Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Mengkritisi Dualisme Penentuan Hari Raya

29 Agustus 2011   11:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:23 93 0
Senja di hari tanggal 29 Agustus 2011, perdebatan datang dari berbagai pihak walau saat ini tidak terlalu kentara. Dua kutub yang sejak dulu sampai saat ini belum bisa dicarikan titik temu telah membelah perbedaan yang kentara. Satu pihak dengan hilal/rukyat (mata telanjang), pihak lain berpegang pada hisab (perhitungan) serta penggunaan teknologi. Perbedaan dalam pemahaman ini memang memiliki dalil dalil yang cukup bisa dipertanggungjawabkan, hanya permsalahannya dari sisi mana dalil-dalil itu dimaknai kontekstual oleh kedua aliran besar di Indonesia. Uniknya, hari ini ada juga yang sudah melaksanakan shalat Iedul Fitri tanpa ada sedikitpun permasalahan yang ada, atau bisa jadi ada yang lebaran hari Kamis sesuai dengan perhitungan mazhabnya.

Jadi permasalahan dari itu semua adalah bagaimana umat memegang kelegaan hari dan lebih memprioritaskan kepada solidaritas sosial dalam menghormati satu sama lain.

Di Indonesia, warga negara sudah sangat paham ketika belajar toleransi antar umat beragama. Sejauh ini bahkan cukup efektif dalam meredam perbedaan yang sering diistilahkan oleh negara dengan sebutan SARA. Simbol Bhinneka Tunggal Ika walau belum 100% menjadi solusi, ternyata cukup kuat merekat bingkai kebangsaan dan nasionalisme di Indonesia. Permasalahannya buat umat bisakah bingkai "UMMATAN WAHIDAN" (umat yang satu seperti anggota tubuh) bisa dimaknai dengan lebih cerdas dan tepat. Sebab secara objektif, pemahaman toleransi "inter" umat beragama masih menyisakan lubang yang lebar untuk dijembatani agar terwujud ukhuwah islamiyah yang kaffaah.

Detik-detik menjelang maghrib ini saya berdoa, "Semoga Allah memberikan kekuatan dan kepada kaum muslimin untuk menyatukan qalbu demi terwujudnya baldatun thayibatun wa rabbun ghafuur". Amin

Bandung, 29 Agustus 2011

17.43 WIB

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun