Desa Jenggrong merupakan desa disebelah utara bagian dari Kabupaten Lumajang yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Probolinggo, letak geografis dan iklim masyarakatnya yang mata pencarian sehari-hari sebagian besar adalah petani, buruh tani tetapi ada juga yang pedagang dari hasil tani tersebut. Mayoritas penduduk bahasa sehari-hari madura, dan juga di saat musim kemarau desa ini termasuk wilayah minus air atau kekurangan air, masyarakat memenuhi kebutuhan air dengan tandon di saat musim penghujan walaupun demikian, tidak menyurutkan dunia pendidikan di desa ini. Terbukti bermunculan lembaga-lembaga pendidikan dari total keseluruhan pendidikan anak usia dini (PAUD) 5 lembaga, SDN 4 lembaga, MI 2 lembaga, SMPN 1 lembaga walaupun masih rintisan, MTs 2 lembaga kedua-duanya milik organisasi kemasyarakatan, MA 1 lembaga dan Pondok Pesantren.
Saya mengabdikan diri di SSA Jenggrong sudah hampir dua tahun, di sekolah ini dengan sangat minim fasilitas tetapi tidak menyurutkan rasa semangat peserta didik untuk menuntut ilmu. Peserta didik yang minim fasilitas ini contonya hampir satu tahun belum memiliki seragap yang lengkap layaknya pendidikan-pendidikan yang ada di kota dengan seragam rapi bersepatu tidak demikian dengan anak-anak didik di SSA setiap hari pake sandal jepit, baju hem, kaos oblong dan ada juga ada yang pake berbaju koko yang biasa dipakai untuk orang sholat. Buku yang seadanya terkadang dari empat mata pelajaran di jadikan satu buku. Kalau ditanya alasanya bahwa kondisi keuangan keluarga yang tidak memungkinkan tetapi tidak semuanya demikian ada beberapa anak yang orang tuanya mampu membelikan seragam, tas dan sepatu.
Sekolah atau lembaga ini merupakan satu lingkup dengan SDN Jenggrong 01 dengan memiliki kelas dua ruang, yang satu milik SD di manfaatkan untuk proses belajar mengajar. Jumlah peserta didik yang hampir 100 anak didik dengan lokal / ruang 3 ini terkadang pembelajaran kurang efektif, kelas VII (tujuh) misalnya ada 40 anak di dalam satu ruang.
Suatu ketika saya mengajarkan pendidikan agama islam kelas VIII (delapan) yang kebetulan jam yang ke tiga dan empat dengan antusiasnya anak mendengarkan & memperhatikan dari saya. Tiba-tiba dari pintu tertutup muncul seorang anak didik dari SD yang masuk tanpa permisi dan izin ingin bertemu dengan kakaknya yang kelas VIII (delapan), karena saya merasa kurang tepat dan benar maka sianak tersebut saya panggil untuk diberi arahan, dan nasehat agar tidak terjadi kesalahan di lain hari berikutnya. Kebetulan saya tau nama anak itu tersebut adalah sodik anak kelas IV (empat) SD anaknya murah senyum “dik sini” anak tersebut mendekat kepada saya. Saya bilang gini “ tolong kalau mau masuk kelas dan disitu ada gurunya harus salam terlebih dahulu setelah itu baru minta izin mau bertemu kakak” begitu yang saya sarankan. Dengan spontan si sodik berkata “masalah buat loe?? Dengan kagetnya saya bertanya dalam hati siapa yang mengajarkan seperti itu. Dan anak-anak yang ada di dalam ruang kelas sepontan tertawa semua dan ada “ apa aku harus bilang wau githu?”. Usut punya usut waktu saya di kantor bilang begitu sama teman-teman guru yang lain ternyata si sodik tadi meniru adegan sebuah iklan yang ada di dalam televisi. Saya termenung dalam-dalam ternyata anak-anak seumur segithu sudah layaknya bahasa anak remaja yang di tontonkan setiap hari di televisi. Media itu sendiri meminjam istilah Purnamawati dan Eldarni (2001 : 4), Media merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat seseorang sedemikian rupa sehingga terjadi proses interaksi”. Ini merupakan teknik yang paling jitu oleh media yang bisa membentuk kepribadian, wawasan bahkan budaya dan inilah tantangan pendidikan kita saat ini. Kalau media tidak selektif dalam menayangkan iklan, pemberitaan dan lain sebagainya. Bukan tidak mungkin masyarakat terdampak imbasnya oleh media tersebut. Apalagi masyarakat desa yang minim dengan hiburan maupun tontonan dan televisi adalah tontonan yang murah yang di temui. Tanpa arahan dari kedua orang tua yang bijak bukan tidak mungkin tontonan yang kurang mendidik itu terus menerus tertanam kepada anak yang merusak tingkah laku, perkembangan dan kepribadian.