mendefinisikan dirinya ditengah-tengah agama-agama lain ( what should one think about religions other than one ‘own ? ). Berkaitan dengan semakin bertkembangnya pemahaman mengenai pluralsime agama, berkembanglah suatu paham teologia religionum. 

5. Kelima, Secara antropologis, konflik sosial yang berlatang belakang agama akan selalu muncul. Namun pada dasarnya manusia memiliki kemampuan untuk menghadapi perubahan dan goncangan. Goncangan menyebabkan erosi pada kebersamaan sebagai modal sosial. Dalam konteks social change ini sangat diperlukan percepatan proses penataan kembali - meminjam istilah Fukuyama - dari disordering menjadi reordering of the society. Dengan konsep tersebut kecemasan atau harapan yang berlebihan yang biasanya muncul dalam setiap proses perubahan dan transisi dapat dihindari.

6. Keenam, dalam perspektif nation-state, undang-undang atau peraturan tentang kerukunan umat beragama memang diperlukan sebagai regulasi. Namun, pada dasarnya agama adalah suatu bidang yang ditandai oleh kondisi unnegotiable atau wilayah the nonnegotiable dalam hal keyakinannya. Karenanya, kita memandang peraturan apaun tentang relasi antar agama lebih merupakan persyaratan yang perlu (necessary condition), tetapi belum merupakan persyaratan yang mencukupi (sufficient condition).

7. Ketujuh, kita memerlukan “desakralisasi” agama. Paradigma ini jangan dimaknai sebagai peminggiran agama, karena ia sudah tidak sakral lagi, melainkan secara substantif membuka kembali ruang kesadaran kita atas agama. Jangan-jangan agama yang selama ini kita anggap sakral, sesungguhnya adalah sebuah konstruk sosial dari interpretasi ajaran agama. Dalam perspektif ini, yang terjadi bukan agama yang sakral, melainkan interpretasi orang atas agama yang sakral. Kekhilafan ini memiliki implikasi yang cukup besar bagi hadirnya sejumlah claim-claim kebenaran agama, sebagaimana claim alasan  teologis dalam setiap konflik yang berdimensikan agama. Pemahaman inilah yang menkonstruk para pemimpin agama hanya sebagai  “makelar surga”.

            Demikianlah, last but not least, sikap yang arif bagi setiap pemeluk agama adalah tidak sekedar berhenti pada motto “the man behind the gun”, tetapi pada “the heart behind the man with the gun”.   

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun