Akhir-akhir ini, pendidikan yang bermutu dan berkwalitas di Indonesia nampaknya kurang bersahabat untuk masyarakat kita yang memiliki status ekonomi menengah -kebawah. Meskipun pemerintah mencanangkan program beasiswa yaitu Bidik Misi kepada masyarakat “kurang mampu” dalam segi ekonomi. Tetap saja pembagian beasiswa tersebut tidak sepenuhnya merata tersebar dan sampai kepada mereka yang memang berhak mendapatkannya. Karena mungkin di sebabkannya persyaratan untuk mendapatkan beasiswa tersebut bisa di bilang mudah yaitu salah satu persyaratannya mencantumkan SKTM (Surat Keterangan Tidak mampu) dari desa setempat. Persyaratan tersebut tentunya bisa di manipulasi dan di palsukan oleh oknum-oknum masyarakat yang memang memiliki kemampuan ekonomi namun enggan untuk mengeluarkan kocek rupiah untuk biaya pendidikan anaknya. Sehingga mengakibatkan hilangnya kesempatan bagi para rakyat kecil untuk mengenyam pendidikan yang baik dan bermutu secara gratis.
Kita tahu bahwa pendidikan merupakan HAK asasi yang harus di dapat secara merata bagi setiap penduduk di negeri ini, bahkan Negara kita mempunyai “kewajiban” untuk bisa mencerdaskan seluruh rakyatnya, oleh sebab itu di dalam konstitusi dan APBN di Negara kita, pendidikan merupakan sector yang sangat di perhatikan dan di perhitungkan secara serius. Dari alasan tersebut tidak bisa di pungkiri bahwa, seharusnya pemerintah mencanangkan program pendidikan murah bahkan gratis untuk seluruh rakyat nya. Agar tidak ada lagi kecemburuan sosial yang terjadi di masyarakat kita hari ni yaitu, pendidikan yang bekwalitas hanya bisa di rasakan bagi mereka yang mempunyai uang yang cukup sehingga mereka yang merasa tidak mempunyai ekonomi yang “kurang mampu” cenderung merasa di anak tirikan di negeri ini. Bagi mereka “rakyat kecil” yang mempunyai cita-cita menjadi dokter semasa masik kanak-kanak. terpaksa harus memupuskan cita-cita tersebut karena mengingat, sekarang mahalnya biaya pendidikan yang harus di bayar ketika kita ingin memasuki Fakultas kedokteran di seluruh Universitas di negeri ini. Maka tidak jarang ketika kita pergi ke seluruh Universitas di Fakultas Kedokteran mobil-mobil akan berjejer rapi di tempat parkiran. Kerena mungkin mahasiswa yang mengenyam pendidikan di sana ialah kaum yang mempunyai keberuntungan dalam hal ekonomi. “Miris hati ini ketika cita-cita mereka (rakyat kecil) harus pupus di tengah jalan karena hanya alasan faktor ekonomi”.
Pelaksaan Amanat pendidikan sudah termaktub di dalam UUD 1945, yaitu dalam pasal 31, yang kemudian secara lebih jelas diatur dalam UU No: 2 Tahun 1989 yang mengatur tentang system pendidikan Nasional, terutama dalam pasal 36 dalam ayat 1,2 dan 3.
Pada ayat 1 disebutkan biaya penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah menjadi tanggungjawab pemerintah.
pada ayat 2 disebutkan biaya penyelenggaraan kegiatan pendidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat menjadi tanggungjawab badan/perorangan yang meyelenggarakan satuan pendidikan.
pada ayat 3 disebutkan bahwa pemerintah dapat memberi bantuan kepada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dari penjelasan di atas bisa di katakan tanggung jawab pendidikan sebagian besar tanggung jawab pemerintah setelah itu badan-badan tertentu, dan perorangan. Tapi pada prinsipnya pendidikan merupakan tanggung jawab kita semua. Di dalam UUD no.2 1989 bahwa ketentuan wajib belajar di negara kita sampai pada sekolah menengah tingkat pertama. Dalam hubungan ini, setiap warganegara Indonesia wajib menyelesaikan pendidikannya sampai pada tingkat sekolah menengah pertama. Namun dalam prakteknya masih ada saja sekolah-sekolah yang masih memungut biaya pendidikan yang bisa di bilang mahal, sehingga rakyat “miskin” banyak memilih untuk tidak sekolah.
Banyak alasan kenapa pendidikan kita hari ini masih mahal.
Pertama : adanya penerapan MBS (Menejemen Berbasis Sekolah) MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Kedua : masih adanya sekolah yang mempunyai status SSN (Sekolah Standat Nasional) sehingga ada sekolah yang meminta biaya pendidikan yang berkedok untuk lebih meningkatkan pendidikan anak didiknya. Sehingga mereka “rakyat miskin” merasa enggan masuk ke sekolah yang mempunyai status SSN karena alasan biaya dan materi.
Sebetulnya pemerintah kita sudah membuat semacam UUD untuk lebih meningkatkan kwalitas pendidikan di negeri ini yaitu : Dalam Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas disebutkan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN dan APBD. Ketentuan semacam ini juga ada dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 dan UU No.20/2003. Tapi entah kenapa lagi-lagi dalam proses pelaksaannya yang tidak sesuai dengan harapan, karena masih saja ada pihak-pihak yang tidak konsisten dalam menjalankan tugasnya. Yaitu pendidikan kita saat ini masih diukur dengan harga, semakin tinggi harga pendidikan, maka semakin berkwalitas pula status pendidikannya. Pertanyaannya sekarang adalah “bagaimana dengan nasib mereka, yaitu para “rakyat kecil”???