Rainwater Harvesting istilah yang sedang beken didengung-dengungkan oleh penggiat lingkungan hidup. Opo kuwi rainwater harvesting? Air hujan kok dipanen! Maksudnya adalah pemanfaatan air hujan untuk kebutuhan sehari-hari dengan cara menampungnya pada wadah tertentu.
Kita sering mendengar di daerah yang curah hujannya cukup tinggi namun selalu saja kekurangan air bersih terutama pada musim kemarau. Loh kok bisa? Ya bisa saja lah, gitu aja kok heran...! Mereka yang tinggal di situ kemungkinan air tanahnya kualitasnya jelek, meskipun banyak air tanah yang berasal dari hujan karena tanahnya mengandung gambut maka airnya keruh, kehitaman, ataupun masam. Bisa juga di daerah karst yang notabene daerah pegunungan kapur dimana air hujan langsung saja mbrobos ke dalam tanah menuju sungai-sungai bawah tanah yang akhirnya bermuara ke laut, sehingga masyarakat sekitar kesulitan akan sumber air bersih.
Kesulitan akan air bersih juga menjadi problem utama di kota-kota besar, terutama kota-kota yang terletak di pinggir pantai. Intrusi air laut yang semakin meluas ke daratan, menjadikan sumber air tawar yang bersih semakin susah didapat, ditambah lagi pencemaran oleh limbah rumah tangga maupun pabrik, lengkap sudah awal mula penderitaan anak cucu kita yang akan mewarisi lingkungan tempat kita tinggal pada masa mendatang.
Lalu apa solusinya dong? Sebenarnya solusi itu sudah ada sejak zaman bahuela, namun seringkali kearifan lokal itu dilupakan seiring perkembangan zaman yang ada. Menampung air hujan atau yang lebih elit disebut Rainwater Harvesting. Ya, panen air hujan! Indonesia dikaruniai Tuhan sebagai negeri tropis yang kaya sumber daya alam, termasuk iklimnya yang memungkinkan hujan terjadi sepanjang tahun (terutama untuk daerah-daerah sekitar khatulistiwa), kalaupun ada daerah yang tidak mendapatkan hujan sepanjang tahun seperti halnya Jawa dan Nusa Tenggara, curah hujan rata-rata tahunannya pun masih jauh lebih tinggi dibandingkan daerah-daerah subtropis.
Kesan yang menyebutkan bahwa air hujan itu kotor, banyak membawa penyakit, dan tidak baik untuk kesehatan ternyata 'sukses' merubah mindset masyarakat kita, yang pada zaman bahuela biasa menggunakan air hujan untuk kebutuhan sehari-hari beralih ke penggunaan air tanah. Namun, seiring semakin jeleknya kondisi air tanah saat ini, air hujan pun mulai dilirik kembali. Pemanfaatan air hujan dengan mengalirkan air hujan dari talang air di bagian atap menuju bak-bak penampungan mulai digiatkan kembali, terutama di daerah-daerah kaya curah hujan tapi air tanahnya jelek.
Kalau di kota-kota besar yang penuh kemacetan dan polusi udara, memang seringkali air hujan yang turun bercampur sulfur sisa pembakaran kendaraan bermotor ataupun asap cerobong pabrik menjadi hujan asam dan tidak bagus jika diminum manusia. Tapi meskipun bukan untuk konsumsi toh masih bisa digunakan untuk menyiram tanaman ataupun mengguyur toilet yang selama ini membutuhkan air dalam jumlah yang tidak sedikit.
Pengalamanku tinggal seminggu di Pontianak ternyata aku baru tahu kalau aku mandi dengan air hujan dari talang air yang disalurkan melalui pipa besar ke bak mandi. Ternyata Bapak Kosku seorang yang visioner, sudah menerapkan konsep Rainwater Harvesting bertahun-tahun lamanya sebelum konsep ini kembali populer akhir-akhir ini. Wow, ini contoh kearifan lokal yang tidak dilupakan dan efektif menjadi solusi di daerah sulit air bersih! Jadi meskipun di kosku tersedia air PDAM, air hujan yang melimpah dimanfaatkan dengan baik oleh Bapak Kos guna kebutuhan air untuk kegiatan MCK di kos-kosannya. Aku tidak mengalami masalah kulit apapun, gatal-gatal pun nggak, berarti terbukti aman dong air hujan ini....
Di Pontianak aku dengar cerita dari kawan-kawan kantor kalau air tanah di sini tidak bagus dan cepat membuat gigi keropos. Wah denger ceritanya aja bikin ngeri.... masak harus ompong sebelum waktunya, hiiiii...... Bapakku di kampung juga berpesan agar aku tidak minum air di tanah sini, karena buruk untuk gigi. Masih menurut teman kantor, di Pontianak kebutuhan akan air bersih merupakan suatu masalah serius, apalagi kalau musim kemarau terjadi intrusi air laut ke Sungai Kapuas yang notabene menjadi sumber air utama bagi warga Pontianak dan sekitarnya, termasuk menjadi bahan baku air PDAM sehingga pengolahannya menjadi air bersih pun semakin sulit dan mahal. Air tanah di sini pun kondisinya tidak lebih bagus dari air sungai Kapuas karena tanah di Pontianak yang sebagian besar mengandung gambut sehingga air tanahnya cenderung masam dan keruh.
Pemanfaatan air hujan memang sudah seharusnya digalakkan oleh pemerintah, tidak hanya di daerah-daerah yang kekurangan air bersih, melainkan di daerah perkotaan, agar air hujan tidak begitu saja melimpas di jalanan menyebabkan genangan bahkan banjir ataupun terbuang percuma ke sungai-sungai. Air hujan bisa saja digunakan sebagai air minum, tapi harus diperhatikan kondisi dan kebersihan atap ataupun talang airnya, soalnya jika atap maupun talang terbuang dari seng maka rentan karat sehingga tidak bagus untuk air minum. Dan jika di kota besar yang sarat akan polusi memerlukan filter tambahan jika ingin memanfaatkan air hujan sebagai air minum.
Pemanfaatan air hujan yang optimal juga diharapkan mampu mengurangi penggunaan air tanah terutama air tanah dalam, sehingga di kota-kota besar pinggir pantai semacam Jakarta, Semarang dan Surabaya intrusi air laut tidak semakin jauh ke daratan dan laju penurunan permukaan tanah akibat pengambilan air tanah dalam secara besar-besaran dapat berkurang signifikan bahkan berhenti sama sekali.
Ingat, manusia tidak bisa hidup tanpa air bersih. Sudah saatnya kita arif dan bijaksana dalam memanfaatkan sumberdaya air yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita.