Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Melaju Cepat

22 Maret 2019   09:53 Diperbarui: 22 Maret 2019   12:05 30 0
Pagi ini saya sudah duduk di kereta Taksaka yang melaju perlahan setelah tiupan peluit panjang.

Kereta ini tak terlalu penuh, masih ada beberapa kursi yang kosong dan sepertinya ini kereta manusia betulan.

Kontras dengan KRL yang sebelumnya saya naiki, bisa menggeser badan saja sudah beruntung. Saking padat berdesakannya. Rasanya di kereta itulah saya menghayati peran sebagai ikan asin yang disusun dalam panci.

Kereta masih melaju perlahan melewati gedung-gedung tinggi di sebelahnya sesekali terhalang pohon-pohon hijau yang rindang.

Memasuki stasiun Cikini, kereta melaju semakin perlahan membuat saya bisa membaca papan iklan dan papan informasi sepanjang stasiun.

Melaju perlahan memang membuat kita bisa lebih seksama mengamati sekeliling. Beda saat kereta melaju kencang, bahkan pohon-pohon seperti angkuh menjauh dengan cepat.

Kadang, kita ingin melaju cepat, agar segera sampai ditujuan. Tapi tak semua "penumpang" menginginkan hal yang sama. Saya membahas anak-anak di rumah.

Anak-anak ingin menikmati setiap hal yang mereka lakukan. Bahkan mandi pun sampai menatap air kran yang menetes satu-satu. Sedangkan saya, ayahnya, anak mestinya tak sampai 5 menit mandi selesai.

Ada teriakan, ada bentakan, bahkan ada ancaman dalam pesan yang saya sampaikan saat mendapati anak "begitu perlahan melaju".

Seperti sarapan dengan mengunyah perlahan, perlahan sekali bahkan saya memergokinya tak dikunyah! Ya Tuhan, ini sudah jam berapa? Padahal anak-anak mesti sekolah!

Melaju cepat vs melaju lambat dan saya kepala keluarga, tak sadar memperlakukan diri bos dan anak-anak adalah anak buah. Mereka mesti patuh!

Pagi-pagi adalah intimidasi, baik bagi saya yang menginginkan "melaju cepat" maupun bagi anak-anak yang dihujani suara nada tinggi berjudul "nasehat" saat melaju lambat.

Jujur, hidup jadi tak dinikmati dan saya pun tak bahagia dengan cara ini. Rasanya, anak-anak pun demikian.

Hari libur adalah hari "pertobatan" dimana saya ikut "melaju lambat". Membiarkan anak-anak tidur lagi setelah shalat subuh yang  sebelumnya dibangunkan dengan dramatis.

Lalu kami sepakat untuk jalan-jalan ke Telaga Golf Sawangan dengan berjalan kaki. Setelah rapi bersepatu, Muhammad (6 th) mendekati saya dan berbisik, "Abi, Muhammad sakit perut."

"Muhammad mau ee?"

Dia mengangguk perlahan, seperti takut.

"Ya sudah, tinggal ke kamar mandi nak!" Jawab saya dengan nada menekankan. Mau ee saja masa lapor, bisik saya dalam hati.

"Tapi gak ditinggal kan, Bi?" Tanyanya polos.

Saya menatap matanya dengan pandangan nanar, lalu berusaha tersenyum, "tidak, Abi tungguin"

Dia berlalu dengan tersenyum. Ada rasa aman yang saya temukan dari wajahnya, meninggalkan wajah saya yang memerah menahan air mata agar tak terlalu jujur bila saya merasa terpukul dengan jawabannya.

"Tapi gak ditinggal kan, Bi?"

"Ayo cepat Muhammad!"

Dua kalimat diatas terngiang-ngiang dalam telinga saya seperti bersahut-sahutan.

Kalimat pertama baru saja saya dengar dari Muhammad dengan nada rendah penuh ketakutan.

Lalu kalimat kedua adalah yang sering saya dengar dengan nada keras, entah sudah berapa kali, dari mulut sendiri...

Kereta sudah jauh meninggalkan statiun, rasanya tak melaju kencang, getaran di dalam pun biasa saja.

Pedagang berseragam bisa jalan sepanjang lorong menawarkan nasi goreng dan minuman dengan tenangnya.

Tapi mungkin tak begitu saat kita berada di luar kereta. Kereta ini melaju dengan sangat cepat hingga tak menunggu lama dari gerbong kereta hingga menghilang dari pandangan.

Saya pun merasa "biasa dan wajar" saat menyuruh anak untuk melaju cepat terutama di pagi hari menjelang berangkat sekolah.

Tapi bagi Muhammad, mungkin anakku yang lain, itu terlalu cepat. Tak sempat ia "melihat" saya dengan utuh.

Hingga untuk ee pun mesti minta izin takut ditinggal. Dugaan saya, dia berani minta izin karena saya pun tidak memburu-buru bangun dan mandi.

Sedang hari-hari yang lain, saat dia sakit perut, mungkin dia memilih menahan daripada mendengar "nasehat nada keras" lagi.

Itu baru masalah sakit perut, bagaimana dengan masalah yang lain? Apakah anak berani bercerita saat saya selalu berteriak, "Cepaaaaat Muhammad!"

Itu baru ke dampak ke Muhammad, bagaimana dengan anak-anak saya yang lain?

Ya Allah, saya ingin menikmati anak-anak yang "melaju lambat" agar bisa menjadi tempat bersandar mereka saat mereka lelah berdiri. Agar menjadi tempat menampung seluruh keluh kesah mereka, hingga bisa menemani pertumbuhannya setiap hari.

Kereta sudah jauh meninggalkan stasiun Gambir, bahkan Jakarta. Sebab saya melihat tak ada lagi gedung tinggi, kecuali hamparan sawah dan sesekali genteng coklat dan asbes bergantian.

Karawang, H-1 Seminar Analisa Tanda Tangan Yogyakarta

Ahmad Sofyan Hadi
www.behindsign.com

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun