Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Gara-Gara Kalender, Rendang dan Opor jadi Basi

30 Agustus 2011   21:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:20 198 0
Hanya sekedar mengkritisi perbedaan lebaran tahun ini dengan tanpa bermaksud mempertanyakan perbedaan keputusan dari beberapa ORMAS karena jelas kapasitas saya sebagai pengamat televisi berbeda dengan kejumhuran mereka dalam memahami dalil-dalil. Hanya saja ada bebera hal yang menggelitik hati ketika melihat perbedaan ini terjadi, lebih mengejutkan munculnya beberapa hal tersebut dilatar belakangi para ulama yang cukup disegani. Hal pertama yang muncul dalam benak saya adalah betapa kurangnya para argumentator itu kemampuan berdiplomasinya, sehingga tidak ragu menyalahkan pihak lain bahkan mengabaikan dikarenakan ada kesenjangan status sosial.

Beberapa hal itu diantaranya: Pertama, adanya pernyataan yang cukup keras kepada dua orang yang melihat hilal di Kudus, Jepara, dan Cakung. Sayangnya ketiga orang yang melihat ini dianggap tidak ada karena Majelis Ulama Indonesia (MUI) menganggap mustahil bila dibandingkan dengan 69 tempat yang tidak melihat hilal. Buat saya ini ajaib, sekelas MUI berani memutus seseorang malahan tiga saksi divonis bohong? Bahkan Rasulullaah pernah bersabda, urusan hati adalah urusan dia dengan Allah sehingga Rasulullah hanya melihat apa yang dibicarakannya orang tersebut. Rasulullah pun selalu mendengarka para shabatnya yang memberi informasi untuk berpuasa atau berlebaran walau itu dari orang Baduy. Ini jelas kontroversi, karena MUI menganggap orang-orang yang melihat hilal itu tidak lazim dan mengada-ada. Ternyata masih saja kebenaran harus berlandaskan pada suara mayoritas. Atau karena orang yang melihat hilal itu bukan dari kelompoknya?

Ada lagi sisi seru dari kejadian itu yang saya baca dari beberapa blog dan web berita, kasus di Jepara. Para penglihat hilal sangat tidak percaya pada orang yang melihat hilal walau dia dosen Perguruan Tinggi Islam karena dianggap aneh bisa melihat hilal sendirian padahal yang lain pake teleskop tidak melihat. Sehingga kesaksiannya diabaikan. Ini memprihatinkan, apalagi salah satu tokoh ulama dari organisasi besar menyebutkan, bahwa orang yang melihat hilal itu bukan orang yang diberi SK oleh organisasinya yang kebetulan orang yang diberi SK itu disebutkan bergelar panjang sekali baik itu gelar agama maupun gelar perguruan tinggi. Sekali lagi batin ini menjerit, sekerdil inikah pemikiran para oknum tokoh ulama kita? Semoga Allah mengampuni kita semua dari kelalaian diri kita, saya jadi teringat kisah Ummi Maktum sahabat Rasul yang buta. Bahkan Rasul ditegur Allah dalam ayat Al-Quran atas tindakannya yang mengabaikan seseorang karena strata sosial dan kondisi fisiknya.

Kisah lain yang bikin prihatin adalah ketika seorang tokoh ormas mengatakan bahwa hiruk pikuk ini adalah gara-gara kalender. Whattttt? Tidak adakah argumentasi lain yang lebih ilmiah? Ini sangat mengejutkanku, jadi keriuhan di masyarakat disebabkan oleh para pembuat kalender? Ah ternyata dibalik kelapangan kajian ilmiah keagamaan di negeri ini ternyata masih saja ada yang berargumen dengan cara-cara yang nyinyir. Jadi yang salah dan bikin umat kecewa adalah para pejabat yang menentukan SKB cuti bersama? kalau iya, lalu dari mana landasan itu ditetapkan hehehe... pasti makin aneh dan tidak lagi rasional. Wallahu a'lam...

Uniknya, di masyarakat adem ayem aja... Malah muncul peribahasa baru, "Jangan gara-gara hilal setitik rusak opor sebelanga". Selamat berlebaran dan merayakan idul fitri walau di hari yang berbeda, Allah, Rasul, Qur'an kita satu. Jadi berpeganglah pada ukhuwah islamiyah. Amin...

Bandung, 31 Agustus 2011

3.41 wib (Waktu Indonesia bagian Bandung)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun