Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Jika Indonesia Bicara ...

23 September 2012   08:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:52 86 0
17 Agustus 2012

Dalam satu ruangan yang lengang, mereka masing-masing beriak tenang. Ada satu yang termangu di depan jendela, ada yang mengetik, ada juga yang sedang mengusutkan kening saat melihat Koran hari itu. Dirgahayu Indonesia Ke- 67.



Kartini menyengir santai, walau hatinya terasa terbahak puas. Indonesia masih hidup? "Kawan, Indonesia hari ini berulang tahun!"

Jemari Cut Dien berhenti bergerak. Mungkin, ia tersentak. Bersikap kalem, membenamkan matanya yang terbelalak. Ia memutar punggung, bertatap mata dengan Kartini. "Indonesia berulang tahun?"

Pattimura yang sedang duduk termenung pun terlonjak. "Benarkah? Indonesia masih bertahan?"

Kartini mengangguk lemas, tanpa daya.

"Apakah wajahku masih tertoreh di uang lima puluh ribu?" tanya Cut Dien mendesak, seiring dengan nada bicaranya yang hampir tersedak. Bergetar, juga gentar.

"Sayang, belum ada Koran khusus untukmu, ya. Sehingga kau tidak perlu ketinggalan zaman begitu," Kartini mendelik tajam ke arah Cut Dien, melipat tangan di dadanya. "Wajahmu sudah lama lenyap dari uang lima puluh ribu. Sekarang, uang Indonesia satu itu sudah berganti tokoh, sekaligus warna. I Gusti Ngurah Rai yang memantau di sana. Ingin mengadakan survei, katanya. Ia ingin mengecek, apakah ada kejujuran yang disekap jauh-jauh di depan hadapan uang lima puluh ribu?"

Cut Dien tertawa. Ia kembali meneruskan ritual mengetiknya. "Baguslah, kalau begitu. Sungguh, aku benar-benar tak nyaman bila wajahku ada di sana. Bukan begitu, Thomas?"

Pattimura melirik Cut Dien. Nama aslinya terselip dalam kalimat tersebut. "He? Ya, begitulah. Walau wajahku termasuk dalam uang seribu, tetapi tetap saja. Banyak juga kok, orang yang menyelewengkannya."

"Duh, sudah hentikan. Aku nggak tega mendengar perbincangan kalian. Indonesia pasti sekarang sudah ambruk, sudah sekarat. Tetapi lihat saja, Indonesia sudah di ujung ambang, masih saja ada yang menyambitnya berkali-kali. Bisa jadi, pecutan itu lebih perih dibandingkan malaikat pencabut nyawa," ujar Kartini, menundukkan wajahnya lesu.

"Aku juga merasakan hal yang sama. Indonesia dulu dengan Indonesia sekarang memang berbeda. Aku jadi sedih, mengingat bagaimana aku memperjuangkannya dulu." Tutur Cut Dien hambar.

"Maksudnya, kau menyesal, begitu?" sergah Pattimura, dengan tekanan nada di setiap kata.

Cut Dien hanya menghela napas berat. Entah mengapa, saat 'Indonesia' berkelebat di benaknya, jemarinya mendadak kelu. Sulit untuk kembali mencium bibir mesin ketik. "Bukan begitu, Thomas. Aku hanya sedih, apakah ada manusia sekarang yang memperjuangkan Indonesia seperti kita dulu?"

"Zaman sudah berbeda. Kini, cuman segelintir orang yang menganggap Indonesia bukanlah hanya tempat berpijak. Tempat hidup. Mereka lebih memilih, memanfaatkan Indonesia untuk berbagai bisnis, merebut segala sumber daya yang tertanam. Dan itu benar-benar mengerikan. Mereka tidak tahu kalau Indonesia itu hidup. Indonesia itu ada. Ia melihat. Ia juga merasakan. Betapa sakitnya menahan cekikan warganya setiap hari. Bahkan, setiap menit."

Keheningan pun perlahan membungkus mereka menjadi satu. Hanya kolaborasi napas sendu yang berbaur, menggeliat masing-masing. Mereka tidak tahu harus berbuat apa. Nama mereka sudah terlanjur dikenang. Senjata bambu mereka sudah tumbang. Mereka hanya bisa berdoa. Bagaimana peperangan saudara terjadi kini.

Tiba-tiba, pintu ruangan itu terbuka. Mereka semua terkesiap. Pattimura, bergegas berdiri. Ia menyipitkan mata. Dan dalam sedetik, sebuah senyuman terbit di bibirnya. "Bung Karno! Bung Hatta!"

Tinggallah Cut Dien yang terjebak penasaran. "Benarkah? Itu mereka?"

Kartini tahu, ada yang tak beres. Ia menyipitkan kedua bola matanya, meneliti sosok yang hadir di belakang punggung kedua tokoh proklamator itu. "Tunggu, siapa itu?" jemarinya menunjuk sosok yang masih menjadi bayang hitam.

Bung Karno dan Bung Hatta, dengan wajah lesu dan lemas, melangkah masuk, dan mereka menjawab dengan lirih. "Dia... Indonesia."

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun