Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Impian Perlindungan Masyarakat Sekitar Hutan

27 Oktober 2010   03:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:04 279 0
Niatan positif Wakil Presiden Boediono, yang menekankan pentingnya keterlibatan pemerintah daerah dan komunitas lokal di sekitar hutan dalam proyek kerja sama pengelolaan hutan (REDD) menimbulkan harapan indah bagi masyarakat sekitar hutan (20 Oktober 2010).

Namun, mengingat Indonesia Corruption Watch (ICW) mengeluarkan penilaian satu tahun pemerintahan Yudhoyono, yang intinya mengenai ketidakberdayaan penguasa negeri ini merealisasikan penyelesaian dari berbagai peryataan yang telah dikeluarkan, menghadirkan reaksi sikap pesimistis akan terealisasinya peryataan Wapres tersebut.

Kenyataannya, fakta-fakta yang ada semakin mendukung penilaian ICW tersebut yaitu, terjadinya konflik Hutan Kemenyan yang selama ini dikelola warga Desa Sipituhuta dan Desa Pandumaan, Kecamatan Pollung, di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara terancam hilang akibat pemberian konsesi oleh Menteri Kehutanan kepada koorporat.

Selain itu, adanya peryataan dari Ketua Lembaga Masyarakat Adat Merauke Albert Moiwend yang menyatakan bahwa masyarakat adat tidak pernah dilibatkan dalam proses lahirnya kebijakan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Merauke. Mereka baru sadar setelah pemerintah dan pengusaha perlahan-lahan mengambil dan menguasai lahan milik masyarakat asli Merauke.

Seandainya penguasa negeri ini memang menghendaki perlindungan masyarakat adat dan atau sekitar hutan, hal tersebut haruslah direalisasikan dengan tindakan konkrit dan adil bukan dengan mengagambarkan angan-anagn semata.

Tergerusnya Hak Masyarakat Lokal
Masyarakat lokal dapat disebut pula dengan sebutan masyarakat sekitar hutan, masyarakat tradisional, dan masyarakat adat. Peranan serta hak-hak masyarakat lokal selama ini memang umumnya selalu termarginalkannya dalam upaya pengelolaan hutan yang telah dilaksanakan selama ini. Bahkan dalam beberapa kasus cenderung menghilangkan dan menindas hak-hak masyarakat lokal tersebut.

Ketidak-adilan dalam pengelolaan hutan yang telah terjadi sejak jaman orde baru itu menjadi masalah kronis yang tak kunjung terselesaikan.

Kemudian sejak awal orde reformasi, MPR sebagai lembaga tertinggi negara saat itu, telah mengamanatkan kepada pemerintah melalui Tap MPR No IX/MPR/2001 untuk segera menyelesaikan berbagai konflik seputar pengelolaan sumber daya alam, termasuk di dalamnya jaminan terhadap perlindungan hak masyarakat lokal/ adat.

Tetapi setelah lebih dari satu dasawarsa berjalannya orde reformasi, perlindungan terhadap hak-hak masyarakat lokal tersebut belum mampu untuk diwujudkan. Terbukti dengan semakin meningkatnya angka konflik seputar pengelolaan hutan antara masyarakat lokal dan pemerintah serta pengusaha pada umumnya.

Fakta terakhir yang terungkap yaitu, pada pertengahan Oktober lalu terungkap dalam pertemuan antara komunitas masyarakat adat Kalimantan dan orang asli Papua dengan Redaksi Kompas, bahwa baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah justru abai dan cenderung represif ketika masyarakat asli menolak atau menuntut penghentian eksploitasi yang dicanangkan secara sepihak oleh pemerintah.

Keberadaan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya telah diakui dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, sebagai konstitusi negara Indonesia. Pengakuan dan penghormatan Konstitusi terhadap keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya tergambar dengan jelas disana.

Selain itu, pengakuan tersebut juga tertuang dalam berbagai Undang-Undang antara lain, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), Undang-Undang tentang Kehutanan (UUK), UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Sumber Daya Air (UUSDA), UU tentang Perkebunan, UU tentang Penataan Ruang, serta Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).

Sedangkan perlindungan terhadap masyarakat lokal ada di dalam UU 10/1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Salah satu ketentuanya menjelaskan bahwa, masyarakat sekitar hutan yang telah lama menjadikan hutan di sekitarnya sebagai penopang hidup mereka, memiliki hak dan kesempatan yang lebih besar untuk menjadi pengelola dan mengelola hutan tersebut daripada masyarakat pendatang dan atau para pengusaha HPH.

Dalam lingkup Nasional dan Internasional dituangkan dalam UU 11/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya memberikan jaminan terwujudnya hak bagi setiap orang atas standar kehidupan yang layak seperti terpenuhinya pangan, sandang, dan papan. Hak ini menyiratkan spirit dalam memberikan jaminan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat miskin pada umumnya.

Berbagai peraturan perundang-undangan (PUU) tersebut merupakan bukti akan eksistensi keberadaan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan yang tidak terbantahkan.

Namun seiring berjalannya waktu, hak yang telah ditegaskan tersebut cenderung semakin dikaburkan dan terlindas keberadaanya.

Ketidakmampuan atau keengganan pemerintah daerah untuk menetapkan keberadaan serta melindungi hak-hak masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan melalui peraturan daerah (perda) merupakan salah satu indikasi dilegalisasinya penindasan terhadap hak-hak tersebut selama ini.

Bahkan, berdasarkan data Komnas HAM tahun 2006, dari 20.000 jumlah masyarakat hukum adat di negara Indonesia, hanya tiga yang telah disahkan oleh pemerintah melalui Perda.

Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Lokal
Kewenangan “dikresi” pemerintah daerah dalam menetapkan perda mengenai keberadaan masyarakat adat/ sekitar hutan terbukti telah gagal.

Ketergantungan terhadap “goodwill” pemerintah dan pemerintah daerah, malahan cenderung semakin mengurangi dan bahkan menghilangkan hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh masyarakat adat tersebut. Lemahnya posisi masyarakat sekitar hutan/ adat dalam menentukan kebijakan pengelolaan hutan semakin memudahkan oknum aparat pemerintah menindas hak-hak masyarakat sekitar hutan/ adat.

Ketiadaan penentuan skala prioritas kebijakan serta kaburnya pemahaman mengenai kepentingan umum menjadi “senjata ampuh” untuk mengabaikan hak-hak tersebut oleh kebijakan pembangunan sektoral lainnya.

Sedangkan, Departemen Dalam Negeri kenyataanya juga tidak mampu membuat kebijakan untuk mengarahkan aparatur Pemda agar menetapkan keberadaan masyarakat lokal di daerahnya masing-masing.

Ironisnya, jeritan dan keluhan yang ada hanya dianggap sebagai angin lalu tanpa adanya upaya pencarian jalan keluarnya oleh pemerintah.

Padahal apabila ada kesediaan untuk berdialog secara jujur dan terbuka tentu segala permasalahan akan terselesaikan. Namun kecenderungan yang ada adalah adanya tekanan oleh salah satu pihak yang kuat bersama aparat bersenjatanya kepada pihak yang lemah.

Belajar dari permasalahan tersebut, maka ada dua upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah pusat. Pertama, pemerintah pusat haruslah memberikan suatu rancangan kebijakan yang dapat dijadikan acuan oleh pemerintah daerah yang memuat prinsip keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan, serta perlindungan hukum yang jelas dan tegas, dalam menjamin hak-hak masyarakat lokal.

Tanpa adanya acuan tersebut, maka langkah yang kedua “pamungkas” adalah dibentuknya suatu Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Masyarakat lokal yang bertujuan untuk melindungi hak-hak yang dimiliki masyarakat adat.

Pembentukan RUU ini terkait tersisihnya hak-hak masyarakat lokal oleh keberadaan Undang-Undang Sektoral lainnya. Dengan begitu, peluang mengikis hak-hak masyarakat lokal melalui berbagai kebijakan sektoral dan departemental seperti kasus Hutan Kemeyan di atas, tidak akan terjadi lagi.

Senada dengan itu Jimly Ashidiqie menyatakan bahwa, jika penentuan hidup mati suatu masyarakat hukum adat diserahkan sepenuhnya pada kewenangan regulasi di tingkat kabupaten dan kota tanpa rambu-rambu yang jelas, akan besar resikonya. Sebab, dalam beberapa kasus, keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat seringkali melintasi batas-batas wilayah administratif kabupaten/kota, bahkan provinsi yang potensial menimbulkan konflik. Selain itu, tanpa adanya pedoman substantif dan menyeluruh, nanti dapat terjadi diskriminasi terhadap masyarakat adat hanya karena beda penafsiran yang dilakukan pemerintah daerah.

Kedua langkah tersebut adalah langkah awal yang konkrit. Langkah tersebut sebagai bukti bahwa pemerintah tidak hanya mampu memberikan impian semata, namun juga mampu merealisasikan segala impian dan harapan masyarakat Indonesia (**).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun