Konflik Rempang merupakan konflik sengketa tanah  yang terjadi antara masyarakat, Pemerintah,  Ditpam Badan Pengusahaan (BP Batam), serta PT. Makmur Elok Graha selaku penanam modal atau investor terkait rencana pembangunan Rempang Eco City di Pulau Rempang Batam.
Masyarakat adat di Rempang  terdiri dari berbagai macam suku yakni suku melayu, suku laut, dan beberapa suku lainnya yang telah mendiami Pulau Rempang selama lebih dari 2 abad. Mereka percaya bahwa tanah yang mereka diami merupakan warisan dari leluhur dan tanah itu telah dianggap sebagai tanah  milik masyarakat adat Pulau Rempang secara utuh.
Konflik ini berawal sekitar tahun 2001-2002 dimana pemerintah melalui Ditpam Badan Pengusahaan (BP Batam) memberikan kewenangan berupa Hak Guna Usaha (HGU) kepada sebuah perusahaan atas tanah Batam untuk mengelola tanah tersebut. Pemerintah memberikan kewenangan atas pengelolaan wilayah di Batam kepada  Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (BP Batam) sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 1973. Batas-batas pengelolaan tanah tidak diuraikan secara rinci sehingga menimbulkan konflik kepemilikan tanah. Kemudian pada tahun 2004 DPRD Batam memberikan rekomendasi PT Makmur Elok Graha untuk mengelola wilayah-wilayah di Batam termasuk Rempang.
Setelah itu, dibuat kesepakatan bahwa PT Makmur Elok Graha akan membangun pusat-pusat hiburan seperti  perkantoran, permainan, dan lain-lain . Namun, itu semua hanya wacana belaka karena tanah tersebut tidak pernah dikunjungi investor dan dikelola. 19 tahun kemudian tepatanya pada tahun 2023 setelah kesepakatan itu dibuat terdapat Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menyatakan adanya proyek pembangunan Rempang Eco City di Kepulauan Riau Batam.
Program pembangunan tersebut bertujuan untuk meningkatkan daya saing dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, malah berujung bentrok antar masyarakat  dengan aparat keamanan karena terjadi sengketa kepemilikan tanah dimana dalam proses pembangunan Rempang Eco City masyarakat diminta untuk mengosongkan tanahnya sebagai salah satu syarat pembangunan Rempang Eco City.  Selain pembangunan Rempang Eco City kawasan Rempang juga akan dibangun sebuah pabrik kaca terbesar kedua di dunia milik perusahaan China Xinyi Group. Berdasarkan, situs BP Batam proyek ini akan memakan 7.572 hektare lahan Pulau Rempang atau sekitar 45,89 % dari total keseluruhan Pulau Rempang yang memiliki luas sebesar 16.500 hektare.
Masyarakat di Kepulauan Rempang tidak terima jika mereka harus mengosongkan tempat tinggal yang telah ditinggali selama ratusan tahun. Hal ini dianggap tidak adil dimana pemerintah melalui BP Batam memberikan hak guna usaha  kepada sebuah perusahaan tanpa memperhatikan batas wilayah dan perusahaan sebagai investor dalam pembangunan Rempang Eco City tidak pernah mengunjungi atau mengelola lokasi proyek pembangunan tersebut. Sehingga, masyarakat terus mendiami pulau tersebut karena proyek tersebut belum terealisasikan semenjak dibuat kesepakatan pada tahun 2004 dan kembali mencuat pada tahun 2023 meskipun pemerintah berencana untuk merelokasi masyarakat di Pulau Rempang dengan memberikan  rumah dengan luas tanah 500 meter persegi dan bantuan lainnya sebagai konpensasi. Tetapi, masyarakat tidak dapat terima akan hal itu karena mereka menganggap Pulau Rempang merupakan tanah masyarakat adat yang harus terus dijaga untuk generasi selanjutnya bukan untuk dijadikan sebagai lahan proyek bagi kepentingan masyarakat kalangan atas. Hal ini sangat merugikan masyarakat khususnya di Kepulauan Rempang karena berdampak bagi masyarakat setempat selain, pencaharian konflik ini juga mengakibatkan penangkapan 7 warga yang ditangkap akibat bentrokan yang terjadi pada tanggal 7 September dan warga lainnya mengalami luka-luka.